08

29 16 16
                                    

Happy reading
.
.
.

Setelah bel berbunyi, Dara dan Deon melangkah ke dalam kelas. Suasana di dalamnya tegang, seolah-olah semua orang tau apa yang baru saja terjadi. Dara mengambil tempat duduknya di sudut, berusaha mengabaikan tatapan penuh ejekan dari teman-teman sekelasnya. Deon duduk di sampingnya, tetap waspada.

"Dara, kamu harus tetap kuat," bisik Deon, berusaha memberikan semangat.
"Kita bisa melawan ini bersama-sama."

Dara mengangguk, meski hatinya bergejolak. Ia merasa bahwa setiap detik berlalu, Alana semakin dekat dengan serangan berikutnya. Ketika guru masuk dan pelajaran dimulai, pikiran Dara melayang kembali ke foto yang menjijikkan itu. Betapa mudahnya Alana merusak hidupnya.

SKIP

Jam pelajaran berlalu dengan lambat. Ketika bel istirahat berbunyi, Dara dan Deon segera keluar dari kelas. Namun, baru beberapa langkah, mereka mendengar suara berisik di luar. Dara menegakkan kepala, berusaha mengidentifikasi sumber suara itu. Kira-kira, ada sekelompok siswa berkumpul di halaman sekolah.

"Dara! Deon!" panggil Dessy dari kejauhan. Wajahnya tampak lebih ceria, seolah-olah mereka baru saja memenangkan sebuah permainan. "Ayo lihat apa yang kami siapkan kalian!"

Dara merasakan jantungnya berdegup kencang. Bersama Deon, mereka melangkah mendekat, dan saat melihat ke arah kerumunan, hati Dara bergetar. Di tengah-tengah kerumunan, ada sebuah poster besar dengan wajahnya, kali ini disertai dengan tulisan baru "Dara si Pecundang. Siap untuk kekalahan selanjutnya?"

Dara merasa marah dan malu. Wajahnya memerah saat semua orang menatapnya. Ini lebih dari sekadar foto, ini adalah penghinaan di depan khalayak ramai.

"Lihat, ini dia!" teriak Aurel, sambil tertawa.
"Kita akan terus menggoda dia sampai dia pergi dari sini."

"Stop!" teriak Deon, berusaha membela Dara. "Kalian semua tidak punya hak untuk memperlakukan dia seperti ini!"

Dessy mengangkat bahu, "Dia yang memilih untuk berdiri di sini. Kalau mau berani, ya harus siap dengan konsekuensinya."

Dara merasakan semangatnya mulai menyusut. Namun, saat itu, ia melihat di tengah kerumunan, Alana berdiri dengan senyum penuh kemenangan. Rasa marahnya muncul kembali, membakar ketakutan dalam dirinya.

"Cukup, Alana!" teriak Dara, suaranya menggetar tetapi penuh ketegasan. "Aku tidak akan jadi targetmu lagi!"

Alana menatapnya, terkejut. Kemudian, senyumannya berubah menjadi senyum penuh provokasi. "Oh, jadi sekarang lu berani? Keren. Tapi ingat, semua ini baru permulaan."

Dara merasa gemetar. "Kamu tidak bisa mengendalikan hidupku selamanya!"

"Tapi aku bisa membuat hidupmu menjadi di neraka," balas Alana, nadanya menantang.

Ketegangan semakin memuncak. Deon merangkul bahu Dara, mendorongnya untuk menjauh dari kerumunan. Namun, sebelum mereka bisa pergi, Aurel kembali bersuara, "Kita akan terus mempublikasikan semua kesalahanmu, Dara. Siap-siap saja, dan...!" Aurel menjeda sebentar ucapannya, baru kemudian dia berkata

"Kuatkan mentalmu yang lemah itu"sambungnya dengan nada meremehkan dan diakhiri tawa oleh sekelompok pembully itu.

Dara merasakan ketidakberdayaan dan kemarahan bersatu dalam dirinya. Sebuah keputusan tegas muncul dalam pikirannya. "Jika Alana dan teman-temannya terus menyerang, kita harus mengungkapkan kebenaran. Kita butuh bukti dan dukungan dari yang lain," kata Dara kepada Deon.

THE GLORYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang