19. Ancaman

3.8K 279 3
                                    

Bau obat khas rumah sakit tercium jelas ketika Esther membuka matanya. Setelah beberapa saat, sakit di seluruh badannya yang terluka sangat terasa. Sontak tangannya memegang kepalanya yang berdenyut.

Tak lama dokter memasuki ruangan VIP milik Esther dengan tergesa.

"Untuk luka pasien dalam masa pemulihan. Saya sarankan untuk beberapa hari kedepan pasien harus tetap dirawat di rumah sakit" Ucap sang dokter setelah memeriksa Esther.

"Baik, terima kasih"

Esther mengalihkan atensinya, Ia baru menyadari ternyata dirinya tak sendiri di ruangan itu. Ia memperhatikan laki-laki yang menggunakan kemeja hitam dengan lengan panjang yang digulung hingga siku, umurnya mungkin sekitar 27 tahun.

"Ada yang lo butuhin?" Laki-laki itu membuka pembicaraan ketika menyadari Esther memperhatikannya sedari tadi.

"Oh ya, kita belum kenalan. Nama gue Zion. Nama lo?"

"Esther, lo yang nolongin gue?"

"Iya, kalo boleh tau, kok lo bisa luka-luka di tempat kayak gitu?"

Esther diam, bingung harus memberikan jawaban apa.

"Oh, maaf, gue lancang ya?. Ga usah ditanggepin pertanyaan gue tadi"

"Iya, santai aja. Btw, makasih ya"

Suara notifikasi dari handphone Esther yang berada di atas nakas mengalihkan atensi dua orang di ruangan tersebut.

"Bang, boleh tolong ambilin handphone gue ga?"

"Boleh, bentar"

Saat Zion mengambil handphone Esther, ia tak sengaja melihat layar yang menampilkan pesan dari seseorang.

"Makasih"

Puluhan pesan dan panggilan tak terjawab dari Capella. Saat Esther memasuki room chat, seketika tangannya lemas dan sedikit bergetar ketika ia melihat sebuah video rekaman cctv yang dikirimkan oleh Capella.

Esther harus meminta maaf pada gadisnya.

Sesaat sebelum menekan icon telpon, tiba-tiba Esther mengurungkan niatnya. Jarinya menjauh dari icon tersebut. Ia teringat akan ancaman dari seseorang tadi malam.

"Kenapa?" Zion bertanya ketika melihat wajah Esther yang seperti bingung dan khawatir.

"Gapapa bang"

Esther menghembuskan napasnya.

✧✧

Deru ombak yang memasuki indera pendengarannya membuat Mona semakin nyaman untuk mengurungkan tubuhnya dalam selimut.

Setelah beberapa saat suara notifikasi terdengar terus menerus membuat acara malas-malasan Mona terganggu. Ia menyingkap selimut dan mengambil handphonenya yang berada di ujung tempat tidur.

[Jangan macam-macam atau MATI]

[Jangan macam-macam atau MATI]

[Jangan macam-macam atau MATI]

[Jangan macam-macam atau MATI]

Mona tak tahu seberapa banyak pesan yang dikirimkan oleh nomer tak dikenal ini dengan isi pesan yang sama.

"Berarti benar dugaanku kalau dia melakukan ini karena Capella?"

"Atau hanya kebetulan?"

Sayang sekali Mona tak membawa laptopnya sehingga ia tak bisa melacak nomer ini. Ia tak mungkin memerintahkan tangan kanan atau pekerja lainnya. Sekarang Mona benar-benar tak ingin percaya siapa pun untuk untuk mengetahui urusannya ini.

Perut Mona yang merasa lapar membuat ia menyadari jika belum sarapan. Jam 08:30. Masih sempat untuk mengambil breakfast.

Mona turun ke lantai dasar dengan masih mengenakan piyamanya. Dengan cepat ia mengambil makanan sebelum jam sarapan selesai.

"Loh, Mona?"

Mona menghentikan tangannya yang akan mengambil kue ketika mendengar seseorang menyebut namanya.

"Chandra? Kamu bolos?"

"Engga kok, gue udah izin. Lo sendiri kenapa ga sekolah?"

"Aku bolos, lagi malas sekolah"

"Waw, kapan-kapan bolos bareng ya?"

"Kenapa di sini?" Tanya Mona mengalihkan pembicaraan.

"Bantu kakak gue ngurus hotel ini, katanya lagi ada masalah"

Mona menganggukan kepalanya mengerti. Ia baru tahu keluarga Chandra merupakan pemilik Chaniago Hotel-salah satu hotel terbesar di kota ini.

"Ya udah gue duluan ya"

"Iya"

Setelah Chandra pergi dari hadapannya, Mona melanjutkan aktivitasnya yang sempat tertunda.

✧✧

Jangan lupa vote dan commentnya.

I WANNA BE PROTAGONIS! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang