3. Terpaksa

47 8 6
                                        

Happy Reading

*****
Zoya terdiam beberapa saat hingga suara Arvin terdengar.

"Mau selesaikan kerjaan apa bengong?" ucap Arvin masih belum menyadari keterkejutan Zoya dengan perkataan sebelumnya.

Bukannya menjawab, Zoya malah berperang dengan pemikirannya sendiri, tetapi jemarinya tetap menekan keyboard sesuai angka yang disebutkan Arvin. "Kenapa ... kenapa harus angka ini yang kamu sebutkan."

Tombol enter sudah ditekan Zoya, layar monitor pun terbuka secara keseluruhan. "Kok, semua angka yang dia sebutkan benar," gumamnya.

"Ada apa?" Arvin memasang wajah kesal. Sejak tadi, tidurnya terganggu karena perkataan-perkataan tak jelas Zoya.

"Kenapa kamu menggunakan tanggal lahirku sebagai password?"

"Dih, kepedean." Arvin membuang muka. Menyembunyikan rasa gugupnya.

"Kalau bukan tanggal lahirku, terus apa?"

"Ribet. Mau nyelesaikan kerjaan apa jadi wartawan? Aku perlu istirahat." Arvin berpura-pura memejamkan mata demi menghindari pertanyaan Zoya selanjutnya.

"Dih," gerutu Zoya. Dia tak lagi membalas ucapan Arvin. Fokus membuka laptop lelaki itu sambil mencari bukti-bukti tentang kedekatan sang pemilik laptop dengan adiknya.

Satu jam kemudian, mata Zoya mulai panas dan tak lagi bisa fokus pada layar laptop padahal proposal yang dia buat belum selesai dengan sempurna. Semakin lama, mata Zoya makin lengket, lima menit kemudian dia sudah tertidur pulas.

Arvin yang sejak tadi berpura-pura tidur. Kini, membuka mata karena tak mendengar suara gumaman Zoya.

"Tahan begadang juga ternyata," ucap Arvin lirih sambil menatap gadis yang matanya telah tertutup sempurna.

Semakin mendekati Zoya, Arvin membaca proposal yang sedang dikerjakan gadis itu. Reflek, jemarinya mulai mengotak-atik keyboard.

"Akhirnya selesai," ucap Arvin setelah hampir satu jam berusaha menyelesaikan pekerjaan Zoya. Lalu, lelaki itu pindah duduk di dekat ranjang Arsyad. Mencoba memejamkan mata kembali.

*****
Sayup-sayup suara azan berkumandang terdengar, Zoya menggerak-gerakkan bola mata. Berusaha segera membuka indera penglihatannya. Sambil mengumpulkan nyawa yang belum sepenuhnya pulih, gadis itu mengangkat ponselnya.

"Nggak kurang subuh telponnya?" tanya Zoya pada seseorang di seberang sana.

"Gila kamu, ya. Dari semalam aku tungguin, proposalnya belum juga dikirim," omel lawan bicara Zoya.

"Astagfirullah. Sorry aku ketiduran." Segera menegakkan posisinya, Zoya menyambar laptop yang ada di meja. "Aku telpon kamu setelah proposalnya terkirim. Aku matikan, ya. Bye."

Beberapa kali menekan enter karena mengira laptop itu masih menyala, kening Zoya berkerut. "Perasaan semalam, aku belum sempat matikan laptop ini. Kok sekarang nggak bisa nyala? Apa baterainya habis, ya," gumam Zoya.

Arvin melirik perempuan yang terlihat panik itu. Namun, karena suara azan sudah berkumandang, lelaki itu mengabaikan putri majikannya.

"Jaga, Bapak. Aku mau ke musala dulu," pamit Arvin pada Zoya.

"Hmm." Zoya memilih mengabaikan perkataan Arvin dan fokus pada benda persegi di depannya.

Setelah berhasil menghidupkan layar, Zoya segera membuka file proposal proyek yang dikerjakannya semalam. Matanya membulat sempurna ketika mengetahui bahwa proposal yang belum dirampungkannya itu sudah begitu sempurna.

Menahan rasa jengkel di hati, Zoya tetap mengirimkan proposal tersebut walau tahu bukan dia pembuat aslinya.

"Lancang!" umpat Zoya. Selesai meluapkan kekesalan hatinya, gadis itu menghubungi sahabat sekaligus rekan kerjanya.

Saingan, Kok Nikah?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang