Chapter 4

59 11 1
                                    

Pagi itu, Parvez duduk di meja makan dengan tumpukan dokumen anggaran di sekelilingnya. Wajahnya terlihat kusut, matanya tak henti-hentinya menatap layar laptop seakan berharap angka-angka yang tertera di sana berubah menjadi sesuatu yang lebih menyenangkan. Tapi kenyataannya justru sebaliknya. Anggaran yang awalnya terlihat cukup tiba-tiba menjadi sangat ketat karena munculnya beberapa biaya yang tak terduga, membuat Parvez merasa pusing dan frustrasi. Dia mulai khawatir apakah mereka akan mampu mencakup semua kebutuhan produksi yang sudah direncanakan dengan matang.

Saat Parvez merenung, Calvin keluar dari kamar tidur, masih setengah mengantuk. Matanya langsung tertuju pada ekspresi Parvez yang tampak penuh beban. "Ada apaan, sayang? Kok diliat-liat dari muka lo kayaknya lagi stress banget?" tanya Calvin dengan nada khawatir sambil mendekati meja makan.

Parvez menghela napas panjang, menahan beratnya perasaan yang mengganjal di dadanya. "Gue baru ngeh kalau anggaran kita lebih ketat dari yang gue perkirakan. Beberapa biaya tambahan muncul dan sekarang gue khawatir kita bakal kekurangan dana," jawabnya dengan nada yang lebih tenang, meskipun jelas terpancar kekhawatiran dari suaranya.

Calvin segera duduk di samping Parvez, meletakkan tangannya di pundak Parvez sebagai bentuk dukungan. "Gue ngerti tapi kita harus tetap tenang. Mungkin ada solusi yang bisa kita cari bareng-bareng," ucap Calvin dengan nada optimis, berusaha meredakan kegelisahan yang meliputi pacarnya.

Mendengar itu, Parvez mengangguk dengan berat, merasa sedikit lebih tenang. Dia tahu bahwa mereka harus menemukan solusi bersama, seperti yang selalu mereka lakukan. Namun, bayang-bayang kekurangan dana masih membayang di benaknya.

Siangnya, Onan dan Calvin duduk bersama di ruang tamu, mencoba menyusun naskah yang sesuai dengan visi film Calvin. Namun, prosesnya tidak berjalan semulus yang diharapkan. Onan merasa kesulitan menyelaraskan ide-ide kreatif Calvin dengan struktur cerita yang solid dan koheren. Calvin tampak frustrasi saat ide-idenya tidak bisa diterjemahkan dengan baik dalam naskah yang mereka kerjakan bersama.

"Gue pikir, naskah ini perlu lebih banyak perkembangan di bagian klimaksnya," ujar Calvin sambil mengetik beberapa catatan di laptopnya. Matanya terlihat tajam, fokus pada layar.

Onan mengangguk, namun terlihat kebingungan dengan arah yang diinginkan Calvin. "Gue paham apa yang lo mau, tapi gue ngerasa kesulitan buat nyatuin semua elemen ini tanpa ngebuat itu terlalu rumit. Kita butuh nyeimbangin antara ide lo dan struktur cerita yang kuat," jawab Onan sambil menggaruk kepala, mencoba memahami kompleksitas yang ada.

Calvin meremas tengkuknya, tampak kelelahan dengan situasi yang semakin membuatnya stres. "Gue nggak mau naskah ini jadi membingungkan. Gue tahu ide-ide ini bisa jadi keren tapi kita harus pastiin semuanya terhubung dengan baik," Calvin menambahkan, suaranya sedikit lebih pelan, namun tetap berisi determinasi.

Dengan perasaan yang semakin rumit, Calvin kembali ke ruang makan. Parvez masih di sana, sibuk mengatur dokumen-dokumen sambil berdiskusi dengan Calvin mengenai opsi yang mereka miliki. "Gue pikir kita perlu nyesuain beberapa elemen produksi buat menghemat biaya. Mungkin kita bisa nyari alternatif lebih murah buat beberapa kebutuhan atau ngurangin beberapa adegan yang kurang esensial," kata Parvez, suaranya mencerminkan betapa seriusnya situasi ini.

Calvin mendengarkan dengan seksama, lalu mengangguk. Wajahnya yang tadi tegang kini mulai melunak. "Oke, kalau gitu kita bisa fokus sama elemen-elemen yang benar-benar penting. Kita juga bisa cari sponsor atau sumber dana tambahan buat nutupin kekurangannya," Calvin menambahkan dengan semangat baru.

Parvez merenung sejenak, memikirkan kata-kata Calvin, sebelum akhirnya tersenyum. "Ide bagus, yang. Kita bisa buat proposal buat nyari dana tambahan dan juga buat ngevaluasi lagi anggaran yang udah ada. Gue mau coba nyari potensi sponsor atau alternatif biaya dulu," ucap Parvez dengan nada lebih optimis.

Di ruang tamu, Onan masih berusaha menyelaraskan beberapa bagian naskah sambil berdiskusi dengan Calvin. "Gimana kalau kita ambil pendekatan yang lebih sederhana buat klimaksnya tapi tetep ngejaga dampaknya? Kita bisa ngurangin elemen visual yang terlalu ambisius dan fokus sama kekuatan cerita," saran Onan, mencoba menyeimbangkan visi kreatif Calvin dengan batasan produksi.

Calvin memikirkan saran tersebut dengan seksama. Setelah beberapa saat, dia mengangguk, merasa lebih baik dengan ide tersebut. "Boleh aja sih. Kita bisa buat klimaks yang kuat dengan dialog dan penampilan karakter yang kuat tanpa perlu efek visual yang rumit," jawab Calvin, mulai merasa lebih tenang dengan solusi yang diusulkan Onan.

Dengan ide-ide baru dan rencana yang diperbarui, Parvez dan Calvin merasa lebih optimis. Mereka bekerja sama dengan Onan untuk menyusun naskah yang sesuai dengan anggaran yang telah diperbarui, sambil mencari cara untuk mendapatkan dana tambahan.

Malam itu, setelah Onan pulang, Parvez dan Calvin duduk bersama di sofa, merasa lega karena mereka berhasil menyelesaikan semua pembicaraan dan penyesuaian dengan baik.

Layar TerkunciTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang