Di sebuah desa kecil yang tenang, hiduplah seorang anak bernama Bima yang baru saja naik ke kelas 6 SD. Bima bukanlah anak biasa. Meskipun usianya baru 12 tahun, tubuhnya sudah seperti binaragawan profesional. Otot-ototnya menonjol, membuat teman-temannya terkagum-kagum setiap kali mereka melihatnya. Tapi dari semua orang, Bima paling suka memamerkan ototnya kepada Abangnya, Raka, yang lebih tua enam tahun darinya.
Raka adalah seorang pemuda yang sabar dan penyayang. Meski sering diganggu oleh adiknya yang suka pamer otot, ia selalu menghadapi dengan senyuman. Setiap hari sepulang sekolah, Bima pasti mencari Raka untuk menunjukkan perkembangan ototnya.
Suatu sore, setelah Raka pulang kerja, Bima langsung menghampirinya. Dengan senyum lebar dan mata berbinar, ia berkata, "Bang Raka, lihat nih! Ototku makin gede, kan? Coba pegang, Bang! Keras banget, kan?
"Raka, yang baru saja meletakkan tasnya, tertawa kecil melihat antusiasme adiknya. "Wah, Bima! Keren banget, nih. Kayaknya otot kamu tambah besar lagi, ya?" katanya sambil menepuk-nepuk otot lengan Bima.
Bima merasa senang bukan main. "Iya, dong, Bang! Aku kan setiap hari latihan push-up dan angkat barbel. Abang aja belum tentu bisa sekuat aku," ucapnya dengan nada menggoda.
Raka tersenyum lagi dan berkata, "Wah, kamu hebat, Bima. Abang aja sampai minder nih kalau dibandingin sama kamu. Tapi ingat, ya, punya otot gede itu bukan cuma buat pamer. Kamu juga harus sehat dan kuat buat bantu orang lain.
"Bima mengangguk dengan semangat. "Iya, Bang! Aku mau jadi kayak pahlawan super yang kuat dan bisa nolong orang. Tapi…," ia berhenti sejenak, lalu melanjutkan dengan nada lebih pelan, "…aku juga mau jadi yang paling kuat di antara teman-temanku, biar mereka semua kagum.
"Raka mengelus kepala adiknya dengan lembut. "Itu bagus, Bima. Tapi kekuatan itu lebih baik kalau digunakan untuk hal-hal baik, bukan cuma untuk membuat orang kagum. Pamer boleh, tapi jangan sombong, ya.
"Bima memikirkan kata-kata Raka, lalu menjawab dengan mantap, "Iya, Bang. Aku janji nggak akan sombong. Tapi… kalau buat pamer sama abang, kan boleh, ya?
"Raka tertawa, "Ya, kalau buat abang sih boleh. Tapi kamu harus janji sama abang, kamu bakal tetap rendah hati dan terus belajar. Kekuatan fisik itu penting, tapi kekuatan hati dan pikiran juga nggak kalah penting.
"Malam itu, setelah makan malam, Raka dan Bima duduk di teras rumah, berbicara tentang banyak hal. Bima terus bercerita tentang rencananya untuk menjadi lebih kuat dan bagaimana ia ingin menunjukkan pada dunia bahwa meskipun masih kecil, ia punya kekuatan luar biasa. Sementara Raka, dengan sabar, terus mendengarkan dan memberikan nasihat-nasihat yang bijak.
Bima pun mulai menyadari bahwa kekuatan sejati bukan hanya tentang otot besar, tetapi juga tentang hati yang besar. Sejak saat itu, setiap kali ia pamer ototnya kepada Raka, ia juga menceritakan hal-hal baik yang ia lakukan dengan kekuatannya, seperti membantu teman-teman mengangkat barang atau menolong tetangga yang kesusahan.
Raka, yang bangga dengan perkembangan adiknya, selalu memuji dengan tulus. "Bima, kamu nggak cuma kuat di luar, tapi juga di dalam. Itu yang bikin abang makin sayang sama kamu.
"Dan Bima, meski masih suka pamer ototnya, kini melakukannya dengan lebih bijak dan rendah hati. Setiap kali ia menunjukkan kekuatannya, ia juga mengingatkan dirinya bahwa yang paling penting adalah bagaimana ia menggunakan kekuatannya untuk membantu orang lain, sama seperti yang selalu diajarkan oleh Raka.
Begitulah kehidupan sehari-hari Bima dan Raka, penuh canda, kasih sayang, dan pelajaran berharga. Meski Bima suka dipuji dan pamer, ia selalu ingat bahwa kekuatan yang sejati adalah kekuatan yang digunakan untuk kebaikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
"Si Adik Berotot dan Sang Abang yang Sabar"
Teen FictionDi sebuah desa kecil yang tenang, hiduplah seorang anak bernama Bima yang baru saja naik ke kelas 6 SD. Bima bukanlah anak biasa. Meskipun usianya baru 12 tahun, tubuhnya sudah seperti binaragawan profesional.