Malam itu, setelah makan malam, Bima mencari kesempatan untuk bicara dengan Raka, abangnya. Setelah memastikan bahwa orang tua mereka tidak ada di sekitar, Bima masuk ke kamar Raka dan duduk di tempat tidur, tampak ragu-ragu.
"Ada apa, Bim? Kelihatannya kamu lagi mikirin sesuatu," tanya Raka sambil menatap adiknya dengan perhatian.
Bima menghela napas dalam-dalam, mencoba merangkai kata-kata yang tepat. "Bang, aku pengen cerita sesuatu, tapi tolong jangan marah dulu, ya."
Raka menautkan alisnya, merasa sedikit khawatir. "Oke, aku dengerin. Ada apa?"
Bima mulai bercerita tentang kedekatannya dengan Nia selama beberapa minggu terakhir, bagaimana mereka sering latihan bersama, dan bagaimana Nia secara tidak langsung mengungkapkan perasaannya. Raka mendengarkan dengan seksama, merasa bahwa ini hanyalah masalah biasa bagi anak remaja. Namun, ketika Bima sampai pada bagian di mana Nia menyatakan keinginannya untuk tidur bersama, wajah Raka berubah serius.
"Kamu bilang apa tadi? Nia ingin tidur bareng kamu?" tanya Raka dengan nada yang mulai meninggi.
Bima mengangguk, merasa canggung. "Iya, Bang. Dia bilang dia merasa nyaman di dekat aku dan pengen lebih dekat lagi. Tapi aku udah bilang ke dia kalau kita masih terlalu muda buat hal kayak gitu."
Mendengar itu, Raka langsung berdiri dari tempat tidurnya dengan ekspresi marah yang jelas terlihat. "Bima, ini nggak bisa dianggap remeh! Kamu tau kan, hal kayak gitu bisa berbahaya. Apalagi kalian masih anak-anak. Kenapa kamu nggak langsung kasih tahu aku atau orang tua sejak awal?"
Bima menunduk, merasa bersalah. "Aku nggak mau bikin dia malu atau takut, Bang. Aku cuma pengen dia ngerti kalau kita nggak bisa sembarangan ngelakuin hal kayak gitu."
Raka menggelengkan kepala, mencoba menahan emosinya. "Bima, ini bukan soal malu atau nggak nyaman. Ini soal kamu harus tahu batasan. Hal kayak gitu bisa ngundang masalah besar kalau nggak dikontrol. Kamu harus lebih hati-hati, apalagi kalau ada cewek yang mulai ngerasa nyaman berlebihan sama kamu."
Raka berjalan mondar-mandir di kamar, berusaha menenangkan dirinya. Bima bisa melihat betapa marahnya abangnya, tapi dia tahu Raka hanya khawatir. Setelah beberapa saat, Raka akhirnya berhenti dan menatap Bima dengan serius.
"Mulai sekarang, kamu harus jaga jarak sama Nia. Bukan berarti kamu putus hubungan, tapi kamu harus bikin batasan yang jelas. Kalau dia ajak ngobrol tentang hal-hal yang nggak seharusnya, kamu harus tegas, bilang nggak. Ngerti?"
Bima mengangguk pelan, merasa lega meskipun masih ada sedikit ketegangan dalam dirinya. "Iya, Bang. Aku ngerti. Aku nggak mau bikin masalah atau bikin Nia ngerasa nggak nyaman."
Raka menarik napas dalam-dalam, lalu duduk kembali di tempat tidurnya. "Aku tahu kamu anak baik, Bim. Tapi kadang orang yang terlalu baik malah bisa kebawa arus. Kamu harus lebih waspada dan jangan biarkan perasaanmu menguasai akal sehatmu."
Bima mengangguk lagi, dan Raka meraih pundaknya, menatapnya dengan penuh kasih sayang. "Aku cuma pengen kamu aman, Bim. Itu aja. Kita kan keluarga, kita harus saling jaga."
Malam itu, setelah perbincangan dengan Raka, Bima merasa sedikit lebih tenang, meskipun masih ada sedikit kecemasan. Dia tahu bahwa dia harus lebih berhati-hati dalam menjaga hubungan dengan Nia. Dia juga merasa bersyukur karena memiliki abang yang peduli padanya dan selalu siap memberikan nasihat di saat yang sulit.
Keesokan harinya, Bima kembali bertemu dengan Nia di sekolah. Meskipun suasana sedikit canggung, Bima berusaha bersikap normal dan tidak menunjukkan bahwa dia telah menceritakan semuanya kepada Raka. Namun, di dalam hatinya, Bima bertekad untuk menjaga jarak yang sehat dengan Nia dan memastikan bahwa hubungan mereka tetap dalam batas-batas yang aman dan nyaman bagi keduanya.
Setelah pembicaraan serius dengan Raka, Bima mulai menjaga jarak dengan Nia. Meskipun mereka masih bertemu di sekolah dan sesekali bertukar sapa, hubungan mereka tidak lagi seakrab dulu. Bima bisa melihat bahwa Nia mulai menjauh darinya, tidak lagi mengikuti program latihan bersama, dan lebih sering menghabiskan waktu dengan teman-teman lainnya.
Awalnya, Bima merasa lega. Dia berpikir ini adalah hal terbaik bagi mereka berdua, mengingat saran dari Raka dan pentingnya menjaga batasan dalam hubungan. Namun, seiring waktu, Bima mulai merasa kehilangan. Nia adalah teman dekatnya, dan tanpa disadari, dia telah menjadi bagian penting dari kehidupan sehari-harinya. Rasa sepi mulai menghinggapi hati Bima, meskipun dia tahu bahwa ini adalah keputusan yang tepat.
Di sisi lain, selama proses ini, Bima mulai lebih menyadari betapa besar perhatian dan kasih sayang yang selalu diberikan oleh Raka kepadanya. Raka selalu ada di saat-saat sulit, memberikan nasihat dan dukungan tanpa pamrih. Raka bukan hanya seorang abang, tetapi juga figur yang selalu menjaga Bima dengan penuh cinta dan tanggung jawab.
Seiring dengan menjauhnya Nia, Bima semakin sering menghabiskan waktu dengan Raka. Mereka berbicara lebih banyak, bukan hanya tentang hal-hal sepele, tetapi juga tentang perasaan, impian, dan harapan mereka. Raka selalu menjadi pendengar yang baik, dan Bima merasa nyaman untuk membuka diri lebih dalam kepada abangnya.
Lama kelamaan, Bima mulai menyadari bahwa perasaannya terhadap Raka mulai berubah. Ini bukan lagi sekadar rasa sayang seorang adik kepada abangnya, tetapi ada sesuatu yang lebih dalam dan lebih kompleks. Bima mulai merasakan kehangatan yang berbeda setiap kali berada di dekat Raka, dan setiap perhatian kecil yang diberikan Raka membuat hatinya berdebar.
Bima bingung dengan perasaan ini. Dia tidak tahu apakah ini normal, atau apakah ini sesuatu yang seharusnya dia sembunyikan. Dia merasa bersalah karena memiliki perasaan yang begitu dalam terhadap abangnya, tetapi di sisi lain, dia tidak bisa menyangkal bahwa Raka adalah orang yang paling berarti baginya sekarang.
Suatu malam, setelah mereka berdua selesai nonton film bersama di ruang tamu, Bima memberanikan diri untuk berbicara.
"Bang, aku pengen ngomong sesuatu," kata Bima dengan suara lembut.
Raka menoleh ke arah adiknya, tersenyum. "Ada apa, Bim? Kamu kelihatannya serius banget."
Bima menghela napas dalam-dalam. "Aku cuma... Aku mau bilang makasih, Bang. Selama ini abang udah selalu ada buat aku. Abang nggak pernah ninggalin aku, bahkan di saat aku bingung dan nggak tahu harus gimana."
Raka tersenyum lembut, lalu mengusap kepala Bima dengan penuh kasih sayang. "Kamu kan adikku, Bim. Aku akan selalu ada buat kamu, apapun yang terjadi."
Mendengar itu, hati Bima semakin bergetar. Dia tahu bahwa perasaannya terhadap Raka sudah tumbuh menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar hubungan saudara. Tapi, dia tidak berani mengungkapkannya. Bima takut bahwa perasaannya akan merusak hubungan mereka yang begitu erat.
"Bang," kata Bima dengan suara yang hampir berbisik, "Aku nggak tahu gimana bilangnya, tapi... aku rasa aku... aku sayang banget sama abang. Lebih dari sekadar abang-adik."
Raka terdiam sejenak, mencoba mencerna apa yang baru saja dikatakan oleh Bima. Mata Bima tampak penuh emosi, seakan-akan ada beban berat yang ingin dia lepaskan. Raka bisa merasakan bahwa ini adalah momen yang sangat penting bagi Bima.
Raka menatap Bima dengan lembut, lalu meraih pundaknya. "Bima, aku ngerti. Perasaan itu bisa datang dari mana saja, dan kadang kita sendiri nggak bisa mengendalikannya. Yang penting sekarang, kita harus tetap jujur sama diri kita sendiri dan tetap menjaga apa yang sudah kita punya."
Bima merasa matanya mulai berkaca-kaca. "Bang, aku nggak mau ngerusak hubungan kita. Aku cuma... aku nggak tahu gimana ngadepin perasaan ini."
Raka menarik Bima ke dalam pelukan, memeluknya erat seolah mencoba menyalurkan ketenangan dan kenyamanan. "Bima, kamu nggak sendiri. Aku selalu ada buat kamu, dan kita bisa hadapi ini bareng-bareng. Apa pun yang kamu rasain, kita akan cari jalan terbaik. Yang penting, kita tetap saling mendukung."
Pelukan Raka membuat Bima merasa lebih tenang. Di dalam dekapan abangnya, Bima merasa aman, seolah semua perasaan bingung dan gelisahnya bisa sirna. Meskipun dia belum tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, Bima yakin bahwa selama Raka ada di sisinya, dia akan bisa menghadapi apapun.
Malam itu, setelah percakapan yang mendalam, Bima dan Raka semakin dekat, bukan hanya sebagai saudara, tetapi sebagai dua orang yang saling memahami dan mendukung satu sama lain. Perasaan Bima terhadap Raka mungkin akan terus tumbuh, tetapi dia tahu bahwa hubungan mereka akan selalu dibangun di atas dasar saling menghargai dan kasih sayang yang tulus.
KAMU SEDANG MEMBACA
"Si Adik Berotot dan Sang Abang yang Sabar"
Teen FictionDi sebuah desa kecil yang tenang, hiduplah seorang anak bernama Bima yang baru saja naik ke kelas 6 SD. Bima bukanlah anak biasa. Meskipun usianya baru 12 tahun, tubuhnya sudah seperti binaragawan profesional.