10

89 32 2
                                    

Raza mengibaskan tangannya dengan santai dan kembali ke keretanya. Suara jeritan kesakitan dan teriakan terdengar kemudian. Gaduh suara itu tiba-tiba berhenti saat Vargas sudah menggerakkan tangannya tanda ekskusi harus dilakukan.

Masuk ke kereta, Raza menemukan Nuwan yang sedang duduk di bawah dengan menjadikan kursi sebagai bantalan kepalanya. Dia tampak memijat-mijat kepalanya sendiri pelan.

Raza menyentuh bahunya hendak membangunkannya. Tapi Nuwan segera menggerakkan bahunya tidak mau. Dia masih marah karena Raza mencurigainya.

Duduk di dekat kepala gadis itu, Raza hanya menatap sebentar wajah itu karena Nuwan segera memutar kepalanya membelakangi Raza dan tidak mau memandang pria itu sama sekali.

"Aku salah. Jangan marah."

"Kakak selalu berpikir aku orang yang akan melukaimu?"

"Mana mungkin. Itu tadi hanya tebakan salah. Aku memiliki banyak musuh, yang terab-terangan dan tersembunyi. Jadi aku harus beerhati-hati dalam setiap langkahku. Kau mengerti, kan?"

"Aku bukan musuh kakak. Aku akan melakukan apa pun untuk melindungimu. Meski dengan nyawa sekali pun."

"Hush, tidak boleh mengatakan seperti itu. Siapa pun yang akan membunuhmu, mereka harus melewati mayatku terlebih dahulu."

Nuwan mendengus saja masih betah kepalanya membelakangi Raza.

"Baiklah, untuk menebus rasa bersalah, aku akan mengabulkan permintaan Nuwan. Mau?"

Tidak ada tanggapan, si pemilik nama tidak tertarik.

"Apa pun yang Nuwan mau, aku akan mengabulkannya."

Nuwan mengangkat kepalanya. Menatap Raza. "Apa pun?"

Raza memiringkan kepalanya, memikirkan apa yang akan diminta gadis ini. Mungkinkah akhirnya dia akan menunjukkan ekor rubahnya? Raza menantikannya, "Apa pun."

Nuwan meraih tangan Raza. Menggenggamnya dan membuat pandangan Raza meletak pada bagaimana rasanya tangan mereka sangat pas saat sedang menyatu seperti ini. Seolah tangan itu tercipta untuk satu sama lain. "Kalau begitu, Kakak."

"Hm?"

"Maukah kakak menemui Nuwan nanti setelah Nuwan kembali ke kediaman Harmis."

"Menemuimu? Bagaimana?"

"Ada dinding yang tidak terlalu tinggi. Tangga diletakkan di belakang pohon besar di dekatnya. Kau bisa naik ke sana dan langsung sampai di sebelah kamar Nuwan. Ibu tidak tahu soal dinding itu, pelayan sengaja tidak mengatakannya karena mereka memakan uang yang diberikan untuk memperbaiki semua dinding. Jadi tangga itu dibiarkan begitu saja."

Raza hampir meledak tawa. Dia seorang pangeran. Pangeran yang disegani dan bahkan ditakuti. Disuruh menyelinap diam-diam ke rumah yang bahkan bisa dia masuki tanpa ada yang mempertanyakannya. Dia ternyata sudah sampai pada usia harus melakukan sesuatu yang tidak masuk akal seperti ini.

"Bisakah kakak lewat sana menemui Nuwan setiap bulan purnama tiba? Nuwan selalu melihat bulan sendirian. Pelayan pribadi Nuwan biasanya akan disuruh menjaga kamar Mora setiap malam. Jadi di kamar Nuwan selalu sendiri. Kesepian sudah menjadi teman. Tapi karena sekarang Nuwan punya kakak, harusnya Nuwan tidak lagi sendiri, kan? Kakak?"

Raza menyentuh kepala gadis itu. Dia menepuknya pelan. "Nuwan tidak akan sendiri lagi. Aku di sisi Nuwan."

Tersenyum bahagia, Nuwan akhirnya mengangguk. "Aku memaafkan kakak karena sudah berpikir buruk pada Nuwan."

Melihat hal kecil itu yang begitu membahagiakan Nuwan, Raza jadi ingin membiarkan gadis itu tinggal selamanya di sisinya.

Beberapa saat kemudian kereta kuda sudah sampai di depan kediaman Nuwan. Tidak ada penjaga di depan kediaman itu karena memang ada dua lapisan pintu, pintu pertama hanya akan membawamu masuk ke bagian gersang kediaman yang memang belum dibangun apa pun. Sementara gerbang kedua cukup jauh tempatnya.

Nuwan sudah berdiri dan segera bergerak keluar dari kereta kuda. Dia membuat Raza mengejarnya saat Nuwan malah berlari sendiri hendak pergi.

"Tunggu, mau ke mana?"

"Ke rumah. Nuwan sudah sampai, Kakak hati-hati di jalan."

"Kau tidak mengundang aku masuk?"

"Ibu mengatakan kalau Nuwan tidak boleh berhubungan dengan orang luar termasuk orang di istana. Karena kalau sesuatu terjadi pada mereka, Nuwan akan membawa bencana pada keluarga Harmis. Jadi bukannya Nuwan tidak mau mengundang kakak masuk bersama. Nuwan hanya tidak mau mereka menyalahkan Nuwan. Kakak mengerti, kan?"

Raza diam sejenak dan mengangguk kemudian.

Nuwan berjinjit dan mencium pipi Raza, hampir mengenai sudut bibirnya. "Terima kasih, Kakak. Nuwan sayang kakak." Nuwan berlari pergi kemudian. Tidak menatap lagi ke belakang.

Pintu kedua Nuwan melewatinya dengan dua penjaga yang terkejut melihat kedatangannya. Tidak ada satu pun dari mereka yang bicara pada Nuwan. Mereka hanya memandang dengan tebakan kalau kekacauan akan terjadi jika sampai putri pembawa bencana itu muncul.

Di dekat pintu kediaman sudah berdiri Loyta dengan tidak tenang. Saat melihat Nuwan, Loyta berhamburan memeluknya. Isak tangis terdengar dengan kencang. "Saya pikir anda tidak selamat. Saya pikir ...."

"Hentikan, nanti ada yang mendengarmu."

Loyta melepas pelukannya dan memandang Nuwan. "Anda sungguh baik-baik saja?"

Nuwan memutar dengan gaun indahnya. "Apa penampilanku tidak menyatakan kebenarannya?"

Loyta tahu kalau gaun dengan harga tinggi itu jelas tidak akan bisa dibeli oleh orang remeh. Pasti orang kaya yang membelinya dan pangeran ketiga lebih dari sanggup membeli untuk Nuwan.

"Anda hebat."

Nuwan menepuk dada dengan bangga. Tapi segera segala kebahagiaan terenggut darinya begitu pelayan setia ibunya datang dan meraih telinganya, menjewernya dengan keras dan menariknya pergi. Dia diseret ke halaman utama kediaman. Ditarik dan didorong sampai jatuh ke tanah kasar itu.

Nuwan menatap ke depan dan bertemu dengan si wanita ningrat yang merasa dunia adalah miliknya. Dia memandang remeh ke arah Nuwan, memperhatikan tanpa sedikit peduli apa gadis itu baik-baik saja atau tidak. Menemukan Nuwan kembali dengan kedua kakinya sendiri, si wanita ningrat jelas berpikir kalau anak kandungnya itu pergi bermain dan bukannya mencari sepupunya.

Tapi Nuwan sendiri melihat kalau Mora ada di sisi ibunya. Berdiri di sana dengan wajah mengejek penuh kemenangan. Nuwan sudah katakan kalau dia sama sekali tidak meninggalkan Mora. Mora yang meninggalkannya dan sengaja menghilang agar Nuwan kembali sendiri dan disalahkan.

Tapi bagaimana pun dia mengatakannya, mereka semua tidak akan ada yang percaya padanya.

"Bukannya menuruti perintah, kau malah pergi bermain? Kau anak gadis tapi kelakuanmu sungguh buruk."

"Bibi, Nuwan sepertinya membeli pakaian sendiri untuknya," ucap Mora memancing.

"Membeli? Bahkan dia tidak memiliki uang sepersen pun. Siapa yang membelikanmu? Kau menjual tubuhmu?" tanya wanita itu penuh kecurigaan.

"Tidak. Kakak membelikannya. Nuwan tidak menjual diri." Nuwan mulai menangis dengan kencang. Sengaja agar siapa pun yang memiliki telinga di luar sana mendengarnya. "Nuwan tidak menjual diri. Nuwan sungguh tidak menjual diri!"

***

Ready Ebook di playstore
Tamat di karyakarsa
Bisa beli pdf di aku

Sampai jumpa mingdep 😘

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 4 days ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Menjerat Sang Pangeran (JUM)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang