7. Sama-sama Malu

32 9 5
                                    

Happy Reading

*****

Zoya menunduk, menyembunyikan rona merah yang ada di pipinya. Sementara itu, tak jauh dari tempat mereka berdua, ada Adeeva yang mengepalkan tangannya.

"Kenapa bukan aku yang mencium Mas Arvin? Kenapa selalu Zoya dan Zoya lagi," gumam Adeeva, jengkel ketika saudara tirinya selalu mendapat keberuntungan yang bisa mendekatkan diri pada Arvin.

"Makanya, jadi cewek nggak usah sok, deh, Mbak. Kalau ketahuan gini, apa nggak malu? Bilangnya nggak sudi Nerima pemberian Mas Arvin, sudah sarapan. Tapi, nyatanya semua itu bohong," sindir Adeeva ketika dia sudah berada di sebelah Zoya.

"Sudah ... sudah. Nggak perlu diperdebatkan. Kamu tadi ngomong, mau ngecek gudang beras kita. Ayo, Mas antar. Sekalian Mas juga mau ngecek ke pabrik." Salah tingkah, Arvin malah mengajak Adeeva. Harusnya, sesuai instruksi Sekar lewat chat, dia harus membawa Zoya ke pabrik minuman kemasan milik mereka.

"Bagus, sekarang kalian malah terang-terangan menunjukkan kemesraan di depanku. Dasar nggak tahu diri," umpat Zoya dalam hati.

Tanpa menjawab perkataan Adeeva, Zoya meninggalkan keduanya. Namun, beberapa langkah kemudian terdengar panggilan Arvin.

"Sesuai permintaan Bu Sekar. Hari ini, kamu harus ikut aku ke pabrik."

"Untuk apa? Bukankah sudah ada kamu yang Ayah pekerjakan. Rugi, dong, kalau aku juga turun tangan ngurus pabrik itu. Gimana, sih," ucap Zoya ketus. Matanya berputar, terlihat malas menanggapi permintaan Arvin.

"Bukan aku yang minta, tapi Bu Sekar," jawab Arvin, "aku tunggu lima menit. Jangan membuatku untuk memaksamu dengan cara keras."

Zoya menelan ludah dengan susah payah. Sorot mata Arvin dan perkataannya tak terbantahkan. Cuma lelaki itu yang bisa membuat Zoya bungkam tanpa bantahan.

"Diktator! Untung aja, aku nggak jadi nikah sama dia." Zoya segera menghabiskan sisa makanannya sebelum Arvin benar-benar melaksanakan apa yang dia katakan.

Adeeva mencebik, jelas sekali jika dia sangat cemburu dengan perlakuan Arvin. Padanya, lelaki itu tidak pernah menatap sedemikian rupa seperti tatapan pada Zoya. Arvin selalu lembut dan cenderung memanjakannya, tetapi semua itu terasa hambar, tidak seperti yang terlihat sekarang. Ada sesuatu di mata lelaki itu pada Zoya.

"Nggak usah ngomel. Aku tunggu di mobil," suruh Arvin, sekali lagi.

Mendekati kendaraan mereka, Adeeva membuka pintu di sebelah Arvin. Namun, lelaki itu dengan tegas menolak.

"Kamu di belakang sama Zoya," ucap Arvin tak terbantahkan.

"Tapi, kenapa, Mas? Biasanya juga aku di depan, nemenin Mas nyetir."

"Mulai sekarang, jangan lakukan lagi supaya nggak timbul fitnah."

Adeeva menatap Arvin penuh tanda tanya. Namun, lelaki itu malah memalingkan wajahnya dengan menatap lurus ke depan. Tak berapa lama, Zoya muncul dengan menggunakan pakaian kerja, rapi. Sekilas, Arvin meliriknya dan tersenyum. Lalu, perlahan menjalankan kendaraan.

Tak ada pembicaraan sama sekali dari ketiganya. Namun, diam-diam Arvin selalu melirik Zoya dari kaca.

"Bagaimana caraku agar mendapatkan maafmu, Aya. Aku selalu berharap kita bisa seperti dulu sebelum aku mengalahkanmu," ucap Arvin di dalam hati.

Zoya sama sekali tidak tahu tahu jika Arvin tengah meliriknya. Dia malah sibuk dengan ponsel. Mengirimkan chat pada Bara yang sudah berjanji untuk menikahinya.

Kendaraan mereka sudah sampai di depan gudang beras milik keluarga Zoya. Arvin menghentikan mobilnya, menoleh ke belakang. "Kalau ada kesulitan, segera hubungi, Mas," ucapnya sebelum Adeeva turun.

Saingan, Kok Nikah?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang