[79] It's okay! Ada Papa Disini

15 3 0
                                    

Membuat si kembar tampil maksimal merupakan sebuah keharusan. Anya tidak tahu apakah hal tersebut juga dilakukan oleh ibu-ibu lain di luaran sana. Bagi Anya putra dan putrinya haruslah menjadi objek yang mendapatkan seluruh perhatian.

"Uh, anak-anak Mama nggak ada lawan. Valid pokoknya. No debat, no kecot!" seloroh Anya, memandangi anak kembarnya. Sebut Anya sebagai budak cinta anak-anaknya. Ia tak masalah dengan sebutan itu.

Di dunia ini tidak cinta yang lebih besar dari milik seorang ibu. Yah, kecuali golongan ibu-ibu durjana. Pasti ada diantara milyaran manusia sosok yang seperti itu. Di Televisi saja banyak siaran yang memberitakan tentang dibuangnya para bayi tak berdosa.

Sungguh miris. Padahal melahirkan pun tidak mudah. Nyawa sudah menjadi taruhan, tapi mengapa mereka tetap tega membuang darah daging sendiri. Jika tidak mau memiliki anak, seharusnya mereka menggunakan proteksi berlapis-lapis.

"Wajib diabadiin nih!"

Memotret si kembar memang menjadi hobi baru Anya. Galeri ponselnya hampir terisi penuh oleh wajah malaikat yang dirinya lahirkan. Anya bahkan berniat membeli ponsel baru. Ia tak berminat untuk menggunakan kamera profesional dikarenakan ukurannya yang terlalu besar.

"Aaak! Uculnya anak-anak Mama. Jadi nggak rela deh kelucuan kalian diliat sama Om Alexiz."

Saat ini mereka sedang menunggu kedatangan tamu yang tidak diundang. Kabarnya pria itu sudah meninggalkan bandara dan bertolak ke kediaman mereka.

"Bentar ya sayang-sayangnya Mama Anya. Mama siapin pakaiannya Papa dulu," Anya mengerlingkan sebelah matanya. Sebelum meninggalkan si kembar di atas ranjang, perempuan itu menggenggamkan mainan pada masing-masing tangan anaknya.

"Eum, pake baju apa ya?" monolog Anya, menatap tumpukan pakaian yang tersusun rapi di dalam Kamarudin.

Suaminya juga tak boleh kalah bersinar dari anak-anak mereka. Apalagi dengan Alexiz yang belum menikah. Secara tatanan sosial, sebagai seorang suami dan ayah dua anak, pesona Kamarudin pasti memudar.

"Udin always numero uno kalau pakai kemeja item, terus kancing atasnya dibuka dua."

Mulut Anya terbuka. Air liurnya seakan ingin menetes, membayangkan betapa panasnya penampilan Kamarudin.

"Jadi pengen dibelai deh," gumamnya sembari meraup setengah wajahnya sampai ke dagu. Sudah lama sekali mereka tak memadu kasih. Jiwa cabe-cabeannya meronta ingin dipuaskan.

Besok ketika berbelanja, Anya akan membeli pakaian dinas baru. Berhubung anak-anak mereka sudah bisa diajak kerjasama, mereka bisa diungsikan ke rumah neneknya. Hanya semalam, pasti tidak akan terjadi masalah.

"Babe.. Baju aku udah disiapin?"

Anya memutar lehernya dan menemukan kepala Kamarudin yang melongok keluar.

"Syudah, Pak Udin. Ayo keluar. Tunjukan pesonamu!"

Pintu kamar mandi pun terbuka lebar. Rambut basah, dada dan lengan kekar, serta balutan handuk yang terpasang pada tubuh bagian bawah Kamarudin— semua itu membuat Anya menelan ludahnya kasar.

Jelas-jelas pemandangan seperti itu selalu dirinya lihat saat Kamarudin selesai membersihkan diri. Namun tetap saja dirinya tak dapat mengendalikan reaksi tubuhnya. Pahatan indah pada tubuh Kamarudin menyihirnya, menjadikannya seperti wanita kurang ena-ena.

'Emang bener sih. Abis lahiran gue belum diapa-apain. Emang harus dipancing-pancing dulu orangnya.' batin Anya setelah berhasil mengendalikan dirinya. 'Om! Belai Adek, Om! Gersang nih, huhuhu!'

"Makasih, Babe." Kamarudin mendaratkan kecupan pada pipi kiri Anya. Tangannya meraih pakaian yang Anya pilihkan.

"Ganti disini aja, please," dengan kedua kelopak matanya yang mengerjap, Anya mengeluarkan suara yang begitu manis.

Dosen Kampret itu Suamiku!!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang