16

2 0 0
                                    

Happy reading
.
.
.

Hari itu, suasana rumah kali ini terasa tegang. Setelah pulang dari sekolah, Alana langsung menemui kedua orang tuanya dengan wajah penuh amarah.

Dara, yang sebenarnya adalah anak tertua, selalu diperlakukan berbeda oleh orang tua mereka. Meskipun Dara berusaha keras untuk mendapatkan perhatian dan kasih sayang, dia selalu diabaikan. Bagi orang tua mereka, Dara hanyalah beban, bukan bagian dari keluarga.

“Mama, Papa! Kalian harus tahu apa yang Dara lakukan di sekolah. Dia bikin kekacauan lagi!” Alana mulai mengadu dengan suara yang terdengar sangat meyakinkan, mencoba memperkeruh keadaan.

Ayah mereka, dengan wajah dingin dan keras, segera menghentikan pekerjaannya dan menatap Alana dengan serius. “Apa yang dia lakukan kali ini?” tanyanya dengan nada penuh ketidaksabaran.

“Iya, Ma, Pa. Dia bikin aku malu di depan teman-teman. Dara dan teman-temannya terus menuduh aku melakukan hal-hal buruk di sekolah. Mereka membuat cerita bohong tentang aku,” lanjut Alana, mempermainkan emosinya agar terlihat sebagai korban.

Ibu mereka mendesah dalam-dalam, sudah terlalu sering mendengar hal semacam ini tentang Dara. "Anak itu memang selalu membuat masalah. Kenapa dia nggak pernah bisa belajar?"

“Kita harus segera bereskan ini,” kata ayah mereka sambil bangkit dari kursinya dengan kemarahan yang tak terbendung. “Anak itu harus diajari bagaimana berperilaku.”

...

Sementara itu, Dara berada di kamar, mencoba menenangkan diri setelah hari yang berat di sekolah. Pikirannya dipenuhi oleh semua kejadian yang menimpanya—ancaman dari Alana, dan rasa sakit yang terus-menerus di dalam hatinya karena tidak dianggap oleh keluarga.

Tak lama kemudian, pintu kamarnya didobrak keras oleh ayahnya. Dara terkejut dan bangkit berdiri, tapi sebelum dia bisa mengatakan apa pun, ayahnya sudah melangkah maju dengan wajah merah padam.

“Kamu berani mempermalukan keluargamu di depan umum?” bentaknya tanpa basa-basi.

“Maksud Papa apa? Aku nggak bikin kekacauan apa-apa!” Dara berusaha menjelaskan, namun suara ayahnya membungkam setiap kata yang ia coba sampaikan.

“Jangan bohong! Alana udah cerita semuanya. Kamu bikin malu di sekolah, bikin masalah besar. Kamu memang selalu begitu, selalu jadi masalah buat keluarga ini!” teriak ayahnya, emosinya semakin membesar.

Tanpa peringatan, ayahnya mengangkat tangannya dan mendorong Dara dengan kuat ke arah dinding. Kepala Dara terbentur keras, menyebabkan rasa sakit yang luar biasa menjalar ke seluruh tubuhnya. Pandangannya langsung kabur, dan dunia seolah berputar di sekelilingnya.

Dara jatuh terkapar di lantai, sementara ibunya dan Alana hanya berdiri di belakang, menyaksikan tanpa rasa kasihan. Dara memegangi kepalanya yang berdenyut hebat, merasa pusing dan nyeri yang tak tertahankan.

“Kamu benar-benar anak tak berguna,” gumam ayahnya sebelum meninggalkan kamar itu dengan ibunya. Alana mengikuti mereka dengan tatapan puas, sementara Ara masih berdiri di sudut, terlalu takut untuk bertindak.

Dara merasakan nyeri yang luar biasa dan perlahan-lahan kehilangan kesadarannya. Pandangannya semakin kabur, dan dalam hitungan detik, semuanya berubah menjadi gelap.

Skippp

Dara terbangun beberapa waktu kemudian di rumah sakit, kepalanya masih terasa sakit, dan perban melingkari dahinya. Ia tak tahu berapa lama sudah tidak sadarkan diri, tapi ketika membuka mata, ia melihat Deon duduk di sebelahnya dengan wajah khawatir.

“Lo udah sadar, Ra?” suara Deon pelan, namun penuh kelegaan.

Dara mencoba tersenyum, meski kepalanya masih terasa berdenyut. “Apa yang terjadi?”

“Orang tua lo... mereka... gue nemuin lo udah nggak sadarkan diri di kamar. Lo dibawa ke rumah sakit karena kepala lo kebentur keras. Mereka bilang lo mungkin harus dirawat beberapa hari di sini buat observasi,” kata Deon, matanya dipenuhi kekhawatiran.

"kamu kenapa bisa ada dirumahku?"tanya Dara yang heran.
"Gausah kepo"balas Deon jahil.
"Cih"Dara hanya bisa berdecih, sedangkan Deon kini ia sudah tertawa melihat kekesalan Dara.

Setelahnya Dara hanya bisa terdiam, menahan sakit di kepalanya. “Mereka marah karena Alana, ya?”

Deon mengangguk. “Gue nggak ngerti kenapa keluarga lo bisa kayak gitu, Ra. Lo nggak pantas diperlakukan kayak gini.”

Dara menatap Deon, merasa hancur. Hubungan antara dirinya dan keluarganya sudah lama rusak, tapi kali ini rasanya lebih parah. Mereka tak pernah menganggap Dara sebagai bagian dari keluarga, selalu membela Alana yang sebenarnya menjadi sumber masalah. Dara sudah terbiasa dengan sikap dingin orang tuanya, tapi kekerasan kali ini membuatnya merasa lebih rapuh dari sebelumnya.

“Apa gue salah, yon? Apa mungkin gue yang memang selalu jadi masalah buat mereka?” tanya Dara, matanya mulai memerah karena air mata yang tertahan.

Deon menggenggam tangan Dara dengan lembut, mencoba menenangkannya. “Lo nggak salah, Ra. Mereka yang nggak bisa lihat siapa yang benar-benar salah di sini. Lo nggak sendirian. Gue selalu ada buat lo.”

Dara merasakan hangat di hatinya mendengar kata-kata itu. Meskipun ia merasa hancur, Deon selalu ada untuk mendukungnya. Selama ini, hanya Deon yang membuatnya tetap berdiri dan melawan, meskipun ia sendiri lelah dengan semua tekanan yang datang dari keluarga dan Alana.

Seiring berjalannya waktu, mereka berdua semakin dekat, meskipun tidak ada yang berani mengungkapkan perasaan yang mulai tumbuh di hati masing-masing. Dara menyadari bahwa perasaannya pada Deon mungkin lebih dari sekadar teman, namun ia terlalu takut untuk menyebutkannya, takut jika mengungkapkan hal itu akan merusak hubungan mereka yang sudah erat.

Sementara itu, Deon juga merasakan hal yang sama. Setiap kali ia melihat Dara, hatinya berdebar, tetapi ia selalu menahan diri. Situasi Dara sudah terlalu rumit, dan Deon tidak ingin menambah beban emosional pada Dara dengan mengungkapkan perasaannya.

Mereka berdua terjebak dalam perasaan yang tak terucapkan, saling mendukung satu sama lain tanpa tahu bagaimana cara melanjutkan ke langkah berikutnya.

...

Di rumah, Alana kembali ke kamarnya dengan perasaan puas. Dia tahu bahwa orang tuanya akan selalu ada di pihaknya, apapun yang terjadi. Namun, di dalam hatinya, ada sedikit rasa takut yang mengendap. Mungkin, suatu hari kebenaran akan terbongkar, dan ketika itu terjadi, ia tidak tahu bagaimana cara menghadapi semuanya. Ara, yang selalu diam dan menurut, menatap kakaknya dengan rasa bersalah yang semakin dalam.

Bersambung...

THE GLORYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang