1

219 41 2
                                    

Tamparan pertama, dia merasakan perih menyengat pipinya.

Tamparan kedua, tubuhnya oleh hampir tidak dapat dipertahankan.

Tamparan ketiga, darah terasa mengalir di sudut bibirnya.

Dan tamparan terakhir, dia tidak lagi dapat menyeimbangkan tegak tubuhnya. Tubuh lemah itu jatuh ke atas tanah dengan suara yang cukup keras. Dia yang tadi berdiri kini jatuh berlutut di tanah kering dengan krikil-krikil kecil yang menyakitinya. Wajahnya berpaling tidak ingin melihat. Tapi di penampar malah meraih rahangnya, mencengkramnya dan kemudian membuat dia menatap ke depan. Hanya untuk menemukan seorang wanita ningrat dengan gaun indah bertahtakan bunga indah di sekitarnya.

Wanita itu duduk dengan santai di kayu rotan, menatap malas padanya seolah dirinya adalah mahluk paling tidak penting yang dilahirkan ke muka bumi. Wanita itu meremehkannya.

Cangkir cantik dengan warna putih memilik lukisan daun hijau berada di tangannya. Dia menyentuh bibir cangkir itu dengan bibirnya. Tapi tidak ada gerakan untuk menenggak isinya. Seolah ada sesuatu yang lebih penting yang menguasai kepalanya dari pada teh harum yang seharusnya menggugah lidah siapa pun.

Wanita dengan sanggulan tinggi berkhiaskan bunga itu melirik pada sosok lemah Nuwan yang memar pipinya dan berdarah sudut bibirnya.

"Apa kau meninggalkannya di hutan?" tanya wanita itu dengan penuh tuduhan. Jawaban jelas ada di kepalanya meski dia menanyakannya.

Nuwan yang hanya mengenakan gaun biasa itu berusaha menatap wanita itu dengan tegar. Seolah badai yang selama tujuh belas tahun dia alami sama sekali bukan apa-apa. Masalahnya badai itu berbentuk ibu kandungnya sendiri. Sosok itu, wanita ningrat yang seolah memiliki seribu kebaikan di matanya malah tidak menyayangi anak kandungnya sendiri dan lebih memilih membela anak yang tidak pernah dilahirkannya.

Nuwan pergi bersama dengan sepupunya, Mora namanya. Mora mengajaknya, meminta ditemani menangkap kupu-kupu di tengah hutan. Nuwan tidak mau, dia takut kalau ibunya sampai tahu, mereka akan kena masalah. Mora keras kepala, jika Nuwan tidak pergi bersamanya maka Mora akan pergi sendiri dan nanti Mora akan mengatakan pada si wanita ningrat kalau Nuwan tidak mau menemaninya. Itu akan membuat wanita itu lebih marah.

Tidak mau mendapatkan masalah, Nuwan mengikutinya. Membuat Mora berjanji kalau mereka akan pergi sebentar. Siapa sangka sampai sore Mora tidak kunjung mau kembali. Dia terlalu sibuk dengan binatang terbang itu dan membuat Nuwan mengejar saat dia terus berlari ke segala arah.

Sampai Nuwan kehilangan jejak Mora. Membuat dia mencari ke segala arah dan sampai malam tiba, dia tidak menemukannya. Dengan berat hati dan tahu kalau dia akan disalahkan, Nuwan kembali sendiri. Mengatakan pada pengawal untuk membantunya mencari Mora.

Ibunya segera tahu kalau Mora hilang. Dia murka dan di sinilah mereka. Di tengah lapangan di mana ada gazebo yang cukup besar di depan sana, di mana wanita yang adalah ibunya itu duduk dengan sikap pongah seolah yang dia sakiti bukan anak kandungnya, bukan darah dagingnya.

"Katakan! Kau meninggalkannya!?" suara wanita itu melengking tinggi. Cangkir yang ada di tangannya di lempar ke arah Nuwan, hampir mengenainya dengan teh panas yang memercik ke punggung tangannya.

Nuwan mendekap tangannya yang merasakan panas. Berusaha tidak menangis saat dia harusnya terbiasa dengan segalanya. Hatinya sudah lama dingin dengan sikap ibunya. Wanita itu benar-benar memusuhinya sejak dia baru lahir.

ASI tidak pernah diberikan. Tudingan tajam selalu dilayangkan. Apa pun kesalahan yang ada di rumah itu, Nuwan menjadi pendosa yang bersalah dalam kepala ibunya. Karena wanita itu percaya, sejak Nuwan lahir ke dunia, dia adalah bintang bencana. Dia akan membuat semua orang menderita di sekitarnya. Dukun yang mengatakan itu.

Dan di tangisan pertamanya, kakek dan nenek Nuwan mengalami kecelakaan. Mereka mati mengenaskan di bawah gunung. Sejak itu ibunya percaya soal bintang bencana. Dan ibunya menyatakan, entah yang keberapa kalinya kalau dia menyesal melahirkan Nuwan. Jika saja dia membunuhnya saat masih berada dalam kandungan, orangtuanya tidak akan mati mengerikan seperti itu.

Jadi apa pun yang salah, bintang bencana yang dipersalahkan.

"Aku tidak meninggalkannya. Dia berlari pergi menangkap kupu-kupu dan aku kehilangan jejaknya. Aku coba kembali lebih dulu agar pengawal membantuku mencarinya. Mencari sendirian di tengah hutan pada malam hari, tidak akan pernah membuat aku mendapatkan hasil. Aku butuh bantuan," tegasnya.

Wanita itu berdiri. Dengan tegas melangkah mendekat.

Nuwan bergerak mundur, tahu kalau tidak ada hal baik yang akan terjadi jika wanita itu sudah mendekatinya. Karena wanita itu memang biasanya tidak akan bergerak ke dekatnya, kecuali hendak menghukumnya.

Dan benar saja, sebelum Nuwan berpikir, kaki wanita itu sudah menendang dadanya membuat dia jatuh terlentang ke tanah. Dia merasakan sakit di dadanya yang begitu kentara. Tendangan itu bukan tendangan biasa.

"Kau memang pembawa sial. Bahkan sekarang sepupumu sendiri kau buat menderita."

Nuwan memegang dadanya, terbatuk beberapa kali. Dia berusaha bangkit meski agak sulit.

"Sebelum kau menemukannya, kau tidak diizinkan kembali. Jangan pernah mengharapkan bantuan dari siapa pun. Karena tidak akan ada yang membantu gadis sial sepertimu. Pergi sekarang dan cari dia karena aku tidak akan pernah memaafkanmu jika sampai Mora terluka." Wanita ningrat itu mengibaskan gaunnya dan melangkah kembali ke gazebo.

Teh baru dengan cangkir baru diberikan padanya. Dia menatap Nuwan yang bergerak pelan. Berdiri dengan agak sempoyongan dan pandangan mereka bertemu saat dia menemukan mata merah putrinya mengarah padanya.

Hanya sejenak tapi itu sanggup mencubit perasaannya. Tapi bertahan beberapa detik dan wanita itu sadar kalau dia bersikap lembut pada Nuwan, maka bukan tidak mungkin kalau dia yang akan menjadi korban selanjutnya dari bintang bencana yang dibawa Nuwan. Apalagi dia tidak bisa membuat keluarga Harmis menanggung dosa melahirkan anak sial itu ke dunia.

Dia hanya mendengus dan kembali sibuk memijit kepalanya.

Nuwan melangkah pergi dengan agak tertatih, memasuki kembali hutan gelap dan sepi itu. Hanya ada suara binatang malam di dalam hutan dan juga beberapa cahaya rembulan yang menerangi langkahnya.

Dia terus melangkah dalam nafas terengahnya. Rasa sakit di tubuhnya tidak bisa dibandingkan dengan rasa sakit hatinya. Sesuatu yang sudah lama dingin kembali mengusik luka yang sudah mengering. Dia tidak akan pernah memaafkan wanita itu. Apa pun yang terjadi, dia akan membuat wanita itu membayarnya. Bahkan meski itu harus dengan bayaran darah,

Jika dia memang bintang bencana, jika dia memang anak pembawa sial maka itu bagus. Dia akan membuat seluruh keluarga Harmis berada dalam kubangan darah. Meski Nuwan harus membuatnya dari darahnya sendiri, dia rela. Selama wanita itu tahu kalau dia sudah mengusik sesuatu yang salah.

Dengan langkah tertatih, Nuwan tahu tidak akan mudah sampai dengan cepat ke arah terakhir dia melihat Mora. Dia juga tidak tahu apakah gadis itu benar-benar hilang atau ini hanya ulahnya untuk membuat Nuwan berada dalam masalah.

Tahu kalau Nuwan tidak disayangi, Mora selalu memakai hal itu menjadi masalah bagi Nuwan.

Menjerat Sang Pangeran (JUM)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang