08.00

1 0 0
                                    

  
Khawatir

   Gadis cantik itu membuka kelopak matanya dan sesekali menerjab menyesuaikan cahaya yang masuk ke rentina nya. Reta bangun dari posisinya yang tengah meringkuk diatas sajadah. Rupanya ia ketiduran setelah selesai sholat subuh, bahkan mukena abu-abu itu belum terlepas. Ia melihat ke arah jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 06.35. Segera ia bangkit bersiap untuk pergi ke sekolah. Hanya beberapa menit saja Reta sudah bersiap dengan seragam yang dikenakan, untungnya tadi dirinya sempat mandi sebelum sholat jadi tak perlu lama-lama untuk bersiap.

Kakinya melangkah menuruni tangga, saat sudah sampai dibawah ia berpapasan dengan bundanya. Recia sedikit terkejut kata Rena tadi Reta sudah berangkat pagi-pagi sekali. Tapi kenapa Rena berbohong?

"Loh Reta, kok masih dirumah? Tadi Rena bilang kamu udah berangkat dijemput Senja." Reta yang melihat bundanya kebingungan itu hanya tersenyum tipis.

"Rena asal ngomong aja, lagian aku emang biasa berangkat jam segini bun."
"Yaudah Reta berangkat." Reta segera meraih tangan Recia dan menciumnya. Dari wajah yang terlihat bundanya itu tak yakin dengan ucapannya.

"Sebentar." cegah Recia.

Tangan Recia terulur menyentuh lembut pipinya, dan sebisa mungkin Reta bersikap biasa saja padahal walau hanya tersentuh sedikit tapi pipi itu terasa nyeri. Untungnya saja ia bisa menutupi bekas tamparan semalam menggunakan foundition. Reta bisa melihat bundanya itu khawatir dengannya. Kedua tangannya beralih menggenggam lembut tangan kanan sang bunda. Ia juga menunjukkan senyum hangatnya.

"Bun, I'm great don't worry."

Mendengar penuturan putrinya, Recia merasa sedikit lega. Dirinya percaya semarah apapun suaminya, dia tidak akan sampai main tangan pada anak-anaknya apalagi yang dimarahi ini Reta adalah anak bungsunya. Setidaknya begitulah ia sangat mempercayai Renald.

"Bunda, trust Reta, right?"

"Ya, bunda always trust my daughter."


***


   Setelah upacara bendera semua siswa-siswi pasti langsung masuk kelas. Berbeda dengan Reta yang kini berada di taman belakang sekolah, alasannya simpel karena terlambat. Yaps, dia kena hukuman lagi. Walaupun pintar di bidang akademik ia juga manusia biasa yang mempunyai sifat minus. Presentasi nya dalam seminggu on time nya Reta 2 hari dan 3 hatinya telat.

Hukuman hari ini bisa dibilang ringan untuknya yang memang langganan telat. Hanya menyapu seluruh taman ini, gampang kan. Apalagi banyak murid yang tengah di hukum sepertinya. Tadi ia telat 3 menit, kalau sampai setengah jam mungkin nasibnya akan beda lagi. Dari pengalaman nya terlambat setengah jam saja sudah disuruh hormat ke bendera sampai jam istirahat pertama. Kalau lebih dari itu dia belum mencobanya. Kapan-kapan!

"Ayura Retalyn Syaqueela." Reta menyebut namanya dengan lengkap saat wakil ketos itu bertugas mencatat siswa terlambat.

"Tau, sampe hafal gw nama panjang lo gegara sering telat." Perempuan ber name tag Amara Lovika dengan jas almamater osis sibuk menulis di buku merah tanpa melihat orang didepannya.

"Emang yaa Lo itu nggk ada kerjaan apa gimana, nelat mulu masih kelas sepuluh udah nggk karuan gini." Cercah Amara menatap sinis adik kelasnya.

"Tugas murid selain belajar itu disiplin manfaatin waktu dengan baik, lah lo baru juga empat bulan disini kelakuan udah kayak berandalan." Reta hanya diam mendengar ocehan kakak kelasnya. Dia merasa heran waketos ini punya masalah apa dengannya. Dari pertama ia telat terlihat Amara sudah memusuhinya. Kata-kata pedas itu sudah biasa keluar dari mulutnya. Reta juga tak pernah ambil pusing menurutnya meladeni kakel ini hanya membuang-buang waktu. Jadi dia hanya diam.

Nata Twins -Aku RetaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang