18

0 0 0
                                    

Happy reading
.
.
.

Setelah mendengar penjelasan dokter, Deon kembali duduk di samping tempat tidur Dara, terlihat lebih tenang meskipun hatinya masih diliputi kecemasan. Dara memandangnya dengan senyum tipis, berusaha menyembunyikan ketakutan yang sebenarnya ia rasakan.

“Aku baik-baik aja, Yon,” kata Dara dengan suara pelan, berusaha meyakinkan Deon.
“Cuma sedikit sakit kepala, kok. G ada yang perlu dikhawatirin.”

Deon menatapnya ragu, seakan bisa membaca bahwa Dara menyembunyikan sesuatu. Tapi dia memilih untuk tidak terlalu mendesak. “Kalau lo bilang gitu, gue percaya. Tapi, janji ya, kalau ada apa-apa lo bakal cerita ke gue.”

Dara mengangguk, meski dalam hatinya dia tahu janji itu sulit dipenuhi. Dokter memang baru saja menjelaskan betapa parahnya benturan itu, dan ada kemungkinan besar ada kerusakan lebih lanjut di dalam kepalanya. Tapi Dara tidak ingin membebani Deon lebih dari ini. Dia sudah terlalu banyak merepotkan sahabatnya itu, dan tidak ingin menambah beban lagi.

Hari-hari berikutnya, Dara kembali ke sekolah seperti biasa. Namun, mimisan yang sering ia alami semakin parah. Sekarang, darah tidak hanya keluar dari hidungnya, tetapi terkadang ia merasa pusing yang luar biasa, membuatnya harus berhenti sejenak untuk menenangkan diri. Namun, setiap kali itu terjadi, Dara dengan cepat menyeka darah dan menyembunyikan kondisinya sebelum ada yang menyadari.

Deon, meskipun selalu berada di sisinya, tidak pernah tahu seberapa parah kondisi Dara. Setiap kali Dara terlihat sedikit lelah atau pucat, Deon hanya berpikir bahwa itu adalah efek dari kejadian-kejadian sebelumnya. "Mungkin dia cuma kelelahan," pikir Deon setiap kali melihat Dara tampak lesu, tanpa menyadari bahwa ada sesuatu yang jauh lebih serius terjadi.

Sementara itu, Alana belum selesai dengan rencana jahatnya. Meski Dara berusaha mengabaikan segala fitnah yang disebarkan oleh kakaknya itu, Alana selalu menemukan cara untuk mempermalukan Dara di depan semua orang. Kali ini, Alana menyebarkan rumor baru—bahwa Dara hanya berpura-pura sakit untuk mendapatkan perhatian.

“Lihat aja, dia selalu tampak lemah, padahal ga ada apa-apa. Dia cuma cari simpati dari orang-orang,” kata Alana di hadapan teman-teman mereka di kantin. Kata-kata Alana menyebar dengan cepat di antara siswa-siswa lain, membuat beberapa dari mereka mulai ragu pada kondisi Dara.

Namun, Deon tetap membela Dara di hadapan siapa pun yang mencoba menjelekkan namanya. "Dara ga mungkin berpura-pura. Lo semua ga tau apa yang dia udah lalui," tegas Deon setiap kali rumor itu sampai ke telinganya. Perasaan sayangnya kepada Dara semakin besar, meski dia masih belum menyadari sepenuhnya apa yang sedang dia rasakan.

...

Suatu sore, saat Dara sedang sendirian di perpustakaan, dia merasakan pusing yang lebih kuat dari biasanya. Kepalanya terasa berdenyut, dan tiba-tiba darah mulai mengalir dari hidungnya lagi. Kali ini, darahnya lebih banyak dari biasanya. Dara buru-buru meraih tisu dari dalam tasnya dan mencoba menghentikan pendarahan itu. Tapi pusingnya tidak kunjung hilang, dan ruang perpustakaan yang tadinya sunyi kini mulai berputar di hadapannya

Dara berusaha bangkit dari kursi, namun tubuhnya tidak mau bekerja sama. Kakinya gemetar, pandangannya kabur, dan sebelum dia sempat memanggil bantuan, semuanya berubah menjadi gelap.

Tak selang beberapa lama Dara terbangun, dia mendapati dirinya terbaring di salah satu ruang kesehatan sekolah. Di sebelahnya, Deon duduk dengan wajah penuh kekhawatiran. “Lo baik-baik aja?” tanyanya begitu Dara membuka mata.

Dara berusaha duduk, meski kepalanya masih terasa berat. "Aku pingsan ya?” suaranya terdengar serak.

Deon mengangguk. “Guru perpustakaan yang nemuin lo nggak sadarkan diri. Lo pingsan lama banget, Ra.”

Dara menghela napas panjang, berusaha menenangkan dirinya. "Aku cuma kelelahan, Don. Udah biasa."

“Tapi kali ini beda, Ra. Lo ga bisa terus-terusan bilang lo baik-baik aja kalau jelas-jelas lo ga sehat,” ujar Deon dengan nada yang lebih serius dari biasanya.

Dia meraih tangan Dara dan menggenggamnya erat. “Lo harus bilang apa yang sebenarnya terjadi.”

Dara terdiam sejenak, merasa tak mampu lagi menyembunyikan semuanya. Tapi sebelum dia bisa menjawab, pintu ruang kesehatan terbuka dan Alana masuk, diikuti oleh orang tua mereka.

Wajah Alana penuh dengan kebencian yang sudah tidak lagi terselubung. “Lihat siapa yang pingsan lagi. Apa lo mau cari perhatian lebih?” ucapnya dengan nada sinis.

Dara tidak menjawab. Dia terlalu lelah untuk menghadapi Alana saat ini. Orang tua mereka, yang berdiri di belakang Alana, menatap Dara dengan campuran rasa khawatir dan marah.

“Kami dengar kamu pingsan lagi,” kata ayah mereka dengan nada dingin.
“Ini nggak bisa terus begini, Dara. Kamu harus berhenti cari-cari masalah.”

Dara menatap mereka dengan mata penuh kesedihan. "Aku ga cari masalah, Pa," jawabnya pelan.

Tapi sebelum perdebatan bisa berlanjut, Deon berdiri dan menatap Alana dengan tajam. “Kalian ga ngerti apa yang sebenarnya terjadi sama Dara. Dia ga cari perhatian. Dia sakit, dan kalian semua ga pernah peduli!”

Semua orang terdiam mendengar Deon. Alana, yang biasanya penuh percaya diri, tampak terkejut. “Apa maksud lo?” tanya Alana, suaranya sedikit gemetar.

Deon melanjutkan, “Dara butuh bantuan, bukan serangan terus-menerus. Kalian ga pernah kasih dia kesempatan buat ngomong apa yang sebenarnya terjadi. Lo, Alana, lo selalu bikin hidup dia lebih sulit dari yang udah ada.”

Dara merasa terharu mendengar pembelaan Deon. Di tengah semua tekanan yang dia rasakan, hanya Deon yang selalu ada untuknya, dan itu membuat perasaannya terhadap sahabatnya itu semakin dalam. Namun, perasaan itu tetap ia simpan rapat-rapat di dalam hatinya.

Orang tua mereka saling menatap, tampak sedikit ragu. Tapi sebelum ada yang bisa mengatakan apa-apa, seorang perawat masuk ke ruangan dan meminta mereka untuk keluar sementara dokter memeriksa Dara lebih lanjut.

Saat Alana dan orang tua mereka keluar dari ruangan, Deon masih berada di sana. Dia menatap Dara dengan penuh perhatian. "Lo tau, gue ga akan ninggalin lo, kan?"

Dara tersenyum lemah, menatap Deon. "Aku tau, Yon. Makasih udah selalu ada buat aku."

Namun, di balik senyuman itu, Dara tahu bahwa kebenaran tentang kondisinya harus segera dia ungkapkan. Tapi untuk sekarang, dia hanya ingin menikmati momen itu bersama Deon—momen di mana dia merasa paling aman, meski hanya sesaat.

Bersambung...

THE GLORYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang