6

156 40 2
                                    

Nuwan membuka mata dengan tubuh telungkup dan bantal yang diletakkan di kepalanya. Dia coba mencari tahu apa yang terjadi. Yang dia ingat adalah dia menyelamatkan Raza.

Entah kenapa Nuwan melakukannya. Dia mengambil resiko terlalu besar dengan membahayakan nyawanya sendiri. Jika sampai anak panahnya menembus ke jantungnya, bisa saja dia tidak akan selamat. Nuwan menghadang bahaya seperti itu jelas impulsif. Sepertinya peri kemanusiaan yang ada di dalam dirinya masih tergugah dengan begitu baik.

Suara langkah terburu-buru datang mendekat. Seseorang berlutut di lantai memandang wajahnya. Pandangan mereka bertemu dengan senyuman Nuwan terkembang. "Kakak, kau tampan."

Raza yang agak terpana segera sadar. Dia berdeham berusaha menyembunyikan keinginan tergelap hatinya. Melihat bagaimana keindahan wajah dalam balut kepolosan itu. Keluarganya jelas menyembunyikan kecantikannya dengan agak rapat.

Karena biasanya di negeri ini, jika ada bunga seindah ini, maka kabarnya akan tersebar sampai ke antero negeri. Dan banyak pemuda yang akan datang meminta meski belum dewasa, demi memuaskan keinginan untuk menunggunya tumbuh menjadi bunga mekar yang indah dan memetiknya dengan sukacita.

Tapi kecantikan Nuwan tidak pernah terdengar sekali pun. Seolah ada yang sengaja membuat kecantikan itu tidak terdengar. Kemungkinan besar adalah keluarganya. Sepertinya gadis ini memang hanya bermain ke tengah hutan dan bukan ke tempat di mana orang banyak ada.

"Jadi aku sungguh boleh memanggilmu kakak? Di mana pun dan kapan pun?"

"Panggil sesenangmu." Raza duduk di pinggir ranjang. Meraih obat yang memang berderet di meja. "Sudah waktunya mengganti perbanmu." Tangan pria itu sudah meraih kain pakaian Nuwan.

"Kakak, di mana pelayan wanita?"

"Kau tidak ingin aku melakukannya?"

"Rasanya tidak nyaman."

"Bukankah aku kakakmu? Kenapa? Kau hanya menganggap kakak di permukaan tapi tidak di dalam hatimu?" tanya pria itu dengan penuh nada selidik.

Nuwan cemberut. "Bukan seperti itu. Kalau kakak tidak keberatan, terima kasih." Nuwan meyingkirkan tangannya kemudian dan berusaha menyamankan diri saat merasakan pria itu meraih kain pakaiannya dengan mudah. Menyingkapnya dan sama sekali tidak terganggu dengan kulit putih mulus yang memiliki luka berlubang itu.

Melirik, Nuwan benar-benar bersumpah kalau pria yang sedang memberikan perhatian ini hatinya benar-benar terbuat dari batu. Untung saja dia tidak berusaha meraih hati sang pangeran ketiga. Melainkan coba membuat pria itu bersimpati dengannya. Menjadi adik pria ini bukan perkara sulit karena dia sepertinya tidak tegaan pada keluarga. Untung Nuwan menjadi adiknya.

"Kakak," panggil Nuwan pelan memejamkan mata. "Tanganmu hangat."

Tangan itu sejenak sempat berhenti. Kemudian melanjutkan lagi. "Benarkah?"

"Kau yang mengganti pakaianku juga?"

"Tidak. Pelayan melakukannya. Apa pertanyaan itu mengganggumu? Memikirkan kalau aku yang mengganti pakaianmu?"

"Tidak. Jika itu kakak tidak masalah."

Senyuman terbit di bibir Raza. "Senang mendengarnya. Lalu aku akan mengantarmu kembali setelah kau sembuh dengan lukamu. Dua hari ini kau harus bertahan bersamaku di sini."

"Aku tinggal dengan kakak?" tanya Nuwan, agak bersemangat.

"Senang?"

Nuwan membuka mata dan mengangguk. "Sangat senang. Terima kasih, Kakak."

Raza menepuk lembut kepala gadis itu. Kemudian mendiamkan tangannya di kepala itu. Raza sedikit menundukkan wajahnya. "Bagus kau senang. Tapi sekali lagi kau mengorbankan dirimu demi menyelamatkan aku, aku sendiri yang akan mengirimmu ke neraka. Mengerti?"

