11 - Kakakku Sayang

89 25 15
                                    

11 – Kakakku Sayang

 

Sebelum berangkat ke sekolah, aku menyempatkan diri pergi ke paviliun Kak Juna. Kak Juna baru saja bersiap untuk sarapan ke rumah induk.

“Senja? Kamu sekolah? Demam kamu udah turun?” tanya Kak Juna terkejut melihatku.

Aku mengangguk dan mengangkat kedua tanganku. “Alhamdulillah.” Aku masih berdiri di bawah undakan teras dan Kak Juna belum memakai sepatunya. “Senja ke sini mau bilang makasih sama Kak Juna karena kemarin udah jemput ke taman sama Mas Hanafi.”

“Oh... iya.”

Aku tersenyum. “InsyaaAllah Senja nggak akan main jauh-jauh lagi jadi Kak Juna sama Mas Hanafi nggak bakal repot cari-cari Senja lagi.”

Kak Juna masih terdiam menatapku.

“Kak Juna tolong jagain Mbak Sri, ya, soalnya Mbak Sri banyak saingannya, kakak-kakak cantik yang suka dateng ke kafe.” Setelah mengatakan itu, aku buru-buru berbalik dan pergi menjauh.

Mulai saat ini, aku akan mencoba menerima bahwa kasih sayang Kak Juna bukan lagi milikku seorang. Aku harus rela dan ikhlas berbagi. Lagi pula, aku harus selalu ingat jika semua yang ada di dunia ini milik Allah. Dengan begitu, aku akan baik-baik saja.

***

Minggu pagi seperti biasa aku melangkah ke balkon lantai dua untuk melihat kebersamaan Kak Juna, Sekar, dan Mbak Sri. Masih membuatku sedih, tetapi tidak sampai berlebihan.

Setelah mandi, aku turun untuk sarapan nasi goreng yang sudah disiapkan Bunda, lalu pergi ke paviliun. Aku meminta izin kepada Kak Juna untuk membawa Sekar melihat bunga di halaman depan rumah dan Kak Juna dengan senang hati menyerahkan Sekar ke dalam gendonganku.

“Mau Mbak temenin, Non Senja?”

Aku tersenyum sekilas lalu menggeleng. “Mbak Sri sama Mas Juna aja.” Kemudian aku berbalik dan membawa Sekar menjauh.

Dalam gendonganku, Sekar sama sekali tidak menangis. Bola mata bulat dan besarnya menatapku lekat dan bibirnya mengulas senyum. Lucu sekali.

“Nanti kalau Sekar udah gede, jangan cemburu sama aku dan Mbak Sri, ya. Kami semua sayang Sekar dan Sekar juga harus sayang kami ya.”

Sekar tertawa-tawa seolah memahami ucapanku.

“Tuh lihat bunga mawar merahnya indah banget. Biasanya Mbak Sri yang siram, tapi karena hari Minggu Mbak Sri libur, jadi yang siram Bunda deh pagi-pagi sebelum Bunda sibuk bikin kue.”

Setelah berkeliling melihat-lihat bunga, aku membawa Senja ke depan kafe, di sana ada Pak Wali yang tengah menyapu teras dari rontokan daun anggur.

“Nah, itu ayah Sekar, rajin banget lagi nyapu. Soalnya sebentar lagi kafe bakal buka, jadi kafe harus bersiiih biar para pelanggan seneng. Makasih ayahnya Sekar!”

Pak Wali tertawa mendengar ocehanku. “Bapak seneng lihat Senja ceria lagi. Jangan sepedaan jauh-jauh lagi ya. Kalau Bapak nggak sibuk sih bisa temenin Senja kayak dulu.”

Aku tersenyum. “Makasih, Pak Wali. Kalau Bapak libur nanti Senja tagih loh temenin Senja naik sepeda ke perumahan sebelah!”

Pak Wali langsung tertawa. “Ampun, Senja, kalau perumahan sebelah sih Senja sama Kak Juna aja ya, kayaknya Bapak nggak kuat kalau harus sepedaan ke sana.”

Aku menggeleng-geleng. “Sekar, ternyata ayahmu wes sepuh,” ucapku pelan dan langsung kabur sebab takut dijewer Pak Wali.

Namun, aku tahu Pak Wali tidak akan mungkin menjewerku. Sebandel-bandelnya aku karena membuatnya cemas beberapa tahun lalu saat aku tidak mengindahkan nasihatnya lantas terjatuh dari pohon, Pak Wali hanya bisa mengusap dada dan memarahi dirinya sendiri. Sebab kepada Kak Juna dan Bu Laksmi pun, Pak Wali tidak pernah main tangan ataupun fisik lainnya. Makanya, Kak Juna tumbuh menjadi pribadi yang baik hati, seperti juga orangtuanya.

Sayap Malaikat by EmeraldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang