13

2 2 0
                                    

Happy reading
.
.
.

Beberapa hari setelah semua bukti tentang Dessy tersebar, suasana sekolah mulai kembali normal. Siswa-siswa yang sebelumnya memihak Alana kini berbalik dan menjauhi Dessy. Namun, Alana tetap berjalan dengan angkuh, seolah-olah tidak peduli dengan apa yang terjadi. Dara merasa lega, tapi dia juga tahu sesuatu masih mengganjal.

Suatu sore, saat Dara sedang berada di perpustakaan bersama Deon dan Rina, mereka mendiskusikan tentang langkah berikutnya. “Kamu yakin ini sudah selesai?” tanya Rina, merasa ada sesuatu yang tidak beres.

“Aku harap begitu,” jawab Dara, menatap jendela dengan pandangan jauh. “Tapi kenapa aku masih merasa seperti ada yang belum selesai?”

Deon mengangguk setuju. “Alana mungkin menjauhi kita sekarang, tapi dia bukan tipe orang yang menerima kekalahan begitu saja.”

Rina menghela napas. “Mungkin kita harus terus waspada, tapi setidaknya kita punya teman-teman di pihak kita sekarang.”

Namun, sebelum mereka bisa melanjutkan percakapan, ponsel Dara bergetar. Ada notifikasi baru dari media sosial sekolah. Dara melihat sekilas dan wajahnya langsung memucat.

“Lihat ini,” katanya sambil menyerahkan ponselnya ke Deon dan Rina.

Mereka berdua terdiam. Sebuah akun anonim baru saja memposting foto-foto Dara, Deon, dan Rina dengan keterangan yang sangat merendahkan. Foto-foto itu diambil secara diam-diam ketika mereka sedang bertemu dan berbicara di kantin, perpustakaan, dan tempat-tempat lain di sekolah.

“Ini gila!” teriak Deon marah. “Mereka belum berhenti!”

“Siapa yang melakukan ini?” tanya Rina dengan panik.

Dara menatap layar ponselnya dengan tatapan kosong. “Aku yakin ini Alana… tapi kenapa dia tidak melakukannya secara langsung?”

Tiba-tiba pintu perpustakaan terbuka, dan Alana muncul dengan senyuman lebar. “Apa yang kalian bicarakan?” katanya dengan nada yang sangat dingin. Dia duduk di dekat mereka, meletakkan ponselnya di meja.

“Kamu!” seru Deon, berdiri.
“Kamu pikir kami nggak tahu ini ulahmu? Kenapa kamu nggak bisa berhenti?”

Namun, Alana tidak terlihat terganggu. Dia justru tersenyum lebih lebar. “Deon, Deon… kalian semua selalu berpikir ini tentang aku, ya? aku hanya ingin memberitahu kalian tentang satu hal.” Dia berhenti sejenak, memandang mereka satu per satu.

Dara menelan ludah. “Apa maksudmu?”

“Selama ini, kalian berpikir aku yang merencanakan semuanya. Membully Dara, mengendalikan Dessy, menyebarkan rumor, begitu bukan?,” kata Alana pelan.
“Tapi kenyataannya, bukan aku yang memulai semua ini.”

Rina mengernyit. "Itu ga masuk akal. Siapa lagi orang itu kalau bukan kamu?”

Alana mencondongkan tubuhnya lebih dekat. “Kalian semua tertipu. Orang yang selama ini benar-benar menarik tali di belakang layar bukan aku. Tapi seseorang yang kalian kenal sangat baik.”

Deon menggelengkan kepala dengan bingung. “Berhenti dengan omong kosong ini, Alana.”

“Omong kosong?” Alana tertawa kecil. “Kalian ingin tahu siapa yang benar-benar mengendalikan semuanya?” Dia berhenti, menatap langsung ke arah Dara.
“Itu David.”

Seketika ruangan terasa sunyi. Dara, Deon, dan Rina menatap Alana dengan wajah terkejut. “David?” Dara akhirnya berkata, suaranya bergetar. “Kamu bohong.”

