19

0 0 0
                                    

Happy reading
.
.
.

Setelah kejadian di ruang kesehatan, hubungan Dara dan Deon perlahan berubah. Mereka masih sering bersama seperti biasa, tapi ada sesuatu yang berbeda—sebuah ikatan yang lebih dalam terbentuk tanpa mereka sadari. Deon semakin perhatian pada Dara, selalu memastikan bahwa dia baik-baik saja, sementara Dara merasa semakin nyaman berada di dekat Deon. Meskipun keduanya tidak pernah mengungkapkan perasaan mereka, ada momen-momen diam di mana mereka saling menatap lebih lama dari biasanya, seakan ada sesuatu yang tidak terucap di antara mereka.

Di sekolah, situasi sedikit mereda setelah pembelaan Deon di hadapan orang tua Dara dan Alana. Meski Alana belum sepenuhnya berhenti mengganggu Dara, sikapnya tidak lagi seagresif dulu. Dia tampaknya menyadari bahwa Deon tidak akan membiarkan Dara menghadapi semuanya sendirian.

Suatu sore, setelah sekolah, Deon mengajak Dara untuk pergi ke taman di dekat sekolah, tempat yang jarang mereka kunjungi. Angin sore yang sejuk berembus lembut, membuat suasana terasa tenang. Mereka duduk di bangku panjang, menghadap ke danau kecil yang berkilauan di bawah sinar matahari senja.

"Lo nggak harus selalu kuat sendirian, Ra," ujar Deon tiba-tiba, memecah keheningan. "Gue tau lo masih nyimpan banyak hal yang nggak lo bilang ke gue."

Dara tersenyum tipis, menatap danau di depannya. "Aku cuma ga pengen nyusahin kamu lagi. Kamu udah terlalu banyak bantuin aku."

Deon menggeleng pelan, menatap Dara dengan serius. "Lo ga pernah nyusahin gue, Ra. Gue di sini karena gue peduli. Kalau lo ada apa-apa, lo harus bilang ke gue. Kita ga harus hadapi semua ini sendiri-sendiri."

Dara terdiam, merasa hangat mendengar kata-kata Deon. Dia ingin sekali bercerita tentang rasa sakit yang sering ia rasakan, tentang betapa takutnya dia dengan apa yang terjadi pada tubuhnya. Namun, saat ini dia hanya ingin menikmati kehadiran Deon tanpa ada rasa khawatir.

"Kamu inget ga, dulu pas kamu baru pindah sekolah ini ?" Dara tiba-tiba bertanya, mengubah topik pembicaraan. "Kamu ngechat aku sampai kesel karena cuma aku read doang "

Deon tertawa kecil, mengingat masa itu. "Iya, gue inget, ntah kenapa saat itu gue pengen dekat sama lo"

Percakapan mereka terus mengalir, dipenuhi canda dan tawa kecil. Setiap detik yang berlalu, perasaan mereka semakin kuat, meskipun tidak ada dari mereka yang berani mengungkapkannya secara langsung. Momen-momen seperti ini membuat mereka merasa lebih dekat daripada sebelumnya, namun keduanya memilih untuk tetap diam tentang apa yang mereka rasakan.

Saat matahari mulai tenggelam, Dara merasakan dadanya berdebar lebih kencang setiap kali Deon tersenyum atau menatapnya. "Mungkin ini bukan sekadar perasaan biasa," pikirnya, tapi dia takut untuk mengakuinya, bahkan kepada dirinya sendiri.

Deon pun merasakan hal yang sama. Setiap kali dia melihat Dara tersenyum atau mendengar tawanya, ada sesuatu di dalam hatinya yang bergerak. Namun, seperti Dara, dia juga ragu untuk mengungkapkannya. Mereka takut jika perasaan itu diungkapkan, semuanya akan berubah—dan mereka tidak siap kehilangan apa yang mereka miliki sekarang.

...


Beberapa hari kemudian, saat istirahat di sekolah, Deon dan Dara duduk di kantin, seperti biasa. Namun, kali ini suasananya terasa berbeda. Dara, yang biasanya selalu ceria saat bersama Deon, terlihat lebih diam dan merenung.

“Ra, lo kenapa?” tanya Deon, khawatir melihat perubahan sikap Dara.

Dara terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab, “aku cuma mikir, kadang aku ngerasa hidupku kacau banget. Dan aku ga ngerti kenapa kamu masih mau selalu ada buat aku.”

Deon tersenyum lembut. “Ra, gue ga peduli seberapa kacau hidup lo. Gue di sini bukan karena gue harus, tapi karena gue mau. Lo penting buat gue.”

Perkataan itu membuat jantung Dara berdebar lebih kencang. Namun, sebelum dia sempat merespon, Alana tiba-tiba muncul di depan mereka, menghentikan momen itu.

“Kalian berdua kelihatan akrab banget ya,” sindir Alana dengan nada tajam.

Deon menatap Alana dengan dingin. "Lo butuh apa, Alana?"

Alana tersenyum sinis. “Gue cuma mau ngingetin Dara, jangan terlalu senang. Lo mungkin berhasil lolos sementara, tapi gue ga akan diam aja.”

Dara hanya menghela napas, sudah terlalu lelah dengan ancaman Alana yang terus-menerus. Tapi kali ini, dia merasa lebih kuat karena Deon ada di sisinya. “Terserah kamu, Alana. Aku udah ga takut lagi sama kamu.”

Setelah Alana pergi, Deon kembali menatap Dara. “Lo beneran ga takut lagi?”

Dara mengangguk, menatap Deon dengan tatapan yang penuh keyakinan. “Selama kamu ada di samping aku, aku yakin bahwa aku bisa hadapin semuanya.”

Kata-kata itu terasa seperti pengakuan yang tersembunyi. Mereka tidak mengatakan secara langsung, tetapi ada sesuatu yang lebih dalam di balik ucapan itu. Sebuah perasaan yang semakin tumbuh di antara mereka, namun tetap tersimpan rapat dalam hati masing-masing.

Bersambung...

THE GLORYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang