Pembuktian Arin

194 34 3
                                    

Nyaris empat bulan lamanya Arin menjalani hidupnya kembali seperti awal sebelum mengenal Wandi. Melewati hari-hari tanpa adanya gadis lucu kesayangannya di sisinya.

Arin mencoba kuat, meskipun sedikit tidak rela atau bahkan tidak ikhlas dengan menjauhnya Wandi secara tiba-tiba. Tidak ada hujan, tidak ada angin, tidak ada banjir, Wandi memutuskan kontak dengannya. Ditemui di kampusnya pun sering tidak ketemu. Kalau saja Arin tidak kuat, mungkin dirinya sudah jadi pasien Rumah Sakit Jiwa. Beruntung hal itu tidak terjadi.

Arin pergi ke kafe yang biasa ia kunjungi bersama dengan Wandi. Kafe favorit keduanya karena di sana terdapat menu favorit mereka juga. Wandi menyukai beberapa dessert yang ada di sana. Selain itu, tempatnya sangat nyaman dan membuat tenang.

Sunflower Sips.

Begitulah tulisan yang ada di papan depan kafe. Tempat yang paling pas untuk merilekskan pikiran karena nuansa serta konsep kafe itu sendiri.

 Tempat yang paling pas untuk merilekskan pikiran karena nuansa serta konsep kafe itu sendiri

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


"Terima kasih," ucap Arin tersenyum ramah pada waiters yang mengantarkan pesanannya.

Anjir senyumannya nggak berubah, cantik banget! batin waiters laki-laki tersebut.

"Sama-sama, Kakak cantik."

Arin melirik sekilas saja sambil masih tersenyum.

"Kenapa, ya? Pesanan saya sudah semua, kan?"

Sang waiters hanya tersenyum seperti orang gila di tempatnya berdiri.

"Mmm... Punya palu, nggak, Kak?"

Arin mengernyit bingung.

Apa, sih, aneh banget, nih, waiters satu, batin Arin menatap datar sang waiters.

"Palu? Emang muka saya kelihatan kayak kuli? Ngapain saya bawa-bawa palu, kurang kerjaan banget."

Waiters laki-laki tersebut hanya terkekeh canggung. "Kalau nomer telepon, Kakaknya punya, kan?" tanyanya masih berusaha.

Halah modus, gombalan murahan, nggak ngaruh buat gue, batin Arin sudah mulai malas dan jengah dengan keberadaan waiters laki-laki itu.

"Sorry, bisa tinggalkan saya sendiri? Saya tidak punya waktu untuk meladeni pertanyaan-pertanyaan tidak penting. Saya mau melanjutkan pekerjaan saya. Terima kasih dan mohon maaf," ujar Arin menjelaskan dengan sopan.

"Oke, mungkin lain kali akan saya coba lagi. Permisi, Kakak cantik," jawab waiters laki-laki itu dengan sangat percaya diri.

Sepeninggalan sang waiters, Arin menghela napas lelah sambil menyugar rambutnya.

"Ada-ada aja, orang mau healing bentar juga udah ada yang ganggu. Jadi bete gue," gumam Arin menatap malas I-Pad nya.

Wandi dan Arin tengah berada di sebuah kafe. Keduanya sudah duduk di tempat biasa Wandi duduk di sana. Iya, kafe yang mereka datangi itu sudah menjadi favorit Wandi. Ia merekomendasikan tempat itu karena dessert dan minuman di sana sudah sangat pas di lidah. Tidak terlalu manis dan tidak membuat bosan juga rasanya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 30 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Mba Pacar [WENRENE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang