Katakan atau Nggak Sama Sekali

511 50 5
                                    


Hari-hari yang dijalani Arin sebenarnya terasa sangat indah. Apalagi setelah ia memiliki pasangan yang mengerti dan mau menerimanya. Ia juga cukup speechless dengan sikap Wandi yang begitu dewasa di matanya. Namun, ada satu hal yang mengganggu dirinya selama ini. Perkara 'dare' waktu itu.

Setiap malam, Arin selalu dihantui perasaan bersalah dan hampir tidak bisa tidur nyenyak karenanya. Ia tidak nyaman dengan satu hal itu, sungguh!

Bilang, nggak, ya? Kepala gue makin pusing lama-lama, sial! batin Arin yang sedang melamun di kursi kerja dalam ruangan kantornya.

Bunyi ketukan pintu yang cukup keras itu berhasil mengagetkan Arin dan secara otomatis, buyar sudah lamunannya.

"Fuck! Kaget gue," umpat Arin kesal. "Masuk!" teriak Arin menyilakan si pengetuk pintu untuk masuk.

"Permisi, Bu Arin, apakah sedang sibuk? Saya mau menunjukkan hasil pemotretan Bu Arin kemarin."

Arin menatap kesal, tatapannya sungguh tajam saat menatap orang yang sudah duduk di sebrangnya itu dengan tanpa permisi.

"Biasa aja kali liatinnya, mata lo copot ntar."

"Bacot lo, Tiff, gue kaget bangsat!"

"Ih, kok ngomongnya kasar, nggak like, deh, aku. Hati mungilku menangis setelah kau mengutarakan umpatan padaku," ucap orang tadi mendramatisir, yang tak lain dan tak bukan adalah sahabat sekaligus partner kerjanya di kantor yang ia naungi, Tiffany Rahardja.

"Jijik, geli banget. Alay," kata Arin sambil meraih map yang dibawa oleh Tiffany dan membuka untuk mengecek isinya.

Tiffany hanya tertawa, lalu ia menatap Arin dan isi di dalam map secara bergantian.

"Eh, gila, trending, lho, produk yang baru kita launching itu. Padahal, belum juga dikasih tau foto-foto produknya. Kayaknya bagian pemasaran ntar bakal lembur, deh."

Arin melirik Tiffany sekilas. "Lembur kenapa emang?"

"Bodoh! Pasti bakal ramelah ini, feeling gue bakal sold out cepet, sih," kata Tiffany memasang muka serius. "Lo cocok juga jadi model, kenapa nggak coba jadi model aja? Buat sampingan lo, gitu?" imbuhnya menatap Arin lekat.

Terdengar embusan napas kasar dari mulut Arin. "Males, makin capek yang ada guenya. Nggak bisa kencan sama Wandi ntar. Lagian, ini perusahaan nggak modal banget, kenapa harus gue yang jadi model produk mereka? Sialan," ucapnya kesal.

Tiffany terkekeh. "Secara, di perusahaan ini, muka lo yang paling menjual. Mereka juga pasti nggak mau jauh-jauh cari model aslilah, kalo mereka aja punya karyawan kayak lo gini. Bisa disebut simbiosis mutualisme, nggak, sih?" tawanya cukup kencang.

"Mana ada! Yang ada malah simbiosis parasitisme, karena yang untung hanya satu pihak aja, sedangkan pihak lainnya alias gue, buntung."

Sekali lagi, Tiffany tertawa sangat puas mendengar pernyataan dari Arin.

"Yaudahlah, gue balik dulu, lo liat-liat dulu itu hasilnya. Bagus-bagus, sih, kata gue. Ntar kasih tau kalo udah lo pilih foto-fotonya. Bye, bitch!" kata Tiffany yang sudah berdiri dari duduknya. "Ups! Gue lupa kalo masih di kantor," lanjutnya menutup mulut sambil memasang tampang sedikit terkejut.

"Kebiasaan emang lo."

Tiffany tersenyum. "Baiklah kalau begitu, saya pamit undur diri dulu. Permisi, Bu Arindi Brahmana," ucapnya sambil menunduk hormat, lalu pergi meninggalkan ruangan kerja Arin.

Arin tersenyum kecil melihat kelakuan sahabatnya satu itu. Memang tingkah Tiffany terkadang suka random.

***

Mba Pacar [WENRENE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang