20

0 0 0
                                    

Happy reading
.
.
.


Setelah Alana pergi, suasana kembali hening. Deon dan Dara duduk bersebelahan, saling menyadari bahwa ada sesuatu yang berbeda di antara mereka, meskipun tak ada kata yang terucap. Namun, kedekatan itu semakin terasa nyata. Mereka hanya tak ingin mengganggu momen yang sudah tercipta, tak ingin merusak apa yang mereka miliki saat ini.

“Gue serius, Ra,” kata Deon tiba-tiba. “Gue ga mau lo jalanin ini sendirian.”

Dara menatapnya sebentar, kemudian menghela napas pelan. “Kadang... aku ngerasa kamu terlalu baik buat aku, Yon. Aku ga tau apa yang kamu liat di aku.”

Deon terdiam sejenak, merasa hatinya ingin meluapkan semuanya, tapi dia memilih untuk menahan diri. “Gue liat lo apa adanya, Ra. Bukan soal masalah lo atau apa yang orang lain pikir tentang lo. Gue liat lo sebagai orang yang kuat, meskipun lo mungkin ngerasa lo engga. Lo tetep bisa bangkit, dan itu yang bikin gue...”

Kalimat itu tiba-tiba terhenti, dan Dara bisa merasakan ketegangan yang terselip di antara mereka. Apa yang ingin dikatakan Deon, namun belum berani diungkapkan? Jantung Dara berdebar lebih cepat, tetapi dia tak ingin bertanya lebih jauh. Mereka berdua memilih untuk tetap dalam diam, biarkan waktu yang menjawab semua itu.

...

Hari-hari berlalu, dan hubungan mereka semakin erat. Dara dan Deon selalu bersama, entah di kelas, di kantin, atau di taman sekolah. Setiap kali Deon berada di dekatnya, Dara merasa lebih tenang. Tapi ada satu hal yang selalu Dara sembunyikan, rasa sakit yang terus menghantuinya setelah insiden di rumah bersama orang tuanya dan Alana.

Seringkali, saat dia sendirian, Dara akan merasakan pusing yang tiba-tiba muncul, disertai darah yang mengalir dari hidungnya. Namun, Dara selalu cepat-cepat menghapus darah itu dan berpura-pura semuanya baik-baik saja. Dia tidak ingin membuat Deon khawatir. Setiap kali mereka bersama, Dara merasa kuat, seolah tidak ada yang salah.

Suatu hari, di perpustakaan, Dara dan Deon tengah belajar bersama. Deon sedang serius mengerjakan tugas matematika, sementara Dara berusaha fokus membaca buku di depannya. Namun, tiba-tiba pandangannya berputar, dan dia merasakan hidungnya mulai mengeluarkan darah lagi. Dengan cepat, Dara menutup hidungnya dengan tisu, berharap Deon tidak memperhatikannya.

"Ra, lo nggak apa-apa?" Deon bertanya tiba-tiba, membuat Dara sedikit terkejut.

Dara buru-buru tersenyum dan mengangguk. "Ga apa-apa kok, aku cuma lagi cape aja."

Deon menatap Dara dengan curiga, tetapi dia tidak ingin memaksanya bicara. "Kalau lo cape, kita bisa istirahat dulu, Ra. Lo keliatan pucat."

Dara menggeleng pelan. "Aku baik-baik aja, Yon. Kita lanjut aja."

Tapi saat Dara kembali berusaha fokus pada bukunya, dia merasa pusing lagi. Namun, dia tetap bertahan, tidak ingin Deon semakin khawatir. Dalam hatinya, Dara tahu ada sesuatu yang salah dengan tubuhnya, tetapi dia tidak ingin membicarakannya. Dia tidak ingin menjadi beban bagi Deon, apalagi setelah semua yang telah mereka lalui bersama.

Hingga beberapa bulan kemudian, situasi di sekolah kembali memanas. Alana mulai kembali mengganggu Dara, menyebarkan fitnah dan kebohongan. Kali ini, fitnah yang disebarkan Alana jauh lebih serius—dia menuduh Dara melakukan hal-hal yang membuat namanya semakin buruk di mata para guru dan teman-temannya. Alana menyusun semuanya dengan rapi, membuat Dara seolah-olah bersalah atas kejadian yang tidak pernah ia lakukan.

Dara tahu bahwa semua ini adalah cara Alana untuk menghancurkan reputasinya. Namun, kali ini, dampaknya lebih besar dari sebelumnya. Orang tua mereka, yang selalu membela Alana, kembali marah besar pada Dara. Suatu malam, setelah menerima laporan dari sekolah tentang "ulah" Dara, mereka memanggilnya ke ruang tamu.

“Apa lagi ini, Dara?” bentak mama, matanya menyala marah.
“Kamu bikin masalah lagi di sekolah?!”

Dara terdiam, merasa sulit untuk berbicara. “Ma, itu ga benar...”

Namun, sebelum dia bisa menjelaskan lebih jauh, sang ayah berdiri dari kursi dan mendekatinya dengan wajah penuh amarah. “Kamu ga pernah belajar dari kesalahan, Dara!” bentaknya, suaranya menggema di ruangan.

“Aku ga ngelakuin itu, Pa! Alana yang—”

Sebelum Dara bisa menyelesaikan kalimatnya, ayahnya mendorongnya dengan keras, membuatnya terhuyung ke belakang. Tubuhnya kehilangan keseimbangan, dan tanpa sengaja kepalanya membentur meja kayu di dekatnya. Kini lagi dan lagi kepalanya kembali terbentur dengan keras dan suara benturan itu menggema di ruangan, dan seketika Dara merasa pandangannya menjadi kabur.

“Dara!” teriak mama, terlihat sedikit panik, namun tidak sepenuhnya menyesali apa yang telah terjadi. Dara merasakan sakit luar biasa di kepalanya, dan perlahan tubuhnya jatuh ke lantai. Semuanya menjadi gelap.

---

Beberapa saat kemudian, Dara terbangun di kamarnya, namun semuanya terasa kabur. Kepalanya terasa berat dan berdenyut kencang. Deon, yang tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi di rumah Dara, merasa aneh ketika Dara tidak masuk sekolah selama beberapa hari. Dia mencoba menghubungi Dara, tapi tidak ada jawaban. Kecemasannya meningkat, dan dia akhirnya memutuskan untuk datang ke rumah Dara.

Saat Deon tiba di rumah Dara, dia disambut oleh Alana yang tersenyum sinis di depan pintu.

“Dara nggak bisa diganggu sekarang,” ucap Alana dingin.
“Dia lagi ‘bermasalah’ sama mama dan papa.”

Deon merasa ada yang tidak beres. “Apa maksud lo, Alana? gue mau ketemu Dara.”

Alana hanya tersenyum licik dan menutup pintu di depan wajah Deon. Namun, firasat buruk itu tak bisa hilang. Deon merasa ada sesuatu yang salah dan dia bertekad untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Dara.

Dalam hati, Deon tahu bahwa Dara sedang menyembunyikan sesuatu yang besar. Sesuatu yang mungkin dia sendiri belum siap untuk menghadapinya, tapi Deon tidak akan berhenti sampai dia memastikan Dara baik-baik saja.

Bersambung...

THE GLORYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang