10

6 3 0
                                    

Happy reading
.
.
.

Keesokan harinya, suasana sekolah tampak berbeda. Rasa tegang menggantung di udara, dan Dara merasa setiap tatapan yang diarahkan kepadanya lebih tajam dari biasanya. Pagi itu, dia berjalan ke sekolah dengan Deon di sampingnya, tetapi ada firasat yang tak bisa diabaikan. Seolah-olah badai besar akan segera datang.

“Lu baik-baik saja?” tanya Deon, memperhatikan kecemasan di wajah Dara.

Dara mengangguk perlahan. “Aku hanya merasa Alana tidak akan membiarkan ini berlalu begitu saja. Dia pasti punya rencana balas dendam.”

Deon menatap sekeliling. “Kita sudah siap. Kita punya banyak dukungan sekarang. Mereka tidak akan bisa menghancurkan kita lagi.”

Namun, saat mereka mendekati gerbang sekolah, sesuatu yang tidak biasa terjadi. Ada kerumunan siswa berkumpul di depan pintu masuk, wajah-wajah mereka dipenuhi ekspresi terkejut dan penasaran. Dara mempercepat langkahnya, dan saat tiba di depan gerbang, matanya langsung tertuju pada papan besar yang terpampang di sana.

Itu sebuah poster besar, dengan wajah Dara di tengahnya. Kali ini, bukan hanya sekadar foto. Ada tulisan besar yang jelas terbaca:

“Dara Pembohong. Si Penghancur Reputasi. Siap-siap untuk dibongkar!”

Dara merasakan lututnya lemas seketika. Ini lebih buruk dari apa yang ia bayangkan. Alana tidak hanya menyerangnya secara pribadi—dia sedang membentuk narasi baru, sebuah kebohongan yang jauh lebih berbahaya. Orang-orang di sekitar mulai berbisik, beberapa siswa bahkan mengambil foto poster itu dengan ponsel mereka.

Deon mengepalkan tangan, wajahnya merah padam karena marah. “Ini sudah keterlaluan! Kita harus ke kepala sekolah sekarang!”

Namun, sebelum mereka bisa bergerak, suara tawa familiar terdengar. Alana, diikuti oleh Dessy dan beberapa anggota kelompoknya, melangkah maju dengan senyum licik di wajahnya.

“Bagus, kan?” kata Alana, tangannya menyentuh poster itu dengan bangga. “Lu pikir, lu bisa mengalahkan gue, Dara? Ini baru permulaan.”

Dara menatapnya tajam, menahan amarah yang bergejolak dalam dirinya. “Kamu tidak bisa terus menerus menindas orang lain, Alana. Ini akan berakhir.”

Alana mendekat, wajahnya hanya beberapa inci dari Dara.
“Gue udah bilang, Dara. Lu bermain di wilayah gue sekarang. Dan gue akan pastikan tidak ada yang percaya lagi sama lu. Lu ingin semua orang melihat lu sebagai korban? gue akan membuat mereka melihat lu sebagai pelaku.”

Tiba-tiba, Deon melangkah maju, menghadapi Alana. “Berhenti, Alana! Semua orang sudah tau kebenarannya. Lu cuma takut karena orang-orang mulai melihat siapa kamu sebenarnya.”

Alana tertawa sinis. “Oh, Deon. Lucu sekali mendengar ucapan lu yang bicara tentang kebenaran. Lu tau, kebenaran itu bisa diputarbalikkan sesuka hati jika lu punya cukup kekuasaan. Dan gue? gue punya kekuasaan.”

Dara tahu Alana tidak main-main. Dia bisa melihat tekad dingin di mata Alana, tekad untuk menghancurkan apa pun yang tersisa dari dirinya. Saat itu, Dara merasa terjepit di antara pilihan yang sulit: melawan atau mundur. Tapi saat dia melihat sekelilingnya, banyak siswa yang tampak bingung dan ragu, seolah-olah mereka tidak tahu siapa yang harus dipercayai. Jika dia mundur sekarang, Alana akan menang.

“Kamu salah, Alana,” kata Dara, nadanya tegas.
“Kamu mungkin bisa memanipulasi beberapa orang, tapi pada akhirnya, kebohonganmu akan terungkap. Dan saat itu terjadi, kamu akan sendirian.”

Alana memutar bola matanya. “Terus bermimpi, Dara. Sementara lu sibuk dengan idealisme lu itu, gue akan menghancurkan setiap kesempatan lu untuk bertahan di sekolah ini.”

Tiba-tiba, Dessy menyeletuk dari samping, dengan wajah puas. “Kami punya lebih dari sekadar poster ini. Tunggu saja. Kami punya rencana besar yang akan membuat lu menyesal pernah menentang kami.”

“Rencana apa?” tantang Deon, mencoba terlihat tidak terpengaruh meskipun Dara bisa merasakan kegelisahannya.

Dessy hanya tersenyum, tetapi Alana segera memotong pembicaraan. “Lu akan tau pada waktunya. Nikmati sisa waktu lu di sini, Dara, karena sebentar lagi, segalanya akan segera berubah.”

Mereka pergi meninggalkan Dara dan Deon yang masih tertegun di tempat. Kerumunan siswa mulai bubar, tetapi bisikan-bisikan masih terdengar di sekitar. Dara merasa tercekik oleh tekanan yang kini datang dari segala arah. Meski mereka punya bukti tentang kejahatan Alana, Dara tahu bahwa serangan balasan ini bisa menghancurkan semuanya jika mereka tidak segera bertindak.

“Deon,” bisik Dara, suaranya gemetar, “kita harus mencari tahu apa rencana mereka sebelum mereka menjalankannya.”

Deon mengangguk. “Kita harus waspada. Kalau tidak, mereka akan menghancurkan semua yang sudah kita bangun.”

Mereka berdua segera menuju perpustakaan, tempat Rina dan beberapa teman mereka sedang menunggu. Mereka tahu bahwa pertempuran ini baru saja dimulai, dan mereka perlu menyiapkan strategi lebih cerdas jika ingin mengalahkan Alana sekali dan untuk selamanya.

...

Di tempat lain, Alana dan kelompoknya sedang bersiap melancarkan rencana yang lebih jahat. Di ruang rahasia di belakang gedung sekolah, mereka berkumpul di sekitar meja yang penuh dengan dokumen, foto, dan beberapa perangkat elektronik.

“Sudah siap?” tanya Alana dengan senyum licik di wajahnya, menatap Dessy yang memegang sebuah USB drive.

Dessy mengangguk dengan senyum serupa. “Semua sudah siap. Begitu kita sebarkan ini, reputasi Dara akan hancur total. Dia tidak akan punya kesempatan untuk bertahan.”

Alana mengangguk puas. “Baik. Kita sebarkan video itu besok pagi, tepat saat semua orang ada di sekolah. Dara tidak akan pernah bisa membersihkan namanya setelah ini.”

Sementara Dara dan kelompoknya masih duduk di perpustakaan, mencoba mencari tahu langkah apa yang bisa mereka ambil. Namun, tidak ada yang tahu bahwa di luar sana, Alana telah menyiapkan jebakan terakhir yang bisa menghancurkan segalanya. Mereka berpacu dengan waktu.

Saat malam tiba, Dara menerima pesan di ponselnya. Itu dari nomor tak dikenal.

“Bersiaplah, Dara. Besok semua orang akan tahu siapa lu sebenarnya.”

Dara merasakan darahnya mendidih. Apa yang sebenarnya Alana rencanakan? Apa yang akan terjadi esok hari?

Bersambung...

THE GLORYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang