7

145 34 3
                                    

Nuwan akhirnya benar-benar bisa bangun dan beraktifitas seperti biasa. Raza tidak salah dalam mengatakan kalau dua hari ini Nuwan akan bisa sembuh. Pria itu sepertinya banyak terluka, membuat dia dapat mengenali dengan baik luka orang lain. Bahkan tahu kapan waktu penyembuhannya.

Mengenakan gaun yang disediakan pelayan, Nuwan menatap diri di cermin dan memutar tubuhnya. Menyukai gaun indah itu dan ukurannya yang sangat cocok dengan tubuhnya membuat dia lebih suka. Pelayan sepertinya dapat menilai dengan benar gaun yang dia sukai dan tahu ukurannya.

Ketika sibuk merentangkan tangannya dengan gaun yang dia pegang, matanya tiba-tiba menangkap seseorang yang datang mendekat. Dia berbalik dan berhadapan langsung dengan Raza yang akhirnya muncul di kamarnya. Dua hari ini pria itu sama sekali tidak terlihat batang hidungnya. Entah apa yang sangat menyibukkannya.

"Kakak!" seru Nuwan yang langsung memegang tangan Raza. "Pelayan memilih gaun yang indah ini untukku. Bagaimana menurutmu?" Nuwan memperlihatkan dengan perasaan bahagia yang kentara.

Raza merapikan anak rambut gadis itu yang keluar dari ikatannya. "Sangat bagus. Tapi kamu salah."

Nuwan menatap bingung. "Salah apa?"

"Bukan pelayan yang memilihnya."

"Bukan pelayan? Vargas?"

Raza dengan kesal menjentikkan jarinya ke dahi Nuwan. Dengan keras sampai gadis itu mengaduh. Dan Raza harus menemukan bekas segera berwarna di sana. Dengan titik besar berwarna merah.

Menyentuh bekas pukulan kecil itu membuat Raza mendesah. "Kau benar-benar seperti kue putih kecil yang tidak bisa disentuh dengan agak keras."

Nuwan menipiskan bibirnya.

"Aku memilih gaunnya."

"Kakak melakukannya?" Nuwan bertanya kembali bersemangat.

"Ya. Aku."

Memegang lengan pria itu lebih erat, wajah Nuwan mendekat. Dia mendongak bahkan untuk membuat Raza melihat seluruh wajahnya. 'Terima kasih, Kakak."

Raza menatap lebih lama dari biasanya, melihat gestur indah wajah itu yang memberikan dampak degup keras di jantungnya. Dua hari ini dia menenangkan diri, coba mengatakan kalau reaksinya pada Nuwan adalah sesuatu yang normal. Bukan sesuatu yang harus membuatnya khawatir. Lagipula dia akan menganggap sebagai adiknya sendiri.

Dengan Raza yang menjadi anak bungsu dari tiga bersaudara, jelas memiliki adik mungkin akan menyenangkan. Bisa melindunginya dan membuat bahaya tidak datang mendekat padanya. Dia pandai akan hal itu.

Lalu kemudian bagaimana kalau sang adik menemukan tambatan hatinya dan menikah? Apakah dia akan menjadi pengiringnya dan menjadi orang yang menyerahkan tangan adiknya pada pria asing yang bisa saja menyakiti sang adik?

Oh, membayangkannya Raza gila. Ada sesuatu di lubuk terdalam hatinya yang mengatakan kalau dia tidak akan pernah berada pada titik itu dengan Nuwan. Dia tidak akan menyerahkan Nuwan pada siapa pun. Dan dia tidak akan membuat Nuwan bisa menemukan pria yang dicintainya. Raza menjanjikan hal itu.

"Kakak," panggil Nuwan agak keras. Jelas bukan panggilan pertama. Raza sibuk melamun dan tidak mendengarkannya. "Apa yang kakak pikirkan?"

Raza mendorong dahi Nuwan. Sampai gadis itu menjauh darinya. "Aku akan mengantarmu pulang."

"Pulang?"

"Kenapa? Tidak mau."

"Tidak mau," Nuwan menggeleng langsung.

"Kau—"

"Kakak tidak bisa biarkan Nuwan tinggal di sini bersama kakak?"

Raza menyentuh telinga gadis itu dan menjewernya. "Keluargamu akan mencarimu. Kau mau aku disalahkan dan disangkan menculik anak gadis mereka?"

"Kakak, sakit."

Raza menarik tangannya. "Berikan nama keluargamu. Aku akan mengantarmu kembali setelahnya." Raza bergerak hendak meninggalkan.

"Mereka tidak mencari, bukan?"

