My Senior Is My Love 1

323 27 5
                                    


"Anda! Lagi-lagi kamu terlambat!" suara ketus dari dosen terdengar lantang saat aku melangkah masuk ke ruang kelas. Beberapa mahasiswa menoleh, sebagian tampak tersenyum menahan tawa, yang lain menggelengkan kepala seolah sudah terbiasa dengan ulahku. Aku hanya mengangkat bahu, menampakkan ekspresi cuek yang sudah jadi ciri khasku.

"Maaf, Pak. Macet tadi," jawabku dengan santai, meskipun aku tahu itu alasan yang klise. Aku tidak peduli. Aku sudah terbiasa menjadi biang onar di kampus ini, dan jujur saja, aku menikmatinya.

Setelah jam kuliah selesai, aku langsung menuju kantin, tempat aku dan gengku biasa nongkrong. Seperti biasa, aku mulai melontarkan lelucon-lelucon konyol dan usil pada teman-teman. Tawa riang terdengar di sudut kantin, kami menikmati hari tanpa peduli dengan tatapan sinis dari mahasiswa lain. Namun, tiba-tiba suasana menjadi sedikit berbeda.

Aku melihat seseorang melangkah masuk ke kantin dengan tenang, membawa aura yang membuat semua orang menoleh. Wajahnya yang serius namun penuh kelembutan, rambut hitamnya yang tergerai, dan senyum kecil yang begitu hangat. Itulah Lookkawe, senior paling terkenal di kampus. Sosok yang tak tersentuh anggun, cerdas, dan sangat berwibawa.

Aku tahu tentang dia. Siapa yang tidak? Lookkawe adalah ketua organisasi kampus yang selalu mendapat penghargaan, sering menjadi perwakilan kampus di berbagai acara, dan yang paling menyebalkan... dia selalu baik pada semua orang.

"Hei, lihat itu. Cewek emas kampus datang," bisik noonn, temanku yang paling usil, sambil menyikutku. "Kira-kira apa ya yang akan dia katakan kalau tahu kamu yang membuat poster-poster lelucon di mading kampus minggu lalu?"

Aku tersenyum licik, mengingat poster-poster yang kutempel di mading kampus, menampilkan karikatur dosen-dosen yang sering membuatku kesal. Tapi entah kenapa, melihat Lookkawe, aku merasa ingin tahu lebih banyak tentang dirinya.

Tiba-tiba, mataku bertemu dengan matanya. Dia menatapku dengan pandangan yang sulit dijelaskan. Ada campuran ketegasan dan rasa ingin tahu di sana. Dan untuk pertama kalinya, aku merasa sedikit canggung. Aku cepat-cepat memalingkan wajah, tapi sudah terlambat. Dia mulai mendekat, dengan senyum tipis yang masih tergantung di bibirnya.

"Halo, Anda, kan?" sapanya ketika dia sudah berada di hadapanku.

Aku menatapnya dengan bingung, berusaha terlihat santai. "Iya, betul. Ada apa, phi Lookkawe?"

"Aku dengar kamu yang membuat poster di mading kampus. Kreatif sekali, meskipun mungkin sedikit... berlebihan," katanya, matanya berbinar-binar seolah menantangku.

Aku tertawa kecil. "Hanya mencoba bersenang-senang, Kak. Hidup terlalu singkat untuk dihabiskan dengan serius terus."

Dia tersenyum, namun kali ini ada sedikit kedalaman di matanya. "Mungkin kamu benar. Tapi aku pikir, dengan bakatmu, kamu bisa melakukan sesuatu yang lebih berarti. Kamu pernah berpikir untuk ikut organisasi atau kegiatan kampus yang lain?"

Aku terkejut dengan ajakannya. Biasanya, orang seperti dia akan menegur atau menasihatiku untuk berhenti membuat masalah. Namun, dia justru mengajakku untuk bergabung dengan kegiatan kampus. Sesuatu dalam dirinya membuatku ingin tahu lebih banyak. Mengapa dia melihat sesuatu dalam diriku yang bahkan aku sendiri tidak yakin ada?

"Entahlah, Phi. Mungkin suatu hari nanti. Tapi untuk sekarang, aku suka dengan hidupku yang seperti ini," jawabku sambil tersenyum sinis.

Lookkawe mengangguk pelan, seolah mengerti sesuatu yang aku sendiri tidak paham. "Baiklah, Anda. Aku hanya ingin kamu tahu, pintu organisasi selalu terbuka untuk siapa pun yang ingin

Aku tidak bisa berhenti memikirkan kata-kata Lookkawe. Seharusnya aku sudah terbiasa dengan teguran atau kritik dari dosen atau mahasiswa lain. Tapi Lookkawe berbeda. Dia tidak menilai atau menyuruhku untuk berhenti berulah. Dia justru melihat potensi dalam diriku, sesuatu yang tak pernah kulihat sebelumnya.

Kata-katanya menggema di kepalaku sepanjang hari. *"Dengan bakatmu, kamu bisa melakukan sesuatu yang lebih berarti."* Aku tak tahu kenapa, tapi entah kenapa kata-kata itu mengganggu pikiranku, seperti tantangan yang sulit kutolak.

Aku mencoba mengalihkan perhatian dengan bercanda bersama teman-teman, tapi tak satu pun dari lelucon mereka bisa membuatku tertawa seperti biasanya. Akhirnya, aku memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar kampus untuk menenangkan diri. Di tengah perjalanan, aku melihat Lookkawe lagi, kali ini sedang duduk di taman kampus dengan sekelompok mahasiswa, terlihat sedang berdiskusi serius.

Entah dorongan apa yang membuatku mendekat. Saat aku mendekat, Lookkawe menoleh dan tersenyum tipis ke arahku. "Hai, Anda. Ada perlu sesuatu?" tanyanya, tanpa nada menghakimi atau mengejek, hanya dengan sikap terbuka.

"Cuma lewat aja," kataku canggung. "Lagi ada diskusi apa?"

"Kami sedang merencanakan acara amal untuk akhir bulan ini," jawabnya sambil menunjukkan beberapa dokumen yang ada di tangannya. "Kami akan menggalang dana untuk membantu renovasi sekolah dasar di pinggiran kota. Kamu tertarik?"

Aku hampir tertawa mendengar pertanyaannya. "Aku dan acara amal? Mungkin itu ide paling gila yang pernah kudengar."

Tapi Lookkawe hanya tersenyum, sama sekali tidak tersinggung dengan jawabanku. "Kamu tahu, Anda, kadang hal yang kita anggap gila bisa jadi justru hal yang paling mengubah hidup kita."

Aku terdiam, tidak tahu harus merespons apa. Ada sesuatu dalam kata-katanya yang membuatku merasa tersentuh. Tidak ada yang pernah berbicara padaku seperti itu sebelumnya. Biasanya orang-orang hanya melihatku sebagai pembuat onar atau masalah, tapi Lookkawe ... dia sepertinya melihat sesuatu yang lebih dalam diriku.

"Apa kamu serius?" tanyaku akhirnya, mencoba memecahkan keheningan.

"Tentu saja. Kamu tidak perlu langsung menyelam, tapi setidaknya kamu bisa datang ke pertemuan kami berikutnya dan melihat bagaimana kami bekerja. Mungkin kamu akan menemukan sesuatu yang menarik," katanya dengan nada tenang.

Aku berpikir sejenak, mencoba menimbang-nimbang. Apa yang akan hilang jika aku datang ke pertemuan itu? Toh, itu hanya pertemuan biasa. Dan kalau aku bosan, aku bisa pergi kapan saja. Lagipula, ini bisa jadi kesempatan untuk bertemu Lookkawe lagi.

"Oke," jawabku akhirnya, mengejutkan diriku sendiri. "Aku akan datang. Tapi jangan berharap terlalu banyak dariku."

Lookkawe tertawa kecil, dan tawa itu terasa hangat. "Tidak apa-apa, Anda. Aku senang kamu mau mencoba."

Pertemuan itu selesai, dan aku berpaling untuk pergi, tapi kali ini, langkahku terasa lebih ringan. Entah kenapa, ada sesuatu yang membuatku ingin tahu lebih banyak tentang gadis ini, senior yang berbeda dari siapa pun yang pernah kukenal.

Keesokan harinya, aku benar-benar datang ke pertemuan organisasi. Semua orang terlihat sedikit terkejut melihatku, terutama teman-teman Lookkawe. Aku bisa merasakan beberapa dari mereka berbisik-bisik, mungkin bertanya-tanya apa yang kulakukan di sana. Tapi Lookkawe menyambutku dengan senyum lebar.

"Selamat datang, Anda," katanya dengan antusias. "Terima kasih sudah datang."

Aku hanya mengangguk canggung. "Yah, aku cuma mau lihat-lihat aja."

Rapat itu berjalan cukup lama. Mereka membahas banyak hal, mulai dari penggalangan dana, mencari sponsor, hingga detail teknis acara. Aku merasa sedikit asing di tengah suasana yang begitu serius, tapi juga tertarik pada semangat mereka. Lookkawe memimpin dengan tenang, mendengarkan setiap masukan dan memberikan arah dengan sikap tegas namun ramah.

Saat rapat berakhir, aku menyadari bahwa aku benar-benar menikmati berada di sana. Mungkin karena suasananya, atau mungkin... karena Lookkawe. Aku tidak yakin. Tapi untuk pertama kalinya, aku merasa mungkin ada sesuatu yang lebih dari sekadar membuat masalah di kampus.

Ketika semua orang mulai berkemas, Lookkawe menghampiriku. "Jadi, bagaimana menurutmu? Apakah ini terlalu membosankan untukmu?"

Aku tersenyum kecil. "Tidak seburuk yang kupikirkan. Mungkin aku bisa datang lagi... kalau kamu mau," kataku, mencoba terdengar santai.

Lookkawe tersenyum lebih lebar. "Aku akan sangat senang kalau kamu mau bergabung, Anda. Aku yakin kamu bisa membawa energi positif di sini."

Dan untuk pertama kalinya, aku merasa ada yang mempercayai diriku lebih dari sekadar pembuat onar. Mungkin, ini adalah awal dari sesuatu yang baru. Mungkin, ini adalah awal dari perubahan.

Dan mungkin, ini adalah awal dari sesuatu yang lebih... dari sekadar rasa penasaran terhadap Lookkawe.

My Senior Is My LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang