Setelah Bima mengungkapkan perasaannya kepada Raka, suasana di kamar terasa berat. Raka merasakan campur aduk dalam dirinya—dia merasa bingung dan terkejut. Perasaan Bima yang jujur dan tulus membuatnya terhenti sejenak, merenungkan semuanya. Raka menyadari bahwa dirinya sendiri juga merasakan sesuatu yang mendalam terhadap Bima. Perasaan itu tidak hanya sebagai saudara, tetapi juga sesuatu yang lebih kompleks.
Raka telah lama mengagumi Bima, bukan hanya karena kedekatan mereka, tetapi juga karena kekagumannya pada fisik dan dedikasi Bima terhadap kebugaran. Otot-otot Bima yang kekar dan terlatih selalu menarik perhatian Raka, dan dia sering kali merasa penasaran untuk menyentuh dan merasakan betapa solidnya otot-otot tersebut. Kini, setelah mendengar perasaan Bima, Raka merasa semakin terombang-ambing dalam perasaannya sendiri.
Raka berusaha keras untuk menjaga ketenangannya dan tidak menunjukkan kebingungannya. Dia tahu bahwa saat ini, hal yang paling penting adalah memberikan dukungan dan menjaga hubungan mereka tetap sehat.
"Wow, Bima," kata Raka dengan suara lembut, "aku nggak nyangka kamu bakal ngomong kayak gitu. Aku juga ngerasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar hubungan saudara antara kita. Tapi, ini semua sangat baru dan membingungkan buatku."
Bima menatap Raka dengan penuh harap. "Jadi, abang juga ngerasain hal yang sama?"
Raka mengangguk pelan, merasa sedikit tertekan. "Iya, aku merasa ada perasaan yang lebih dalam, tapi aku juga bingung. Aku selalu berusaha menjaga diri dan fokus pada apa yang penting bagi kita sebagai keluarga."
Bima merasa campur aduk. Di satu sisi, dia senang mengetahui bahwa perasaannya tidak sepihak, tetapi di sisi lain, dia juga khawatir tentang dampak dari perasaan ini pada hubungan mereka.
Raka melanjutkan, "Aku harus jujur, Bima. Aku juga sering merasa tertarik dengan fisikmu, dan kadang-kadang aku pengen lebih dekat, merasakan otot-otot itu lebih dekat. Tapi aku tahu ini bisa jadi sangat rumit."
Mendengar itu, Bima merasa bingung namun juga sedikit lega. "Aku mengerti, Bang. Aku juga merasa sama. Mungkin kita harus coba cari cara untuk menangani perasaan ini tanpa merusak hubungan kita."
Raka memandang Bima dengan penuh perhatian. "Kita perlu bicara tentang bagaimana kita bisa mengelola perasaan ini. Mungkin kita bisa mulai dengan berbicara lebih terbuka dan menjaga batasan yang jelas agar kita tidak bingung."
Bima mengangguk, merasa lebih tenang dengan pendekatan yang lebih terencana. "Aku setuju, Bang. Kita harus berhati-hati dan memastikan bahwa kita tetap saling mendukung tanpa melampaui batas yang bisa membuat kita merasa tidak nyaman."
Sejak malam itu, Bima dan Raka mulai mencoba pendekatan baru dalam hubungan mereka. Mereka lebih sering berbicara tentang perasaan dan menjaga jarak fisik untuk mencegah situasi yang bisa menjadi tidak nyaman. Raka berusaha menahan diri dari dorongan untuk menyentuh otot Bima lebih sering, sementara Bima juga berusaha mengatasi perasaannya dan menjaga hubungan mereka dalam kerangka yang sehat.
Dengan waktu, kedekatan mereka tetap kuat, tetapi dengan pemahaman baru tentang batasan dan perasaan masing-masing. Mereka terus mendukung satu sama lain, berusaha menghadapi perasaan yang kompleks dengan kedewasaan dan saling pengertian.