Bibir Nuwan terbuka, hendak bicara tapi tidak tahu harus mengatakan apa. Dia terlalu terpana pada perubahan sang jenderal perang ini. Tapi pria dengan hati sekeras batu seperti Raza mana mungkin akan berjoget bahagia karena diselamatkan. Pria ini jelas tidak suka berhutang, itu makanya dia tidak senang sama sekali Nuwan menghadang panah untuknya,

"Jawab aku. Nuwan mengerti."

"Nuwan akan berusaha tidak melakukannya lagi. Selama kakak tidak membenci Nuwan." Dan gadis itu kembali menatap ke depan dengan wajah sendu. Dia bahkan mendesah.

Beberapa saat dalam keheningan, Nuwan berusaha mengabaikan kalau Raza masih ada di ruangan itu bersamanya. Dia sibuk dengan pemikirannya sendiri. Apakah wanita itu akhirnya tahu kalau Nuwan tidak mencari Mora dan malah sibu bersama dengan pangeran ketiga di sini? Nuwan harap wanita itu tidak tahu. Dia lebih suka menghilang dari telingan wanita itu. Wanita itu tidak perlu mendengar kabar darinya. Karena itu tidak akan dia pedulikan juga.

Mora adalah sepupu yang di mana orangtua Mora meninggal dalam tragedi kebakaran yang mengenaskan. Dia bukan sepupu dekat, hanya sepupu jauh yang bahkan tinggal di negeri lain. Wanita itu membawanya pulang atas persetujuannya sendiri. Saat ayahnya tidak setuju, wanita itu membujuk bahkan tidak mau makan demi membuat ayahnya luluh.

Ayahnya yang tidak mau wanita itu menderita akhirnya setuju saja. Dan dimulaikan kehidupan di mana si sepupu diperlakukan layaknya anak kandung dan anak darahnya malah dibuat menderita. Selama Mora tidak senang maka Nuwan jangan harap bisa mendapatkan kebahagiaan. Apa pun yang diinginkan Mora maka dia harus dapatkan meski itu barang Nuwan sekali pun.

Dimanjakan dan dituruti semua keinginannya membuat Mora ngelunjak. Dia menjadi lebih banyak memberikan siksaan pada Nuwan dengan sengaja menginginkan semua barang Nuwan. Apa pun yang Nuwan suka, dia akan menyukainya. Bahkan hadiah ulang tahun yang dikirimn ayahnya, jika Mora menyukainya maka Nuwan harus merelakannya. Segalanya menjadi lebih menjemukan ketika wanita itu sama sekali tidak peduli. Apalagi jika Mora tidak mau memberikan maka dialah yang akan dihukum oleh wanita ningrat tersebut.

Mora menjatuhkan airmata. Tidak tahan mengingat masalalu. Tapi segalanya teringat ketika membayangkan kalau Raza pada akhirnya akan menjadi miliki Mora. Jika sampai dia membawa Raza pulang dan Mora menginginkannya menjadi kakaknya, apakah Nuwan akhirnya akan merelakannya?

Tiba-tiba saja gadis kuat penuh taktik di dalam dirinya menjadi gadis hancur berantakan hanya karena membayangkan sesuatu yang belum terjadi. Dia benci keadaan di mana dia harus terikat. Tapi sepertinya segalanya sudah terlalu terlambat untuk membencinya. Nuwan sudah masuk ke dalam ikatan rumit dengan Raza. Jalannya hanya maju, tidak ada mundur atau memutar arah.

"Apa aku membuatmu menangis? Yang aku katakan membuatmu sedih?" Raza menjengkuk wajah itu, mengusap airmatanya.

Nuwan menggeleng dan memasukkan kepalanya ke bantal. "Kakak, Nuwan ngantuk. Kakak bisa tinggalkan Nuwan sendiri?"

"Kau yakin tidak mau ditemani?"

Nuwan mengangguk cepat.

Raza mendesah. Hampir mengumpat karena gadis ini benar-benar mengganggunya. Dia kemudikan menaikkan selimut ke tubuh Nuwan dan berdiri lalu meninggalkannya.

Di pintu Vargas menghadangnya. "Yang Mulia."

"Tanda pengenalku sudah ditemukan?"

"Masih dicari."

"Temukan segera dan bunuh siapa pun yang memegangnya. Jangan beri ampun."

Nuwan yang mendengar membuka mata. Dia berdebar. Nuwan harap Loyta sudah membuang benda itu. Dia tidak mau kehilangan Loyta. Satu-satunya yang dia punya hanya Loyta.

***

Ready Ebook di playstore
Tamat di karyakarsa
Bisa beli pdf di aku

Sampai jumpa mingdep 😘

Menjerat Sang Pangeran (JUM)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang