3

125 40 2
                                    

"Saya hanya mau keselamatan untuk anda."

"Maka kau akan mendapatkannya. Aku berjnji. Pergilah."

Dengan wajah tidak tenang, Loyta tidak memiliki pilihan. Dari pada membuat rencana nonanya hancur dengan menunggu sang pangeran bangun, lebih baik mengikutinya.

"Oh, Loyta tangkap." Nuwan melemparkan lempengan emas yang tadinya tersangkut di pinggang celana sang pangeran. "Buang di mana pun tempat yang aman. Yang mudah ditemukan. Agar dia tidak tahu kalau aku mengenalnya."

"Nona, saya mendengar soal beberapa perempuan yang mendekatinya, pada akhirnya mereka semua terbunuh. Bagaimana kalau anda juga ...."

"Aku tidak akan menjadi perempuan yang mendekatinya sebagai kekasihnya. Kau tenang saja, lebih dari yang kau tahu, aku juga tahu. Aku akan berhati-hati."

Loyta yang sudah menangkap tanda pengenal itu menggenggam dengan kuat kemudia sedikit berlari dia pergi meninggalkan. Berdoa supaya nonanya akhirnya mendapatkan apa yang dia mau. Dan bukannya malah semakin menderita.

Dengan sepenuh tenaga Nuwan kemudian meraih tubuh Raza. Memakai tenaganya yang lemah membawa pria itu ke arah pohon besar dan menyandarkannya di pohon tersebut. Setelahnya dia membuka pakaian Raza dan menemukan bekasl luka memanjang yang masih mengeluarkan darah. Pedang sepertinya menyayatnya.

Siapa yang cukup beruntung memberikan luka di tubuh sang jenderal perang ini? Jelas dia sedang tidak tenang sekarang karena sang jenderal tidak pernah meloloskan siapa pun yang mengusiknya.

Nuwan melangkah mencari dedauan yang bisa dipakai sebagai obat untuk menutup luka itu. Dia mencari cukup lama dan menemukan satu genggaman dedaunan hijau yang masih segar. Tidak memiliki batu untuk menumbuknya, Nuwan memakai giginya menghancurkan dedauan itu. Airnya sampai membasahi bibirnya. Dia mengunyah daun itu menahan rasa pahit yang sampai merusak inti jiwanya.

Setelahnya, dia meludahinya dan segera menutup luka sang pangeran dengan pelan dan hati-hati. Dia memeriksa semua bagian, tidak ingin melewati satu pun. Saat dia sibuk menatap luka itu, dia merasakan tatapan buas melebihi buasnya binatang mengarah ke arahnya.

Ketika Nuwan mengangkat pandangannya, dia menemukan mata gelap sang pangeran sudah terbuka dan tengah menyorot tajam padanya. Nuwan sampai menelan ludahnya sendiri membiarkan rasa pahit itu masuk ke sana.

Sebelum gadis itu bicara, tangan besar dan kekar sang pangeran sudah melingkar di lehernya. Mencekiknya dengan sepenuh tenaga sampai Nuwan tercekat dengan kesakitan. Dia merasakan jalur nafasnya benar-benar terhalang dan bahkan perlawanannya tidak membuahkan hasil apa pun.

Nuwan memukul pergelangan pria itu, tapi tidak mempan sampai sekali. Sampai dia menyerah dan berpikir mungkin memang benar yang dikatakan Loyta. Memasukkan pangeran ketiga dalam rencananya adalah sebuah kesalahan. Dia sepertinya akan mati lebih cepat dari yang dia dugakan.

Tubuh Nuwan sudah melemas dan lemah. Dia sudah menyerah dalam perlawanannya. Sampai mata Raza menemukan bekas dedaunan di bibir itu.

Dia melepaskan tangannya, mendengar suara batuk Nuwan yang memenuhi sepinya hutan. Gadis itu membiru wajahnya dan tangannya yang menyentuh lehernya membuat dia menatap Raza dengan ketakutan. Mata Raza memperhatikan bagaimana Nuwan terus mundur dan hendak melarikan diri dengan ketakutan.

Tapi Raza lebih cepat, meraih pergelangan kaki gadis itu. Menariknya mendekat sampai dia merasakan gemetar tubuh itu ketakutan.

"Jangan bunuh aku. Aku mohon jangan bunuh aku!" gadis itu terisak.

Raza menatap tertarik pada gadis lemah itu. Dia memperhatikan seksama dan ketertarikannya jelas tidak rendah. Dia membuat gadis itu berada dalam rengkuhannya dan menyentuh bibirnya. "Kau terluka?"

Gadis itu memalingkan wajah. "Tidak. Bukan."

Raza mendengus. Dia kemudian melihat ke arah dadanya. Melihat lukanya sudah dibalut oleh sesuatu berwarna hijau. "Kau mengobatiku?"

Gadis itu tidak mengatakan apa pun. Tubuhnya masih gemetar.

"Aku tidak akan menyakitimu. Katakan padaku, apa kau mengobatiku?" Raza memiringkan kepalanya.

Gadis itu memandang Raza dengan ketakutan. Di pelupuk matanya masih terbayang sorot ngeri saat dia dicekik sampai hampir terbunuh. Gadis itu mengangguk ketakutan.

"Kenapa kau mengobatiku?"

Wajah gadis itu memandang bingung.

"Aku hanya orang asing yang bisa saja menyakitimu. Kenapa membantuku? Kau sepertinya mengenalku." Seringai terbit di bibir sang pangeran. "Gadis nakal sepertimu sudah terlalu sering melakukan hal seperti ini. Berpura-pura melakukannya tanpa pamrih tapi menginginkan sesuatu dariku. Gadis Kecil, kau salah target." Raza memberikan senyuman tapi mata gelapnya menunjukkan sorot menakutkan.

Gadis itu yang sudah bergerak hendak melarikan diri malah dibuat jatuh ke tanah dengan dedauan kering. Dia ditindih tubuhnya dengan kasar dan Raza mulai mencari belati yang biasanya dia selipkan di pinggangnya. Dia menemukan belatinya tapi tidak menemukan tanda pengenalnya. Itu membuat dia menatap ke arah pinggangnya dengan bingung.

Benar-benar tidak ada. Raza mengedarkan pandangan.

"Lepaskan aku. Jangan bunuh aku. Aku mohon jangan bunuh aku. Aku tidak akan mengatakan ada bandit di hutan ini. Aku tidak akan melaporkanmu. Lepaskan aku." Suara isak ketakutan itu semakin membuat Raza terdiam.

Dia disebut apa? Bandit? Dia?

Rengekan tangis gadis di bawahnya membuat Raza mendengus. Dengan kasar dia turun dari tubuh itu. Dan tanpa menunggu apa pun, gadis itu berlari dengan kecepatan penuh setelah dia berhasil berdiri. Dia berlari dan terus berlari tanpa menatap ke belakang lagi.

Sampai Nuwan sendiri tidak tahu di mana dia berada. Dia hanya perlu membuat Raza percaya kalau dia gadis lemah yang ketakutan. Tapi Nuwan jelas salah langkah. Dia menapaki jalanan buntu di mana jurang ada di bawah sana. Dia terlambat, tubuhnya sudah oleng ke jurang dan tidak dapat ditarik lagi. Dia menutup mata siap menerima kematian lain.

Tapi sebuah tangan meraih pinggang rampingnya, menariknya dan membuat punggungnya menubruk dada bidang pria itu. Suara rintihan sakit Raza terdengar di dekat telinga Nuwan.

Nafas lega gadis itu terdengar kemudian.

"Senang aku menyelamatkanmu?" tanya Raza dengan bisikan merdu yang menaikkan bulu kuduk.

Nuwan berbalik, mendorong pria itu dan bergerak mundur. Dia gemetar dan menggeleng dengan airmata yang masih menetes.

Raza mendesah. "Jangan lari lagi, kalau kau lari, akan kubuat belatiku menusuk kakimu agar kau tidak bisa melangkah. Mengerti?"

Nuwan menatap belati yang dipegang Raza. Dia ketakutan dan jatuh ke tanah. Tangisan kencangnya kembali terdengar. "Aku mau pulang. Nuwan mau pulang. Biarkan Nuwan pulang, Kakak."

"Kakak? Aku?" Raza hampir menyemburkan tawa.

"Nuwan tidak akan mengatakan pada siapa pun. Nuwan bersumpah."

Raza mendekat.

Nuwan yang tahu segera menarik diri. Memeluk lututnya sendiri dengan wajah penuh pertahanan diri.

Menjerat Sang Pangeran (JUM)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang