after wedding

302 26 0
                                    


Malam terus bergulir, meninggalkan Nara sendiri di kamar tamu yang sempit dan berantakan. Ia berjongkok di lantai, memunguti barang-barang pindahan yang berserakan, dan dengan susah payah menahan air mata yang terus mengalir. Kamar itu dipenuhi dengan kotak-kotak yang belum sempat dibuka, dan Nara harus membereskan semuanya sendiri, meski lelah sudah menghimpit tubuhnya. Namun, rasa sakit di hatinya jauh lebih besar daripada rasa lelah fisik yang ia rasakan.

Sementara itu, Archen berada di kamar utama, duduk di tepi tempat tidur yang harusnya menjadi milik mereka berdua. Ia memandangi cincinnya dengan tatapan kosong,  bayangan nata trs saja muncul.

**Archen** berpikir keras, menghela napas panjang. "Kenapa harus kamu nata? Harusnya aku, aku g tau hari hariku tidak ada kamu, setiap pagi kau selalu menelpon ku bahkan vidio call dan aku masih di kasur dalam keadaan ngantuk, aku kangen suara indahmu sayang, kangen senyumanmu,tingkah cerobohnya, dan aku jg kangen ocehan dan marah marahnya kamu"

Sisi lain di kamar tamu, Nara berhasil merapikan sebagian besar kamar, meski dengan tenaga yang hampir habis. Ia duduk di tepi tempat tidur yang sempit, memeluk lututnya dan menatap keluar jendela yang gelap. Suara malam yang hening semakin membuat hatinya terasa kosong. Ia tahu bahwa mencintai Archen seperti ini hanya akan menyakitinya lebih dalam, tetapi ia tidak bisa menahan perasaannya. Ia berharap suatu hari nanti, Archen akan melihat usahanya dan mungkin, hanya mungkin, akan mulai menerimanya.

"Apa yang harus kulakukan? Aku mencintainya, apakah aku akan merasakan kebahagian?? Tapi dia tidak pernah melihatku sekilas pun haruskah aku menyerah?" - Nara

Pagi harinya, Nara terbangun lebih awal dari biasanya. Setelah merapikan dirinya seadanya, ia menuju dapur dan mulai menyiapkan sarapan untuk Archen. Meskipun ia tahu kemungkinan besar Archen tidak akan menyentuhnya, Nara tetap melakukannya dengan hati-hati, berharap meski hanya sedikit, Archen akan menghargai usahanya.

Tak lama kemudian, Archen keluar dari kamar utama, wajahnya masih terlihat lelah dan mata yang sedikit sembab karena malam yang panjang. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, ia langsung menuju meja makan, duduk dengan sikap yang acuh tak acuh. Nara menghidangkan sarapan di depannya, berharap kali ini Archen akan mengatakan sesuatu yang baik, atau setidaknya mengakui usahanya.

Namun, keheningan di antara mereka tetap tak terpecahkan. Archen hanya menatap makanannya sebentar sebelum memalingkan wajah, tidak berminat untuk menyentuhnya.

**Archen:** "Aku tidak lapar," ucapnya datar, tanpa menoleh sedikit pun ke arah Nara.

**Nara** terdiam sejenak, mencoba menahan rasa sakit yang terus menghantam hatinya. Namun, ia tetap berusaha untuk tidak memperlihatkan kekecewaannya.

**Nara:** "Aku mengerti... Mungkin nanti kalau kamu lapar, aku bisa buatkan sesuatu yang lain," jawabnya dengan suara pelan.

Archen tidak memberikan jawaban, ia hanya bangkit dari kursinya dan beranjak pergi, meninggalkan Nara yang masih berdiri di dekat meja makan, merasa lebih sendirian dari sebelumnya.

Beberapa jam kemudian, setelah Archen pulang kerja, Nara mencoba untuk memulai percakapan lagi, kali ini dengan hati yang lebih tenang. Ia menunggu Archen di ruang tamu, berharap mereka bisa berbicara lebih terbuka tentang hubungan mereka.

**Nara:** "Chen, bolehkah kita bicara sebentar?" suaranya lembut, mencoba mengurangi ketegangan.

Archen menatap Nara sekilas sebelum duduk di sofa, tapi ia tetap menjaga jarak.

**Archen:** "Apa yang ingin kau bicarakan?" jawabnya dingin.

**Nara:** "Aku tahu pernikahan ini tidak mudah untuk kita berdua, terutama bagimu. Tapi aku benar-benar ingin kita bisa menjalani ini bersama, meski tanpa cinta. Aku hanya berharap kita bisa menemukan cara untuk... saling mendukung, meskipun itu sulit."

Archen terdiam, mencoba mencerna kata-kata Nara. Ada sesuatu dalam nada suara Nara yang membuatnya merasa sedikit bersalah, namun ia masih terjebak dalam rasa kehilangan yang mendalam.

**Archen:** "Aku tahu kau mencoba, Nara. Tapi... aku tidak bisa berpura-pura. Aku masih mencintai Nata, dan perasaanku tidak akan berubah hanya karena kita menikah."

Nara menundukkan kepalanya, mencoba menahan air mata yang kembali menggenang di matanya.

**Nara:** "Aku tidak meminta banyak, Archen. Aku hanya ingin... setidaknya kita bisa menjadi teman, jika itu yang terbaik yang bisa kita lakukan."

Archen menatap Nara dan diam
Nara tersenyum tipis, meskipun hatinya masih terasa berat.
.
.
.
.

Archen duduk di teras, menatap kosong ke arah malam yang pekat, rokok di tangannya terbakar pelan-pelan, namun pikirannya tetap terasa berat. Meski matanya tertuju pada Nara yang berada di dalam rumah, duduk di ruang keluarga dengan wajah yang tampak lelah namun berusaha ceria menonton TV, hatinya tetap terasa dingin. Tidak ada perasaan bersalah yang muncul, tidak ada rasa kasihan yang merayap di dalam dirinya. Yang ada hanyalah kelelahan emosional yang semakin membuatnya merasa hampa.

Setiap kali ia melihat Nara, yang dilihatnya hanyalah seseorang yang mengambil tempat di hidupnya tanpa benar-benar mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh Nata. Nara mungkin berusaha keras untuk menjadi istri yang baik, untuk menunjukkan kasih sayangnya, tetapi Archen tidak bisa dan tidak mau merasakannya. Di matanya, semua yang Nara lakukan hanyalah rutinitas kosong yang tidak memiliki makna bagi dirinya.

Sambil menghisap rokok, Archen berpikir tentang hari-hari yang telah berlalu sejak pernikahan mereka. Bukannya rasa bersalah, yang muncul hanyalah rasa frustrasi karena keadaan yang tidak bisa ia kendalikan. Ia tidak mencintai Nara, dan baginya, tidak ada alasan untuk berpura-pura. Hatinya tetap tertuju pada Nata, dan tidak ada ruang untuk orang lain, tidak peduli seberapa keras orang itu berusaha.

Archen tidak memalingkan wajah ketika melihat Nara menundukkan kepala, sepertinya menahan perasaan yang hanya dia sendiri yang tahu. Namun, bahkan pemandangan itu tidak menggerakkan hatinya. "Dia tahu sejak awal bahwa aku tidak akan pernah bisa mencintainya," pikir Archen dengan dingin, mengabaikan usaha-usaha kecil yang dilakukan Nara untuk mendekatinya.

Dengan satu tarikan napas panjang, Archen memadamkan rokoknya dan mengalihkan pandangannya dari Nara. Ia berdiri, meregangkan tubuh yang lelah, lalu masuk ke dalam rumah tanpa berkata apa-apa. Tanpa menatap Nara yang duduk di sofa, ia berjalan langsung ke kamarnya, menutup pintu di belakangnya dengan suara pelan, dan kembali tenggelam dalam pikirannya yang tidak lagi terhubung dengan kenyataan di depannya.

Bagi Archen, malam itu sama seperti malam-malam sebelumnya. Ia tetap merasa hampa, tetap merasa terjebak dalam bayang-bayang masa lalu yang tidak pernah bisa ia lepaskan. Dan bagi Nara, tidak ada perubahan—hanya dingin yang semakin terasa, dan jarak yang tidak pernah bisa ia dekatkan.

CAN I ??? [Joongpond]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang