Keesokan harinya, Setelah seharian penuh dengan kegiatan mempersiapkan kedatangan kelinci baru mereka, suasana rumah terasa tenang dan damai saat malam menjelang. Renjun berbaring di tempat tidurnya, pikirannya dipenuhi dengan berbagai macam harapan dan antisipasi. Namun, ketenangan itu tidak berlangsung lama, karena dalam tidurnya, Renjun mulai merasakan sesuatu yang aneh.
Dalam mimpinya, Renjun berjalan menyusuri halaman rumah yang tiba-tiba terasa sangat sepi. Tidak ada suara kakak-kakaknya yang biasanya riuh, tidak ada canda tawa mereka yang biasa menemaninya bermain. Dia terus berjalan, mencari suara yang familiar, hingga akhirnya berhenti di bawah pohon besar di ujung halaman.
Di sana, dia melihat kelinci putih yang akan mereka pelihara. Kelinci itu tampak lebih besar dari biasanya, bulunya sangat halus dan bersinar di bawah sinar matahari. Tapi anehnya, kakak-kakaknya, Minhyung dan Donghyuck, sedang asyik bermain dengan kelinci itu, seakan-akan Renjun tidak ada di sana. Mereka tertawa, mengelus-elus kelinci, dan memanggilnya dengan nama-nama panggilan sayang yang biasanya hanya digunakan untuk Renjun.
“Kelinci, kamu lucu sekali! Kami sayang sekali sama kamu!” ujar Minhyung sambil memeluk kelinci itu.
Renjun merasa ada yang tidak beres. Ia mencoba mendekati mereka, tetapi kakak-kakaknya tidak memperhatikannya. Mereka seolah tidak bisa mendengar atau melihat Renjun. Donghyuck kemudian membawa kelinci itu masuk ke dalam rumah, meninggalkan Renjun sendirian di luar.
Dengan hati yang penuh kesedihan, Renjun terbangun dari tidurnya. Hatinya berdebar kencang, dan rasa cemas yang tadi ia rasakan kini berubah menjadi ketidakpastian. Ia mulai berpikir apakah keinginannya untuk memiliki kelinci justru akan membuatnya kehilangan perhatian dan kasih sayang dari kakak-kakaknya.
Ketika pagi tiba, Renjun tampak murung dan tidak bersemangat. Mama dan Papa yang memperhatikan perubahan sikap Renjun merasa khawatir dan segera bertanya.
“Kenapa, sayang? Kenapa kamu tidak terlihat ceria seperti biasanya?” tanya Mama lembut.
Renjun memutar-mutar ujung bajunya, wajahnya tampak cemas. “Mama, Papa, Renjun jadi takut kalau kelinci itu bikin Kak Minhyung dan Kak Hyuck nggak peduli lagi sama Renjun. Renjun nggak mau kelinci. Bisa nggak kita batalkan saja?”
Papa dan Mama saling berpandangan, bingung dengan perubahan mendadak pada Renjun. Papa lalu duduk di samping Renjun, membelai kepalanya. “Kenapa kamu berpikir begitu, Renjun? Kamu merasa seperti itu karena mimpi semalam?”
Renjun mengangguk perlahan, matanya penuh keraguan. “Iya, Papa. Di mimpi, Kak Minhyung dan Kak Hyuck cuma main sama kelinci, dan mereka nggak peduli sama Renjun.”
Mama menyentuh tangan Renjun dengan lembut. “Kamu tahu, kelinci itu tidak akan menggantikan kasih sayang kami untukmu. Kami semua akan tetap menyayangimu sama seperti sebelumnya.”
“Kalau begitu, Renjun lebih baik nggak usah pelihara kelinci,” tegas Renjun dengan nada mantap, seakan-akan keputusan itu sudah final.
Papa mencoba meredakan kegelisahan Renjun. “Kita bisa berbicara lebih banyak tentang ini, Renjun. Memang, memiliki kelinci berarti ada tambahan tanggung jawab, tapi itu tidak akan mengubah kasih sayang kita untukmu. Kakak-kakakmu juga akan terus mencintaimu seperti biasa.”
Mama menambahkan, “Kalau kamu benar-benar merasa tidak nyaman, kita bisa mencari cara lain untuk membuatmu merasa lebih baik. Tapi kalau kamu memutuskan untuk tidak memelihara kelinci, itu juga tidak masalah. Yang penting adalah perasaanmu.”
Renjun berpikir sejenak, menimbang-nimbang. “Kalau begitu, Renjun tidak mau pelihara kelinci. Renjun takut kalau nanti kakak-kakak jadi lebih sayang sama kelinci daripada sama Renjun.”
Papa dan Mama mengangguk, memahami kekhawatiran Renjun. “Baiklah, Renjun. Kita akan mencari cara lain untuk memastikan kamu merasa dicintai dan diperhatikan dengan baik,” ujar Papa sambil tersenyum.
Dengan keputusan yang sudah diambil, Renjun merasa lega meski ada sedikit rasa kecewa. Dia tahu bahwa keluarganya akan selalu ada untuknya, tidak peduli apakah mereka memiliki kelinci atau tidak. Renjun kemudian melanjutkan harinya dengan lebih tenang, menikmati waktu bersama kakak-kakaknya dan orang tuanya, tanpa perlu khawatir akan perhatian yang akan teralihkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Paracetamol
FanfictionKeluarga itu ibarat obat Paracetamol, penghilang rasa nyeri dan menyembuhkan demam.