Suatu malam, setelah beberapa minggu mencoba beradaptasi dengan perasaan baru dan menjaga batasan, Bima merasa kesulitan mengatasi emosinya. Kamar yang biasanya menjadi tempat dia merasa nyaman kini terasa sempit dan penuh tekanan. Dia tahu perasaannya terhadap Raka semakin mendalam, tetapi dia tidak tahu bagaimana mengekspresikannya.
Ketika Raka sedang duduk di tempat tidurnya, membaca buku sebelum tidur, Bima tiba-tiba membuka pintu kamar Raka tanpa memberi tahu sebelumnya. Raka yang kaget menatap Bima dengan mata terbuka lebar.
"Bima? Ada apa?" tanya Raka, sedikit terkejut dengan kehadiran adiknya yang tiba-tiba.
Tanpa memberi kesempatan untuk menjawab, Bima melangkah cepat menuju Raka dan memeluknya dengan erat. Rasa kekhawatiran dan keinginan untuk mendekat membuat Bima tidak bisa menahan diri. Pelukan Bima terasa sangat kuat, seakan-akan dia ingin menyatukan semua perasaannya dalam satu tindakan.
Raka terkejut dengan tindakan Bima yang tiba-tiba. "Bima, ini... apa yang kamu lakukan?"
Namun, sebelum Raka bisa menyelesaikan kalimatnya, Bima mengangkat wajahnya dan dengan lembut, tetapi penuh tekad, menempelkan bibirnya pada bibir Raka dalam sebuah ciuman yang tidak terduga. Ciuman itu berlangsung singkat, tetapi intens, penuh dengan semua perasaan yang telah Bima pendam.
Raka terdiam sejenak, merasa terkejut dan bingung. Pelukan Bima membuatnya merasa hangat dan ciuman itu menambah kompleksitas perasaannya. Raka merasa hati dan pikirannya bergejolak. Dia bisa merasakan betapa dalamnya perasaan Bima, dan dia sendiri juga tidak bisa menahan dorongan emosional yang ada di dalam dirinya.
Setelah ciuman itu, Bima melepaskan pelukannya dan menatap Raka dengan mata penuh harapan. "Bang, aku... aku nggak bisa tahan lagi. Aku cuma pengen deket sama abang, dan aku nggak tahu gimana cara bilangnya selain dengan cara ini."
Raka menghela napas, mencoba mencerna semua yang baru saja terjadi. Dia menyadari bahwa perasaan Bima sangat kuat dan jujur, dan ini adalah momen yang membuatnya harus memutuskan langkah selanjutnya.
"Bima," kata Raka dengan suara lembut namun tegas, "kita harus bicarakan ini dengan hati-hati. Aku ngerti perasaanmu, dan aku juga merasakan hal yang sama. Tapi kita perlu memastikan bahwa apa yang kita lakukan ini baik untuk kita berdua dan nggak merusak hubungan kita."
Bima mengangguk, merasakan kelegaan meskipun masih merasa cemas. "Aku tahu, Bang. Aku cuma pengen kita bisa jujur sama perasaan kita tanpa mengabaikan batasan."
Raka mengusap kepala Bima dengan lembut, berusaha menenangkan keduanya. "Kita akan hadapi ini bersama. Kita akan bicarakan ini lebih lanjut dan cari solusi yang terbaik. Yang penting, kita tetap saling mendukung dan memahami satu sama lain."
Malam itu, meskipun penuh dengan ketegangan dan emosi, Bima dan Raka duduk bersama, berbicara dengan jujur tentang perasaan mereka. Mereka menyadari bahwa perasaan mereka mungkin kompleks dan rumit, tetapi mereka berkomitmen untuk menghadapi semuanya bersama, dengan hati-hati dan saling mendukung.
KAMU SEDANG MEMBACA
"Si Adik Berotot dan Sang Abang yang Sabar"
Teen FictionDi sebuah desa kecil yang tenang, hiduplah seorang anak bernama Bima yang baru saja naik ke kelas 6 SD. Bima bukanlah anak biasa. Meskipun usianya baru 12 tahun, tubuhnya sudah seperti binaragawan profesional.