“Aku? Bohong?” Alana menggeleng sambil tertawa sinis.
“David adalah orang yang sebenarnya mengatur segalanya. Dia tahu setiap langkah kalian, dia yang memberi tahu Dessy cara menyebarkan video itu, dan dia yang membuat semua foto-foto dan rumor terbaru tentang kalian.”

Dara terdiam, mencoba mencerna apa yang baru saja dikatakan Alana. “Kenapa dia melakukan itu? David adalah teman kami!”

“Tunggu dulu,” Deon angkat bicara. “Kalau ini benar, apa alasan dia?”

Alana berdiri, sambil merapikan rambutnya. “David hanya ingin melihat kalian terpecah. Dia tahu kalian akan melawan Dessy dan aku, jadi dia biarkan kami melakukan apa yang kami lakukan. Sementara itu, dia memanipulasi segalanya dari balik layar, memastikan kalian selalu berada dalam posisi lemah.”

Dara tidak bisa mempercayai telinganya. “David tidak mungkin melakukan ini… kami selalu menganggap dia ada di pihak kami.”

Alana mengangkat bahu. “Kalian bisa konfrontasi dia sendiri kalau tidak percaya. Tapi aku sudah bilang apa adanya.”

Seketika, Dara dan teman-temannya memutuskan untuk mencari David. Mereka menemukannya di ruang komputer, seperti biasa. David tersenyum saat melihat mereka datang, seolah-olah tidak ada yang salah.

“David,” suara Dara gemetar.
“Apakah ini benar? Kamu yang mengatur semuanya?”

David menatap Dara dengan tatapan dingin yang tidak pernah dia tunjukkan sebelumnya. Senyuman kecil terukir di wajahnya. “Akhirnya kalian tahu.”

Dara merasa dunianya runtuh. “Tapi… kenapa? kamu teman kami!”

David mendengus. “Teman? Kalian hanya memanfaatkan aku. Kalian tidak pernah benar-benar menghargai aku, Dara. Aku ada di sana setiap kali kalian butuh bantuan, tapi kalian tidak pernah melihatku sebagai lebih dari sekadar anak di balik layar.”

Deon menatap David dengan marah. “Jadi, semua ini karena kamu merasa diabaikan?”

“Ini lebih dari sekadar diabaikan, Deon. Ini tentang menunjukkan bahwa aku bisa lebih dari sekadar ‘teman baik’ yang selalu ada di belakang. Aku bisa mengendalikan segalanya,” jawab David, suaranya dingin dan tajam.

Dara merasa tenggorokannya tersumbat. Dia tidak pernah menyangka David, seseorang yang dia anggap teman setia, akan berkhianat padanya dengan cara seperti ini.

“David, kamu bisa menghentikan semua ini,” kata Dara dengan suara pelan, hampir memohon.
“Kita bisa menyelesaikannya tanpa perlu ada lagi yang terluka.”

David menatap Dara sejenak, kemudian tersenyum tipis. “Sudah terlambat, Dara. Kamu mungkin berpikir bisa menghentikan semuanya, tapi aku sudah merencanakan ini sejak lama. Dan sekarang… kalian tidak punya jalan keluar.”

...

Bel sekolah berbunyi, menandakan akhir hari. Dara, Deon, dan Rina berdiri di sana, terkejut oleh pengkhianatan yang tak pernah mereka duga. David, yang selama ini mereka percayai, ternyata adalah musuh terbesar mereka.

Dara berusaha menenangkan pikirannya yang berantakan. “Aku tidak akan membiarkan ini berakhir seperti ini,” gumamnya pelan.

David menatap mereka dengan penuh kepuasan, seolah-olah dia sudah memenangkan segalanya.

Namun, Dara menatap David dengan tekad baru. Dia mungkin baru saja kehilangan kepercayaan pada teman yang dia anggap setia, tapi dia tahu, ini belum berakhir.

Bersambung...

THE GLORYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang