Renjun memang biasanya anak yang manis dan patuh, tapi seperti anak-anak lainnya, ada kalanya ia merasa iseng dan sedikit nakal. Hari itu, di akhir pekan yang cerah, Renjun yang seharusnya sedang mengerjakan tugas menggambar di ruang tamu, malah sibuk bermain-main dengan spidol warna-warni yang baru dibelikan oleh Papa.
Bukannya menggambar di atas kertas seperti yang diminta oleh Mama, Renjun mulai melukis di tempat-tempat lain yang menurutnya lebih menarik. Dinding putih ruang tamu, yang biasanya bersih, kini penuh dengan coretan warna-warni yang tidak beraturan—dan sebagian besar adalah hasil karya Renjun.
Saat Donghyuck melihat dinding yang penuh coretan itu, ia hanya bisa menggelengkan kepala. “Aduh, adik kecil, kenapa kamu corat-coret di dinding? Mama pasti marah kalau lihat ini!”
Renjun hanya tertawa kecil, merasa bangga dengan "karya seni" barunya. “Bagus kan, Kak Hyuck? Ini gambar matahari, dan ini awan!” katanya dengan antusias sambil menunjuk coretan yang menurutnya mirip dengan bentuk-bentuk tersebut.
Namun, Donghyuck tahu bahwa meski Renjun menganggap itu sebagai seni, Mama mungkin akan berpikir lain. “Renjun, kamu nggak boleh corat-coret di dinding. Mama udah bilang buat gambar di kertas aja,” ucapnya sedikit tegas, mencoba memperingatkan adiknya sebelum terlambat.
Seperti sudah bisa menebak apa yang akan terjadi, Donghyuck memutuskan untuk memberi tahu Papa. “Pa, coba deh lihat apa yang Renjun lakukan di ruang tamu,” katanya dengan nada penuh kewaspadaan.
Papa, yang sedang membaca koran di teras, segera bangkit dan berjalan masuk ke dalam rumah. Sesampainya di ruang tamu, Papa melihat dinding yang kini penuh dengan warna-warna cerah. Mata Papa terbelalak sejenak, tetapi ia segera mengontrol ekspresinya agar tidak membuat Renjun ketakutan.
“Renjun,” panggil Papa dengan suara yang sengaja dibuat sedikit berat, “Papa bisa lihat kamu sedang asyik bermain spidol ya?”
Renjun yang mendengar suara Papa langsung membalikkan badan dan menatap Papa dengan mata besar. Senyum yang tadi menghiasi wajahnya perlahan memudar saat ia menyadari bahwa Papa mungkin tidak begitu senang dengan apa yang dilakukannya. “Papa, lihat deh gambar Renjun. Bagus kan?” tanyanya, berusaha menutupi rasa bersalahnya dengan senyuman manis.
Papa mendekati Renjun dan berjongkok agar sejajar dengan putranya. “Papa lihat kok, Renjun memang jago gambar. Tapi…” Papa membuat jeda sejenak, menatap dinding yang penuh coretan, “Bukannya kita sudah sepakat untuk menggambar di kertas saja, bukan di dinding?”
Renjun menunduk, memainkan ujung bajunya dengan gelisah. “Renjun lupa, Pa…” jawabnya pelan, suara kecilnya penuh penyesalan.
Melihat raut wajah Renjun yang sudah mulai merasa bersalah, Papa memutuskan untuk melanjutkan dengan "pura-pura marah" yang sering ia gunakan untuk mengajarkan disiplin. “Wah, kalau begitu, Papa harus memarahi Renjun. Dinding rumah ini kan harus tetap bersih. Bagaimana kalau sekarang Renjun bantu Papa membersihkan dindingnya?”
Renjun mengangguk pelan, merasa sedikit takut akan dimarahi lebih keras. “Iya, Pa… Renjun bantu bersihin…”
Papa tersenyum kecil, tapi tetap menampilkan wajah yang serius. “Bagus, kita kerjakan sama-sama ya. Tapi janji ya, lain kali kalau mau gambar, pakai kertas saja.”
Renjun menatap Papa dengan mata yang masih berkaca-kaca. “Renjun janji, Pa…”
Papa akhirnya mengacak-acak rambut Renjun dengan lembut. “Nah, itu anak Papa yang baik. Papa nggak marah, kok. Tapi ingat ya, dinding itu tempatnya tetap bersih, oke?”
Renjun tersenyum lega, merasa beban di dadanya sedikit terangkat. Donghyuck yang dari tadi mengamati dengan diam-diam pun akhirnya muncul dengan kain lap dan ember kecil berisi air. “Ayo, adik kecil, Kakak bantu juga. Kita bersihkan sama-sama.”
Renjun merasa lebih baik ketika kakaknya dan Papa ikut membantunya. Mereka mulai membersihkan dinding yang penuh coretan bersama-sama. Mama yang melihat dari jauh hanya tersenyum tipis, tidak ikut campur karena ia tahu bahwa Papa sudah cukup mengatasi situasi.
Setelah selesai, dinding kembali bersih dan Renjun merasa lebih baik. Sebagai penutup, Papa memeluk Renjun erat-erat dan memberikan ciuman di keningnya. “Ingat ya, Nak, Papa sayang kamu, tapi ada aturan-aturan yang harus kita ikuti di rumah ini.”
Renjun mengangguk, “Iya, Pa… Renjun sayang Papa juga.”
Malam harinya, setelah makan malam, keluarga berkumpul di ruang keluarga. Minhyung dan Donghyuck, meskipun sempat kesal, akhirnya ikut bermain bersama Renjun. Mereka bergiliran mendongeng cerita-cerita lucu yang membuat Renjun tertawa hingga ia tertidur di sofa.
Ketika malam semakin larut, Mama mengangkat Renjun yang sudah terlelap ke tempat tidurnya. "Renjun hari ini nakal, tapi Mama tetap sayang kamu. Besok jadi anak baik lagi, ya," bisik Mama sambil mengecup keningnya.
Di rumah keluarga Lee, cinta dan pengertian selalu hadir meskipun ada keusilan kecil dari Renjun. Mereka tahu bahwa keusilan itu adalah bagian dari tumbuh kembangnya, dan mereka selalu siap membimbingnya dengan kasih sayang.
To be continued
KAMU SEDANG MEMBACA
Paracetamol
FanfictionKeluarga itu ibarat obat Paracetamol, penghilang rasa nyeri dan menyembuhkan demam.