post it

276 26 0
                                    

Nara berdiri terpaku di depan pintu kamar, perasaan perih yang mendera hatinya begitu kuat hingga tubuhnya terasa lemas. Kata-kata di post-it itu, meski singkat, begitu menyakitkan, membuatnya merasa seolah-olah sedang dihantam oleh sesuatu yang sangat berat.

" Ra, g usah masak atau buatkan aku sarapan, g guna juga lagian aku bisa sendiri dan menyuruh seketaris ku membelikannya" - Archen

Perlahan, ia menyadari bahwa selama ini ia hanya memupuk harapan yang tak mungkin terwujud. Dengan perasaan yang hancur, Nara tanpa sadar meremas post-it itu dengan keras, seolah-olah ingin menghilangkan rasa sakit yang mencekik hatinya.

Tanpa berkata apa-apa, Nara perlahan menurunkan tangannya yang masih menggenggam post-it tersebut. Matanya yang basah menatap kosong ke arah lantai. Ia merasa begitu kecil, seolah-olah semua usahanya untuk mendekati Archen hanya berakhir sia-sia. Tidak ada penghargaan, tidak ada cinta, bahkan tidak ada sedikit pun pengertian yang bisa ia rasakan dari pria yang kini menjadi suaminya.

Mencoba untuk menenangkan diri, Nara menghela napas dalam-dalam, meskipun sulit. Ia tahu bahwa ia harus tetap bertahan, meski hatinya seakan sudah pecah berkeping-keping. Dengan pelan, ia melangkah ke dapur, berusaha melanjutkan rutinitas paginya seperti biasa, meskipun setiap langkah terasa berat dan penuh dengan kekecewaan.

Ketika sampai di dapur, Nara melihat meja makan sudah bersih, tanpa jejak sarapan yang seharusnya ada di sana. ART yang biasa membantu di rumah itu sudah membersihkan semuanya, membuat Nara merasa semakin tidak berarti. Apa pun yang ia lakukan sepertinya tidak pernah cukup untuk menyentuh hati Archen, tidak pernah cukup untuk mengubah perasaan dingin yang Archen miliki terhadapnya.

Nara duduk di kursi, menatap meja makan yang kosong. Bayangan Nata yang dulu selalu menyemangatinya kembali muncul dalam pikirannya, membuat rasa rindu semakin menyiksa. “Apakah aku salah karena mencintai Archen? Apakah aku pantas untuk merasakan kebahagiaan?” tanya Nara dalam hati, meski ia tahu tidak ada jawaban yang bisa menghilangkan rasa sakit itu.

Beberapa jam berlalu, Nara kembali berusaha untuk menjalani hari-harinya dengan normal. Namun, bayangan kata-kata Archen di post-it itu terus terngiang di kepalanya, menghantui setiap langkahnya. Hingga malam tiba, Nara tidak bisa menghilangkan perasaan hancur yang semakin menghimpit hatinya. Di saat itu, ia hanya bisa berharap agar waktu bisa menyembuhkan rasa sakitnya, meskipun ia tidak tahu berapa lama lagi ia bisa bertahan dalam situasi ini.

Malam itu, Nara berbaring di tempat tidurnya yang sempit di kamar tamu. Biasanya, ia berusaha keras untuk tidur meski pikirannya selalu dipenuhi oleh kecemasan dan rasa sakit. Namun, malam ini, kata-kata Archen yang tertulis di post-it terus berputar di kepalanya, seakan tidak membiarkannya mendapatkan sedikit pun ketenangan.

Setiap kali Nara mencoba memejamkan mata, bayangan Archen yang acuh tak acuh kembali menghantamnya. Ia membayangkan Archen di kamar utama, mungkin sedang duduk di tepi tempat tidur, mengingat kembali masa-masa indahnya bersama Nata. Di sisi lain, Nara merasa begitu sendirian, seakan-akan seluruh dunianya hanya dipenuhi oleh bayangan kehilangan dan kesepian yang mendalam.

Meskipun tubuhnya lelah, pikiran Nara terus berkelana ke masa-masa ketika ia dan Nata masih sering berbagi cerita. Nata selalu menjadi sosok yang memahami dan mendukungnya, yang selalu memberikan harapan meski dalam keadaan yang sulit. Sekarang, tanpa Nata, Nara merasa seolah-olah tidak ada tempat baginya untuk bersandar.

Tanpa sadar, air mata kembali mengalir di pipi Nara. Ia merindukan kehadiran Nata, seseorang yang selalu membuatnya merasa dihargai dan dicintai. Sementara itu, di sini, dalam pernikahannya dengan Archen, ia merasa seolah-olah tidak ada artinya. Setiap usaha yang ia lakukan untuk mendekati Archen hanya membuatnya merasa lebih jauh dari cinta yang diharapkannya.

Perlahan, Nara bangkit dari tempat tidurnya, berjalan ke arah jendela dan menatap keluar ke malam yang gelap. Di luar, dunia terlihat tenang dan damai, kontras dengan badai emosi yang berkecamuk di dalam hatinya. Nara memeluk dirinya sendiri, mencoba menemukan sedikit kehangatan dari rasa dingin yang merayap di seluruh tubuhnya.

"Apakah aku akan terus begini? Apakah aku akan terus menjalani hidup tanpa cinta?" bisik Nara kepada dirinya sendiri, meski ia tahu tidak ada yang bisa memberikan jawaban.

Malam semakin larut, dan Nara akhirnya kembali ke tempat tidurnya, berusaha keras untuk tertidur meskipun hatinya masih dipenuhi oleh luka dan kepedihan. Namun, dalam kesunyian malam itu, ia menyadari bahwa mungkin, ia harus mulai berpikir tentang dirinya sendiri, tentang bagaimana ia bisa menemukan kebahagiaan, meskipun itu berarti melepaskan harapannya pada Archen.

CAN I ??? [Joongpond]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang