Hari-hari berlalu, dan Bima semakin rajin berlatih. Setiap pagi sebelum sekolah, ia bangun lebih awal untuk melakukan rutinitas olahraga. Setelah pulang sekolah, ia menyempatkan diri untuk berlatih angkat beban dengan barbel kecil yang Raka belikan sebagai hadiah ulang tahunnya. Tidak jarang, teman-temannya datang ke rumah untuk melihat Bima berlatih dan mengagumi otot-ototnya yang semakin menonjol.
Suatu hari, sekolah Bima mengadakan lomba olahraga antar kelas. Ada berbagai macam lomba, seperti lari cepat, tarik tambang, dan balap karung. Bima, dengan percaya diri yang tinggi, mendaftarkan dirinya untuk mengikuti lomba tarik tambang. Ia tahu bahwa kekuatan fisiknya akan sangat berguna dalam lomba ini.
Ketika hari lomba tiba, Bima merasa sangat bersemangat. Raka, yang kebetulan libur kerja, datang ke sekolah untuk menyemangati adiknya. "Bima, abang yakin kamu bisa menang. Tapi ingat, lomba itu bukan hanya soal menang atau kalah. Yang penting kamu tetap sportif dan nggak meremehkan lawan," pesan Raka sebelum Bima memasuki arena lomba.
Bima mengangguk dengan senyum lebar. "Tenang aja, Bang! Aku bakal kasih yang terbaik."
Di arena tarik tambang, Bima ditempatkan sebagai ujung tombak timnya. Tim lawan, yang juga terdiri dari anak-anak yang kuat, tampak serius dan siap bertarung. Ketika peluit ditiup, kedua tim mulai menarik tali sekuat tenaga. Bima, dengan otot-ototnya yang kuat, berhasil memberikan dorongan besar bagi timnya. Perlahan, tim Bima mulai menarik tali ke arah mereka, mendekati garis kemenangan.
Namun, tepat saat tali hampir melewati garis, salah satu anggota tim lawan tergelincir dan jatuh, menyebabkan tim mereka kalah. Bima dan teman-temannya bersorak gembira, namun ada yang berbeda dari ekspresi Bima. Ia melihat lawannya jatuh dan merasa sedikit tidak enak hati.
Setelah lomba selesai, Bima mendekati tim lawan yang tampak kecewa. "Hei, kalian hebat banget tadi. Maaf ya kalau ada yang terluka," katanya dengan tulus.
Anak yang jatuh tadi tersenyum kecil dan menjawab, "Gak apa-apa, Bima. Kamu memang kuat banget. Kita jadi belajar banyak dari kamu."
Bima merasa lega mendengar kata-kata itu. Ia menyadari bahwa meski menang, penting untuk tetap menghargai lawan dan menjaga sportivitas. Ia mengulurkan tangannya kepada anak yang jatuh tadi, dan mereka berjabat tangan sebagai tanda saling menghormati.
Setelah lomba, Raka mendatangi Bima dan menepuk pundaknya. "Abang bangga sama kamu, Bima. Kamu nggak cuma menang dengan kekuatan fisik, tapi juga dengan hati yang besar."
Bima tersenyum lebar, "Terima kasih, Bang. Aku senang bisa menang, tapi lebih senang lagi bisa berteman dengan mereka. Ternyata, kemenangan yang paling berharga adalah ketika kita bisa berbagi dan menghormati orang lain."
Malam itu, di rumah, Bima merenung tentang semua yang terjadi. Ia berbaring di tempat tidurnya sambil memikirkan kata-kata Raka. Ia merasa semakin dekat dengan pemahaman bahwa kekuatan sejati bukan hanya tentang otot yang besar, tapi juga tentang bagaimana kita menggunakan kekuatan itu untuk kebaikan.
Esok harinya, Bima kembali ke sekolah dengan semangat yang sama, tetapi kali ini dengan tekad baru. Ia tidak hanya ingin menjadi yang terkuat secara fisik, tapi juga yang terkuat dalam hal kebaikan dan kepedulian terhadap sesama.
Raka yang selalu mendukung dan membimbing Bima, merasa bahwa adiknya semakin dewasa. Ia tahu bahwa Bima akan tumbuh menjadi seseorang yang tidak hanya kuat, tetapi juga bijaksana dan penuh kasih. Dan setiap kali Bima memamerkan ototnya kepada Raka, kini itu bukan hanya untuk mendapatkan pujian, tetapi juga untuk mengingatkan dirinya bahwa kekuatan fisik hanyalah sebagian dari kekuatan sejati yang ia miliki.
KAMU SEDANG MEMBACA
"Si Adik Berotot dan Sang Abang yang Sabar"
Teen FictionDi sebuah desa kecil yang tenang, hiduplah seorang anak bernama Bima yang baru saja naik ke kelas 6 SD. Bima bukanlah anak biasa. Meskipun usianya baru 12 tahun, tubuhnya sudah seperti binaragawan profesional.