Raza yang mendengarnya berhenti. Dia tidak menatap. Dia benci harus menemukan wajah sedih Nuwan. Jadi lebih baik tidak melihatnya.

"Itu membuat kakak tidak tahu nama keluargaku karena keluargaku sama sekali tidak mencari. Tidak ada anak gadis hilang."

"Kau berpikir berlebihan. Mungkin saja mereka memang agak jauh dan tidak terdengar," Raza coba memberikan jawaban yang cukup logis.

"Harmis. Nama keluargaku Harmis. Apa itu cukup jauh bagi kakak?"

Raza yang mendengarnya terbungkam. Harmis. Mereka ada di pusat kota dan merupakan satu dari sepuluh keluarga besar yang memiliki kekayaan teratas. Keluarga Harmis mengambil jalur perang sebagai kedudukannya. Mengumpulkan banyak pasukan dan jelas jenderal Harmis adalah bawahan langsung dari Raza. Pria tua itu sering menceritakan soal putri kecilnya yang tidak pernah meninggalkannya setiap dia pulang. Apakah Nuwan orangnya? Jenderal Harmis memiliki satu putri saja, maka dari itu Raza tahu kalau Nuwan sudah pasti anaknya.

Tapi kenapa anak kandung sendiri tidak dicari keberadaannya? Padahal Nuwan hampir bebeapa hari tidak pulang dan Raza juga tidak mengatakan apa pun pada pihak luar. Itu harusnya membuat seorang ibu ketar-ketir dan mengumumkan putrinya yang menghilang.

Demi menjaga nama baik keluarga karena berpikir mungkin putrinya sudah ternoda? Atau hanya tidak peduli soal hidup dan mati si putri?

Nuwan mendekat. Dia memeluk Raza dari belakang. Mengejutkan pria itu dan saat Raza hendak melepaskan, Nuwan bicara yang membuat Raza terdiam.

"Nuwan akan merindukan kakak. Setelah Nuwan kembali ke rumah, Nuwan tidak akan lagi bisa bertemu dengan kakak nanti. Kakak jaga diri baik-baik, tetap buat Vargas ada di dekat kakak. Vargas bisa diandalkan, Nuwan dapat melihatnya. Kakak jangan terluka, ya?" Nuwan melepaskan pelukannya dan kemudian berlari keluar kamar.

Raza menatap punggung itu dengan desahan kecil. Kelinci kecil itu sungguh mengusiknya.

Nuwan berlari ke arah Vargas yang sudah menyediakan kuda. Dia tersenyum dengan semringah menatap kuda hitam yang begitu tinggi dan gagah. "Apa kita akan naik kuda, Vargas?" tanya Nuwan mendekati kuda indah itu.

"Kau belum sepenuhnya sembuh. Naik kereta. Kuda tidak cocok," sambut Raza dengan jawaban. Dia mengikuti Nuwan melangkah ke dekat kuda.

Nuwan berbalik menatap Raza penuh protes. "Aku sudah baik-baik saja, Kakak. Aku mau naik kuda."

"Kau bisa naik kuda?"

"Tidak pernah naik. Makanya aku mau mencobanya?"

Raza memutar bola matanya. "Maka naik kereta lagi, lain kali aku akan mengajarkanmu naik kuda."

"Seperti kita akan bertemu lagi saja," dumel gadis itu melangkah meninggalkan Raza dengan perasaan kecewanya. Dia masuk ke dalam kereta dan duduk dengan tidak nyaman di kursi empuk itu.

Raza menatap gadis itu dari jendela kereta, Nuwan meremehkannya. Setelah mengusiknya, Nuwan pikir Raza akan melepaskannya begitu saja? Tentu saja tidak. Segala cara akan dilakukan Raza untuk membuat Nuwan tahu kalau dia bukan pria yang mudah ditinggalkan setelah terusik.

Mengangguk pada Vargas memintanya memimpin jalan, Raza sudah melangkah ke kereta kuda dan masuk dengan Nuwan yang sudah menyiapkan teh untuknya dan kue yang didapatnya dari kotak kayu di meja kecil di depannya.

"Kakak coba, ini enak." Nuwan menyerahkan kue itu dengan tangan tegak ke depan wajah Raza.

Meraih pergelangan gadis itu, Raza mencicipi kue dari tangannya langsung. Bibirnya menggores jari gadis itu yang membuat Nuwan terkejut.

***

Ready Ebook di playstore
Tamat di karyakarsa ya
Bisa beli pdf di aku

Sampai jumpa mingdep 😘

Menjerat Sang Pangeran (JUM)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang