01

114 44 41
                                    

Happy reading

.

.

.

Tanpa aba-aba, sebuah tangan tiba-tiba melayang, menghantam pipi mulus Dara.

"M-Ma...?" Dara tertegun, tak sanggup berkata apa-apa karena kekerasan yang datang begitu tiba-tiba.

"D-Dara benar-benar tidak melakukan itu, Ma. Malah selama ini Dara yang selalu dibully," ucapnya, suaranya bergetar. Tangan kecilnya meraba pipi yang kini memerah, jelas memperlihatkan jejak tangan sang ibu.

"Kamu ga usah bohongin saya, saya lebih percaya sama Alana daripada sama kamu!!"bentak orang tersebut yang diketahui sebagai orang tua kandung dari Aldara. Ia bernama Clarissa Rosalina Biantara, atau biasa dipanggil Rissa. Sedangkan sang suami bernama Evan Arshadi Biantara, yang kerap disapa Evan.

Tak hanya sampai disitu, Dara juga memiliki seorang kakak yang bernama Alana Zemira Biantara, yang sering disapa dengan nama Alana.

Alana tampak begitu membenci Dara, Entah kesalahan apa yang pernah ia perbuat hingga keluarganya begitu tak menginginkannya,bahkan sekejap kebahagiaan seolah terlalu mahal untuknya.

"KAMU HANYA TAU BUAT MASALAH."

"KAMU TAU APA YANG MEMBUAT SAYA MENYESAL SELAMA SAYA HIDUP?"tanya mama sambil menjambak kuat rambut Dara, hal itu berefek pada Dara yang merasakan sakit yang teramat pada kepalanya dan membuat ia meringis hingga menumpahkan bulir air mata yang sudah sejak tadi tadi ia tahan.

"TAU GA KAMU?"mama kembali bertanya sambil memperkuat tarikan pada rambut Dara

"S-sakit ma"ringis Dara sembari mencoba untuk melepaskan cekalan rambutnya yang berada dalam genggaman sang mama.

"PENYESALAN TERBESAR SAYA ADALAH MELAHIRKAN, DAN MEMBESARKAN KAMU. KAMU ITU ANAK PEMBAWA SIAL!!, DAN NTAH DOSA APA YANG SUDAH SAYA LAKUKAN HINGGA PUNYA ANAK SEPERTI KAMU!"kalimat itu menghantam hati Dara lebih keras daripada tamparan atau jambakan. Setiap kata terasa seperti batu yang menghancurkan jiwanya.

Setelah melontarkan kata-kata penuh kebencian itu, mereka berdua pergi begitu saja, meninggalkan Dara yang kini terjatuh ke lantai, tubuhnya lemah, matanya kosong menatap arah kepergian mereka.

"Ya Allah non"pekik Bi Rini saat menemukan Dara dalam keadaan yang memprihatinkan-rambut kusut, pipi memerah, tubuh yang gemetar.

"Non, kenapa?" tanya Bi Rini dengan suara serak, duduk di samping Dara, merangkulnya penuh kasih.

"Bi... bener ya kalau Dara itu pembawa sial?" Dara bertanya lirih, tatapannya masih kosong, seakan mencari jawaban di tengah kehampaan.

"Tidak, Non. Non bukan pembawa sial. Non anak baik," jawab Bi Rini, suaranya bergetar, menahan tangis atas pertanyaan yang begitu menyayat hati.

"Tapi kenapa Mama menyesal melahirkan dan membesarkan Dara, Bi?" Dara kembali bertanya, suaranya penuh kebingungan dan sakit yang tak tertahan. Bi Rini terdiam, tak sanggup menjawab. Hatinya ikut remuk mendengar pertanyaan itu, tak ada kata yang cukup untuk meredakan luka Dara.

"Non, lebih baik sekarang kita ke kamar saja, ya," pinta Bibi lembut, mencoba mengalihkan pertanyaan itu. Namun, Dara tetap diam. Meskipun begitu, Bibi dengan sigap membantunya menuju kamar. Kamar yang Dara tempati lebih mirip ruang sederhana seorang pelayan, jauh dari kesan mewah yang seharusnya dimiliki anak pemilik rumah. Tak ada fasilitas istimewa, tak ada kilau kemewahan. Namun, di situlah, di dalam ruang sempit yang sunyi, Dara menata mimpinya, belajar dari sunyi, dan membiarkan tubuhnya beristirahat dari beratnya dunia luar.

THE GLORYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang