ㅡ🌷 Building Bridges

182 17 3
                                    

I HATE U, I LOVE U

Hari-hari berlalu setelah pertemuan terakhir mereka di kafe, namun dampaknya masih terasa dalam kehidupan Jaemin. Sesuatu telah berubah, meski dia enggan mengakuinya secara langsung. Dia sering kali mendapati dirinya memikirkan percakapan mereka, mengingat ekspresi wajah Mark yang ramah, nada suaranya yang tenang, dan betapa tenangnya dia saat menghadapi semua cercaan Jaemin.

"Kenapa lo sering banget mikirin dia sih, Jaemin?" gumam Jaemin sambil membolak-balik ponselnya di tempat tidur. Di layar, percakapan terakhirnya dengan Mark masih tergantung. Pesan singkat yang dikirim oleh Mark beberapa jam yang lalu masih belum dibalas.

Mark Lee
Hai, lo lagi sibuk? Gue lagi nulis lagu baru nih. Mau denger nggak?

Jaemin menatap pesan itu dengan canggung. Bagaimana mungkin seorang yang pernah dia benci begitu dalam sekarang malah mengirimkan pesan santai seperti itu? Lebih aneh lagi, kenapa dia tidak langsung mengabaikannya?

Setelah beberapa detik kebingungan, Jaemin akhirnya mengetik balasannya.

Na Jaemin
Lagu baru? Buat apaan? Kalo jelek gimana?😒

Dia menghela napas setelah mengirim pesan itu, berharap tanggapannya cukup dingin, namun tidak terlalu kasar. Kenyataan bahwa dia bahkan memikirkan bagaimana menulis pesan itu menunjukkan betapa jauh keadaan sudah berubah.

Tak lama kemudian, ponselnya berbunyi tanda pesan masuk.

Mark Lee
Kalo jelek, lo kasih kritik. Gue terima dengan lapang dada.

Jaemin mendesah panjang. Kenapa Mark selalu harus bersikap begitu santai?

ㅡ🌷

Di tempat lain, Mark sedang berada di studio bersama para anggota bandnya— Jeno, Haechan, Chenle, dan Jisung. Mereka sedang dalam sesi latihan, mencoba menyelesaikan komposisi untuk lagu baru yang Mark tulis. Namun, suasana di ruangan itu jauh dari serius. Setiap kali Mark mulai bernyanyi atau mencoba fokus, salah satu dari mereka pasti akan melontarkan candaan.

"Lo kayaknya lagi banyak pikiran, deh, Mark," ujar Haechan sambil menggerakkan alisnya. "Bukan karena satu hater lo yang sekarang jadi teman lo, kan?"

Mark menoleh, menatap Haechan dengan tatapan sebal, namun tersenyum juga. "Haters nggak bisa jadi teman."

Chenle tertawa sambil menambahkan, "Tapi lo sering banget chattingan sama dia. Gue liat tuh ponsel lo bunyi terus."

Jeno, yang sedang memainkan gitarnya dengan santai, ikut tersenyum jahil. "Siapa tau Jaemin itu sebenarnya bukan benci, tapi malu. Kadang orang yang benci itu sebenernya karena dia nggak bisa ngungkapin perasaan aslinya."

Mark hanya menggelengkan kepalanya, mencoba mengabaikan godaan teman-temannya. "Lo semua lebay. Jaemin cuma orang yang punya opini berbeda tentang musik kita. Gue nggak masalah kok."

Jisung, yang paling muda di antara mereka, menatap Mark dengan penasaran. "Tapi serius, lo nggak ngerasa aneh? Dari hater yang nyerang lo tiap hari di Twitter, sekarang dia malah jadi orang yang lo ajak ngobrol?"

Mark mengangkat bahunya. "Ya... hidup tuh aneh. Kadang orang-orang yang nggak kita sangka bisa jadi teman."

Namun, kata-kata Mark pun sedikit menggantung. Dia tahu, ikatan dengan Jaemin belum bisa dikatakan persahabatan yang solid. Mereka masih ada di fase yang canggung, di mana segala sesuatu bisa berbalik arah kapan saja. Tapi satu hal yang pasti—dia merasa lebih tertarik pada Jaemin dibandingkan sebelumnya.

ㅡ🌷

Jaemin, yang sudah mencoba fokus pada hal-hal lain selain Mark, kembali tergoda untuk melihat ponselnya. Ketika pesan dari Mark masuk lagi, dia tidak bisa menahan diri untuk tidak membacanya.

[3] I HATE U, I LOVE U; MARKMIN ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang