Setelah pulang dari kompetisi binaraga dan menerima banyak pujian dari teman-teman serta gurunya, Bima masih merasa euforia kemenangan yang baru saja diraihnya. Sesampainya di rumah, meskipun hari sudah malam, ia langsung menuju kamar Raka untuk berbagi kegembiraannya.
Di dalam kamar, Raka sedang bersantai sambil membaca buku. Mendengar pintu diketuk dengan agak keras, Raka langsung tahu siapa yang datang.
"Bima, kamu kelihatan semangat banget," kata Raka sambil tersenyum melihat adiknya yang baru saja membuka pintu.
Bima masuk dengan penuh antusias, masih mengenakan medali peraknya. "Bang, kamu harus lihat ini!" ujarnya sambil berjalan ke depan cermin besar di kamar Raka.
Tanpa menunggu jawaban, Bima mulai memamerkan otot-ototnya di depan cermin, memperlihatkan setiap lekuk dan definisi otot yang ia banggakan. Dengan nada sedikit bercanda, tapi penuh semangat, Bima berkata, "Bang, lihat nih otot dada sama lengan aku! Keren, kan? Ini semua hasil latihan keras!"
Raka tertawa kecil melihat aksi adiknya yang penuh percaya diri. "Wah, mantap sekali, Bim! Otot kamu benar-benar terlihat lebih besar dan kencang! Kamu pasti bikin semua orang terkesan di kompetisi tadi."
Bima tersenyum lebar, kemudian berbalik menghadap Raka, memperlihatkan otot-ototnya dari berbagai sudut. "Iya, Bang! Semua orang pada kagum. Mereka bilang aku punya potensi besar. Aku juga jadi tahu, ternyata latihan yang abang ajarin itu benar-benar ngaruh. Otot-otot ini hasil kerja keras dan disiplin."
Raka mengangguk setuju, "Memang benar, Bima. Kamu telah bekerja keras dan itu terlihat jelas dari hasilnya. Abang bangga sama kamu, bukan cuma karena otot-otot kamu, tapi juga karena kamu udah ngerti gimana caranya jadi kuat di luar dan di dalam."
Bima, dengan senyum penuh kemenangan, melanjutkan pamer ototnya sambil tertawa kecil, "Tapi tetap, Bang, lihat nih, lengan aku! Nggak ada yang bisa lawan ini di sekolah!"
Raka menggelengkan kepala sambil tersenyum lebar. "Hehe, ya, ya, abang ngaku kalah deh sama otot kamu. Tapi ingat, Bima, yang lebih penting dari otot besar itu adalah hati yang besar."
Mendengar itu, Bima berhenti sejenak, lalu menurunkan kedua tangannya. Ia menatap abang kandungnya dengan penuh rasa hormat. "Iya, Bang. Aku nggak akan pernah lupa itu. Dan aku senang karena abang selalu ingetin aku soal itu."
Mereka berdua tertawa bersama, saling mengerti bahwa meskipun Bima bangga dengan kekuatan fisiknya, ada sesuatu yang jauh lebih dalam dan berarti yang telah ia pelajari dari perjalanan ini. Di malam itu, di kamar Raka, Bima merasakan kebahagiaan yang sederhana tapi dalam, tahu bahwa ia memiliki seorang abang yang selalu mendukung dan membimbingnya di setiap langkah.
Melihat Bima yang begitu percaya diri memamerkan otot-ototnya, Raka merasa kagum sekaligus penasaran. Selama ini, ia hanya melihat perkembangan tubuh adiknya dari jauh, namun kali ini ia benar-benar ingin merasakan sendiri hasil kerja keras Bima.
Raka, dengan senyum penuh kekaguman, mengukurkan tangannya ke arah Bima. "Bim, boleh abang sentuh otot kamu? Abang pengen tahu gimana kerasnya."
Bima tersenyum bangga merasakan pujian dari abang yang selama ini ia kagumi, "Iya, Bang. Semua ini berkat latihan yang bang ajarin sama semangat yang nggak pernah padam."
Raka kemudian menyentuh otot dada Bima, merasakan bagaimana otot-otot itu menegang dengan kuat di bawah tangannya. "Otot dada kamu juga luar biasa, Bima. Abang benar-benar kagum. Kamu bukan hanya sekadar kuat, tapi juga disiplin. Ini bukan sesuatu yang gampang dicapai."
Bima merasa senang melihat Raka begitu terkesan. "Aku cuma ingin bikin abang bangga. Dan aku tahu dengan tubuh yang kuat ini, aku bisa bantu lebih banyak orang, kayak yang abang selalu bilang."
Raka mengangguk dengan penuh rasa hormat. "Abang selalu bangga sama kamu, Bima. Kamu bukan cuma kuat di luar, tapi juga punya hati yang besar. Itu yang bikin kamu perbeda dari yang lain.
Mereka berdua terdiam sejenak, merasakan ikatan yang semakin uat di antara mereka. Raka, yang selama ini menjadi teladan bagi Bima, kini melihat bahwa adiknya telah tumbuh menjadi seseorang yang tidak hanya kuat secara fisik, tetapi juga secara moral. la merasa bahagia melihat bagaimana Bima telah berkembang dan bagaimana ia memanfaatkan kekuatannya untuk hal-hal yang positif.
Teruslah seperti ini, Bima," kata Raka sambil menepuk lembut bahu adiknya. "Gunakan kekuatanmu dengan bijak, dan kamu akan bisa mencapai lebih banyak hal yang baik."
Bima mengangguk dengan mantap. "Aku janji, Bang. Aku nggak akan sia-siakan apa yang sudah aku pelajari dari abang."
Dngan itu, mereka berdua saling tersenyum, menyadari bahwa perjalanan Bima baru saja dimulai. Dengan tubuh yang kuat dan hati yang penuh empati, Bima siap menghadapi dunia dengan segala tantangannya, didukung oleh Raka yang selalu berada di sisinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
"Si Adik Berotot dan Sang Abang yang Sabar"
Teen FictionDi sebuah desa kecil yang tenang, hiduplah seorang anak bernama Bima yang baru saja naik ke kelas 6 SD. Bima bukanlah anak biasa. Meskipun usianya baru 12 tahun, tubuhnya sudah seperti binaragawan profesional.