Setelah malam itu, Bima dan Raka semakin dekat. Hubungan mereka yang sebelumnya sudah erat kini terasa lebih dalam, karena mereka saling memahami dan saling mendukung dalam berbagai aspek kehidupan. Bima melanjutkan latihan fisiknya dengan semangat baru, sementara Raka, yang semakin kagum dengan perkembangan adiknya, mulai terlibat lebih aktif dalam membimbing Bima, baik dalam hal fisik maupun mental.
Suatu malam, beberapa hari setelah kompetisi, Bima kembali ke kamar Raka. Kali ini, ia membawa dumbbell kecil dan meletakkannya di lantai. Raka, yang sedang duduk di kursinya, menatap Bima dengan penasaran.
"Bim, mau latihan lagi malam-malam begini?" tanya Raka sambil tersenyum.
Bima mengangguk sambil tersenyum lebar. "Iya, Bang. Tapi kali ini, aku mau ajak abang ikut. Kan abang juga dulu sering latihan. Aku pengen kita latihan bareng, sekalian abang bisa lihat langsung teknik-teknik yang aku pakai."
Raka tertawa kecil. "Wah, Bima mau ngajarin abang sekarang? Oke, abang ikut deh. Ajarin abang ya."
Mereka berdua mulai melakukan latihan sederhana. Bima dengan telaten menunjukkan cara melakukan gerakan-gerakan yang benar, mulai dari push-up, sit-up, hingga beberapa latihan dengan dumbbell. Raka mengikuti dengan antusias, meskipun ia harus mengakui bahwa Bima kini jauh lebih kuat darinya.
"Bang, jangan lupa teknik pernapasannya, ini penting biar kita bisa tahan lebih lama saat latihan," kata Bima sambil mengatur napasnya setelah melakukan serangkaian push-up.
Raka mengangguk, mengikuti instruksi adiknya. "Iya, Bima. Abang inget. Kamu benar-benar serius ya sekarang. Abang bangga lihat kamu yang sekarang."
Setelah beberapa waktu, mereka berdua berhenti untuk istirahat. Keringat bercucuran di wajah mereka, tapi senyum tetap terpancar. Bima merasa senang bisa berbagi waktu seperti ini dengan Raka, sementara Raka merasa bangga bisa melihat langsung bagaimana Bima telah berkembang.
"Bima," kata Raka sambil mengatur napasnya, "abang benar-benar salut sama kamu. Kamu bukan cuma tahu gimana caranya jadi kuat, tapi juga gimana cara ngajarin orang lain. Itu sifat seorang pemimpin."
Bima tersenyum malu-malu mendengar pujian dari abang kandungnya. "Ah, Bang, ini semua karena abang juga. Kalau bukan karena abang dulu ngajarin aku dasar-dasar, aku nggak akan bisa sampai seperti ini. Aku cuma ngelanjutin apa yang abang mulai."
Raka merasa terharu mendengar kata-kata Bima. Ia melihat bahwa Bima tidak hanya berkembang dalam hal fisik, tetapi juga dalam karakter dan cara pandangnya terhadap kehidupan. Raka merasakan kebanggaan yang mendalam, karena ia tahu bahwa adiknya akan terus tumbuh menjadi sosok yang kuat dan bijaksana.
Malam itu, sebelum tidur, Raka mendekati Bima dan menepuk bahunya dengan lembut. "Bima, abang ingin kamu tahu bahwa apapun yang kamu lakukan ke depannya, abang akan selalu mendukung kamu. Jangan pernah ragu untuk meminta bantuan atau saran. Kita ini tim, dan abang bangga bisa jadi bagian dari perjalanan kamu."
Bima menatap Raka dengan rasa terima kasih. "Terima kasih, Bang. Aku juga bangga punya abang seperti abang. Aku janji akan terus berusaha yang terbaik, nggak cuma buat diri sendiri, tapi juga buat orang-orang di sekitar aku."
Mereka berdua berpelukan sebentar, merasakan kehangatan hubungan persaudaraan yang tak tergantikan. Malam itu, mereka tidur dengan hati yang tenang, tahu bahwa mereka selalu memiliki satu sama lain, apapun yang terjadi. Bagi Bima, dukungan Raka adalah sumber kekuatan tambahan yang akan selalu membantunya melewati setiap tantangan. Dan bagi Raka, melihat Bima tumbuh menjadi sosok yang ia impikan adalah kebahagiaan yang tak ternilai.
Hari-hari berlalu, dan Bima semakin disibukkan dengan berbagai aktivitasnya, baik di sekolah sebagai ketua OSIS maupun dalam latihan fisiknya. Namun, ia selalu meluangkan waktu untuk latihan bersama Raka di malam hari. Latihan bersama itu bukan hanya membantu Bima untuk tetap fit, tetapi juga semakin mempererat hubungan mereka sebagai saudara.
Suatu malam, ketika mereka baru saja selesai latihan dan sedang bersantai di kamar Raka, Bima terlihat agak gelisah. Raka, yang sudah mengenal adiknya dengan baik, segera menyadari ada sesuatu yang mengganggu pikiran Bima.
"Ada apa, Bim? Kok kelihatannya kamu mikir keras?" tanya Raka sambil menaruh handuk di pundaknya.
Bima menghela napas dan duduk di tepi tempat tidur, menatap ke arah lantai sejenak sebelum akhirnya berbicara. "Bang, akhir-akhir ini aku mikir... Aku ingin lebih dari sekadar ketua OSIS dan binaragawan. Aku pengen ngelakuin sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang bisa benar-benar ngubah hidup orang lain."
Raka mendengarkan dengan seksama, lalu duduk di sebelah Bima. "Maksud kamu gimana, Bim? Apa yang kamu pikirkan?"
Bima mengangkat bahunya sedikit dan menggaruk belakang kepalanya dengan canggung. "Aku nggak tahu pasti, Bang. Tapi aku pengen ngelakuin sesuatu yang bisa ninggalin jejak positif di dunia ini. Aku tahu, mungkin ini terdengar terlalu ambisius, tapi aku merasa latihan fisik dan kepemimpinan di OSIS cuma permulaan. Aku pengen gabungkan keduanya untuk sesuatu yang lebih besar."
Raka tersenyum mendengar niat tulus adiknya. "Itu nggak ambisius, Bim. Malah itu bagus. Punya mimpi besar seperti itu penting. Selama kamu tahu ke mana arah yang ingin kamu tuju, abang yakin kamu bisa sampai ke sana. Tapi jangan lupa, semua itu dimulai dari langkah kecil. Mungkin kamu bisa mulai dengan menginspirasi lebih banyak orang di sekitar kamu, kayak di sekolah, atau bahkan di komunitas."
Bima mengangguk pelan, merenungkan saran Raka. "Iya, Bang. Mungkin abang benar. Aku bisa mulai dari yang kecil dulu, terus berkembang dari sana. Aku pengen ngajarin teman-teman di sekolah tentang pentingnya kebugaran fisik dan kesehatan mental, dan bagaimana keduanya bisa bantu kita jadi pribadi yang lebih baik."
Raka merasa bangga dengan cara berpikir Bima yang sudah semakin dewasa. "Itu ide yang bagus, Bima. Kamu bisa bikin program di sekolah, kayak klub kebugaran atau kegiatan sosial yang fokus pada kesehatan. Dengan begitu, kamu nggak cuma bantu diri sendiri, tapi juga teman-teman kamu. Dan siapa tahu, dari situ kamu bisa terinspirasi untuk bikin perubahan yang lebih besar lagi."
Bima menatap Raka dengan mata yang berbinar-binar. "Makasih, Bang. Aku akan mulai memikirkan cara-cara untuk mewujudkannya. Aku akan mulai dari sekolah, dan siapa tahu, suatu hari aku bisa bikin perubahan yang lebih besar."
Raka menepuk bahu Bima dengan bangga. "Abang yakin kamu bisa, Bima. Dan abang selalu ada di sini kalau kamu butuh bantuan atau sekedar ngobrol. Ingat, kamu nggak sendiri."
Malam itu, setelah pembicaraan mereka, Bima merasa semangat baru membara di dalam dirinya. Ia mulai menyusun rencana untuk membawa perubahan positif di sekolahnya. Dari ide-ide kecil yang ia pikirkan bersama Raka, ia yakin bisa membangun sesuatu yang lebih besar.
Dalam beberapa minggu ke depan, Bima mulai bergerak. Ia mengusulkan program kebugaran dan kesehatan mental di sekolah, melibatkan teman-temannya untuk ikut serta. Dengan kepemimpinannya yang kuat dan semangat yang tak kenal lelah, program itu mulai berkembang dan mendapatkan banyak dukungan dari guru serta siswa.
Raka, yang selalu mengawasi dari dekat, merasa bangga setiap kali mendengar kabar tentang kesuksesan Bima. Ia tahu bahwa adiknya sedang berada di jalur yang benar, dan ia siap mendukungnya setiap saat.
Dengan dukungan Raka, serta dedikasi dan semangatnya sendiri, Bima terus berkembang. Ia tahu bahwa ini baru permulaan, dan banyak hal besar yang masih menunggu di depannya. Tapi dengan hati yang besar dan otot yang kuat, Bima siap untuk menghadapi apapun yang datang, meninggalkan jejak positif di dunia ini seperti yang selalu ia impikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
"Si Adik Berotot dan Sang Abang yang Sabar"
Teen FictionDi sebuah desa kecil yang tenang, hiduplah seorang anak bernama Bima yang baru saja naik ke kelas 6 SD. Bima bukanlah anak biasa. Meskipun usianya baru 12 tahun, tubuhnya sudah seperti binaragawan profesional.