bagian 46.3

1.2K 92 12
                                    

Javier ingat kala dirinya masih suka pakai celana kolor dengan motif beragam. Mungkin umurnya lima tahun waktu itu. Dan di saat sang surya dengan gagahnya memancarkan sinar terangnya. Membuat rambut coklat gelap miliknya terbias sedikit terang, Javier suka main di halaman rumah yang luas milik kakeknya. Sendirian dengan bola yang begitu sibuk dirinya tendang lalu mengenai pot-pot besar dengan berbagai jenis bunga dan itu kesayangan neneknya.

Tapi Javier mana peduli kalau dimarahi. Salah siapa tak ada yang mengawasinya. Lagian bolanya memang harus ada target saat di tendang oleh kaki mungilnya.

Javier memang terbiasa main sendiri lebih tepatnya senang mengasingkan diri. Padahal dirinya bisa mengajak sepupu yang memiliki usia yang sama dengannya. Atau om-nya yang memiliki usia tak jauh beda dengannya. Tapi Javier sedikit tak suka padanya. Zafran terlalu dicurahkan oleh cinta sementara dirinya tak punya. Orang tuanya sering mengabaikan. Bahkan sebelum ada adiknya papi Damian dan mami Ayla selalu tak memperdulikannya. Entah alasannya apa. Javier sampai saat ini masih bertanya-tanya.

Apalagi kakek Prayudha yang selalu menatap berbeda terhadapnya. Mata yang dipayungi kelopak yang mulai keriput itu seringkali menatap tajam padanya. Javier sedikit segan untuk mendekat.

Ah, bodo amat akan semuanya. Lebih baik Javier fokus saja sama bolanya.

Dan tepat. Javier tersenyum puas. Saat kakinya menendang keras bolanya lalu tepat mengenai pot berisi bunga mawar putih yang akhirnya terjungkal. Suaranya jatuhnya terdengar keras. Sampai-sampai manusia-manusia yang berada di dalam rumah pun keluar.

Daniar dengan tergesa segera menghampiri bunganya yang terjatuh. Lalu ada Prayudha, Aidan dan Zafran yang menonton di teras rumah. Menilik penasaran apa yang terjadi. Sampai akhirnya paham bahwa Javier kembali berulah.

Wajah kesal nenek Daniar membuat wajah senang Javier menjadi mengkerut takut. Padahal dirinya tadi berucap tak peduli kalau dimarahi. Tapi kenyataannya Javier takut sendiri.

"Ya ampun Javierrr!! Kan tadi udah nenek bilang main di rumah aja. Udah disediain ruang main kamu malah main sendiri dengan bola petakamu itu. Sekarang lihat! Mawar putih kesayangan nenek jatuh dan tangkainya patah. Bunganya juga berguguran. Ngeyel sih kamu!" Daniar segera mengembalikan posisi semula mawar putihnya. Dengan kekesalan yang hampir tak bisa dirinya bendung karena ulah cucunya yang keras kepala itu mawar putihnya jadi cacat.

Javier hanya bisa terdiam dan menatap datar neneknya. Kejadian dimarahi neneknya sudah sering dirinya dapatkan. Meski takut, sebenarnya Javier sudah kebal. Yang bisa dirinya lakukan cukup diam dan menganggap angin lalu saja.

"Budek ya kamu?! Ngomong! Minimal minta maaf!" Daniar menghampiri Javier yang tetap membisu. Wajah yang seperti anak anjing itu hanya balik menatap Daniar yang menjulang tinggi dihadapannya. Tak berniat untuk membuka suara ataupun minta maaf seperti titah neneknya.

"Javier! Apa nenek perlu mengadukan ini pada orang tuamu? Kamu ini seperti tak diajari sopan santun saja sama orang tuamu. Etika saat melakukan kesalahan itu minta maaf. Bukannya malah membisu seperti orang gagu!" Lidah tak bertulang Daniar begitu pedas terlontar pada anak yang masih berusia enam tahun itu. Mana bisa dimengerti?

"Nenek adukan pun emangnya mami papi peduli? Nenek seperti tak tau saja kelakuan mereka," sahut Javier kecil akhirnya.

"Javier tak mau minta maaf hanya kesalahan sepele. Nenek saja kalau melihat Zafran atau om Idan bikin gelas pecah gak marahin mereka. Gak bentak mereka. Sama gak nyuruh mereka buat minta maaf. Malah khawatir yang ada. Javier juga mau diperlakukan seperti itu. Tapi mustahil, 'kan? Mana ada perlakuan spesial pada anak haram." Setelah mengatakannya Javier segera berlari mengambil bolanya. Lalu berjalan dengan angkuh masuk ke dalam rumah melewati kakeknya, Zafran dan Aidan yang masih mencerna kalimat Javier yang sulit untuk dipahami.

𝐏𝐞𝐧𝐠𝐚𝐧𝐭𝐢𝐧 𝐏𝐞𝐧𝐠𝐠𝐚𝐧𝐭𝐢 (End) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang