EPS.10

291 3 3
                                    

Setelah beberapa minggu bekerja sama dalam program kebugaran di sekolah, hubungan antara Bima dan Nia semakin dekat. Mereka sering menghabiskan waktu bersama, baik di dalam maupun di luar kegiatan sekolah. Bagi Nia, perasaan kagum dan suka terhadap Bima semakin kuat, namun ia tetap menyimpannya dalam hati, takut untuk mengungkapkan perasaannya.

Setiap kali mereka latihan bersama, Nia semakin kagum dengan fisik Bima. Dia selalu memperhatikan bagaimana otot-otot Bima bekerja saat dia mengangkat beban atau melakukan gerakan olahraga lainnya. Di sisi lain, Nia merasa semakin nyaman di dekat Bima, namun perasaannya mulai bercampur dengan keinginan yang lebih dalam, yang membuatnya sedikit bingung dan gelisah.

Suatu malam, setelah latihan bersama, Nia dan Bima memutuskan untuk berjalan pulang bersama. Malam itu, udara dingin mulai terasa, dan Nia merasa sedikit kedinginan. Mereka berjalan melewati taman dekat rumah Bima, bercanda dan tertawa tentang hal-hal kecil yang terjadi di sekolah.

"Sampai di sini dulu, Nia. Rumah kamu nggak jauh lagi, kan?" kata Bima saat mereka tiba di dekat rumah Nia.

"Iya, Bima. Terima kasih sudah antar aku," jawab Nia sambil tersenyum.

Bima mengangguk. "Kamu hati-hati ya. Besok kita latihan lagi?"

Nia mengangguk pelan. "Pasti, Bima. Aku akan siap."

Setelah itu, mereka berpisah. Namun, malam itu, Nia merasa ada sesuatu yang aneh dalam dirinya. Perasaan ingin lebih dekat dengan Bima semakin kuat, dan ia mulai bertanya-tanya tentang keinginannya yang tidak biasa. Dia mencoba untuk mengabaikan perasaan itu, tetapi semakin malam semakin sulit untuk diabaikan.

Keesokan harinya, saat mereka kembali berlatih bersama di rumah Bima, perasaan itu muncul lagi. Nia mulai merasa ingin berada lebih lama di dekat Bima, tidak hanya sebagai teman latihan, tetapi lebih dari itu. Saat mereka selesai berolahraga dan duduk beristirahat di ruang tamu, Nia akhirnya mengumpulkan keberanian untuk mengutarakan sesuatu yang telah lama ada di pikirannya.

"Bima, aku ingin ngomong sesuatu," kata Nia dengan suara pelan.

Bima menoleh ke arah Nia, memperhatikan nada serius dalam suaranya. "Ada apa, Nia? Kamu kelihatan tegang. Ada yang bisa aku bantu?"

Nia menggigit bibirnya, mencoba menenangkan diri sebelum berbicara. "Aku tahu ini mungkin terdengar aneh, tapi... belakangan ini aku merasa sangat nyaman di dekat kamu. Bahkan, aku mulai merasa ingin lebih dekat lagi dengan kamu. Maksudku, lebih dari sekadar teman."

Bima mendengarkan dengan seksama, merasa sedikit terkejut, tetapi ia tetap tenang dan tidak ingin membuat Nia merasa canggung.

"Aku mengerti, Nia. Aku juga merasa kita semakin dekat. Kamu adalah teman yang baik, dan aku senang bisa membantu kamu dalam latihan dan hal lainnya," kata Bima dengan hati-hati.

Nia merasa jantungnya berdetak semakin kencang. "Tapi bukan cuma itu, Bima. Aku... aku merasa ingin lebih dari itu. Aku tahu ini mungkin salah, tapi aku tidak bisa berhenti memikirkannya. Aku ingin... aku ingin bisa tidur di dekat kamu, merasakan kehangatan kamu di dekatku."

Bima terdiam sejenak, mencerna kata-kata Nia. Ia tidak menyangka Nia akan mengungkapkan keinginan seperti itu. Namun, sebagai seorang pemuda yang bertanggung jawab dan selalu memikirkan kebaikan orang lain, ia merasa perlu merespon dengan bijaksana.

"Nia, aku menghargai kejujuran kamu. Tapi, kamu harus tahu, tidur bersama adalah sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kedekatan fisik. Itu melibatkan banyak hal, termasuk perasaan, kepercayaan, dan tanggung jawab yang besar. Aku nggak mau kita melakukan sesuatu yang nanti bisa kita sesali," jawab Bima dengan lembut.

Nia menunduk, merasa sedikit malu karena telah mengungkapkan perasaannya yang mendalam. Namun, ia juga merasa lega karena akhirnya bisa jujur pada Bima.

"Aku mengerti, Bima. Aku cuma... mungkin terlalu terbawa perasaan. Maaf kalau aku membuat kamu merasa tidak nyaman."

Bima tersenyum dan mengusap kepala Nia dengan lembut. "Nggak apa-apa, Nia. Aku senang kamu jujur sama aku. Tapi kita masih muda, masih banyak hal yang harus kita pelajari tentang diri kita sendiri dan tentang perasaan kita. Yang penting, kita tetap saling mendukung dan menjaga hubungan baik ini."

Nia mengangguk pelan, meskipun hatinya masih diliputi perasaan campur aduk. "Terima kasih, Bima. Kamu benar. Aku akan mencoba untuk lebih mengendalikan perasaanku."

Setelah itu, mereka melanjutkan obrolan dengan lebih santai, dan Bima berusaha untuk menjaga agar Nia tetap merasa nyaman. Meskipun perasaan Nia tidak sepenuhnya hilang, ia merasa lebih baik setelah berbicara dengan Bima. Ia menyadari bahwa kedekatan yang mereka miliki adalah sesuatu yang berharga, dan dia tidak ingin merusaknya hanya karena perasaannya sendiri.

Malam itu, Nia pulang dengan perasaan yang campur aduk, tapi juga dengan tekad untuk menghargai hubungan mereka apa adanya. Dia tahu bahwa perasaannya terhadap Bima mungkin tidak akan mudah hilang, tapi ia juga tahu bahwa ada hal-hal yang lebih penting daripada sekadar memenuhi keinginan sesaat. Dan untuk sekarang, itu sudah cukup baginya.

"Si Adik Berotot dan Sang Abang yang Sabar"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang