BAB 1 // Trauma

200 13 3
                                    

Rain melangkah keluar dari area pesta pernikahan sahabatnya dengan langkah yang pelan dan anggun. Meskipun sudah terbiasa dengan sepatu hak tinggi, ia tetap merasa kesal dengan lecet yang hampir pasti akan timbul.

Sebenarnya telah disiapkan villa bagi tamu undangan yang tidak segera pulang ke Jakarta, namun Rain tidak bisa. Ada tanggung jawab besar yang harus ia emban sebagai seorang pemimpin perusahaan Ganendra Meratu Logistik.

Di bawah bayang-bayang awan yang menggantung rendah, Rain menghitung perkiraan waktu kedatangan supirnya. Supir yang baru saja berangkat dari Jakarta itu diperkirakan akan sampai dalam satu jam setengah, itu pun dengan catatan jalanan tidak terlalu macet. Namun, Rain sadar betul bahwa pada jam pulang kantor seperti ini, kemacetan adalah hal yang hampir tidak terhindarkan. Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya.

Rain berjalan pelan menuju kursi taman terdekat dan duduk disana. Tangannya saling bertautan, matanya menatap sekeliling dengan gelisah. Suara gemericik air mancur seharusnya mampu menenangkan hatinya, namun kali ini tidak. Sesekali Rain akan mendongakkan kepalanya, menatap langit mendung dengan cemas.

Tiiinnn... Tiiinnn...

Rain terlonjak kaget, mendengar ada suara klakson yang nyaring dari arah belakang. Spontan menoleh, dan mendapati sebuah Bugatti Divo dengan kaca terbuka. Rain menatap tajam melihat si pengendara mobil mewah tersebut.

"Ngapain bengong disitu?" tanya Aidan yang sudah melongok keluar jendela mobilnya. "Nunggu di jemput?" tanya Aidan lagi.

"Bukan urusan lo!" jawab Rain dengan nada ketus.

Aidan, dengan gaya yang santai dan percaya diri, memarkirkan mobilnya di tepi jalan. Ia melangkah keluar, masih mengenakan setelan jas kasual putih yang membuatnya terlihat semakin elegan.

"Rain, sorry again for leaving you in the past," ucap Aidan sambil duduk di samping Rain, mata hitamnya menatap penuh rasa bersalah.

Rain menoleh, tatapannya dingin. "You play me," balasnya sinis. Tatapan tajamnya terfokus pada Aidan, bibirnya menggigit lembut seakan mencoba menahan badai emosi yang bergejolak di dalam hatinya. Keberadaan pria di sampingnya hanya menambah kegelisahan yang ia rasakan.

"Aku menyesal, Rain." Jarinya menggaruk alisnya, mengamati gadis yang duduk di disampingnya.

Mendadak, Rain bangkit dari duduknya. "Shit!" serunya, menatap langit yang mulai meneteskan gerimis.

"Rain, are you okay?" tanya Aidan saat melihat badan perempuan itu bergetar dan wajahnya panik. Gerimis yang jatuh pada tubuhnya bagai ancaman untuk Rain.

"Haruskah gue kasih jawaban? Just go away!" ucap Rain dengan nada tinggi. Suaranya penuh dengan kemarahan yang tertahan, tangannya gemetar saat ia mencoba menahan serangan paniknya.

"Ayo, aku akan mengantarmu pulang," Aidan menawarkan, berdiri dan mengulurkan tangannya.

Rain menatap tangan itu, terlihat ragu-ragu. Dalam pandangan matanya, ada keraguan dan sedikit rasa gengsi. Dia tidak lagi mempercayai iblis tampan itu. Namun, Aidan tidak menunggu lebih lama. Ia segera meraih satu tangan Rain, menggenggamnya erat, dan membawanya menuju mobilnya.

Rain tidak bisa menyembunyikan rasa kesalnya. Ia mendecak, melepaskan napas dengan berat, seolah-olah mencoba melepaskan beban yang menekan dadanya. Ketika akhirnya mereka sampai di mobil, Rain kembali berdecak kesal, dan menyandarkan dirinya di kursi mobil Aidan dengan pasrah, mencoba untuk memejamkan mata. Siapa tahu bisa tidur, dan tak melihat sosok disampingnya lebih lama. Namun, pikiran dan perasaannya terlalu kacau untuk memungkinkan kedamaian.

Setiap tetesan air yang jatuh dari langit mengingatkannya pada kenangan yang ingin ia lupakan, namun tidak pernah bisa ia hapus. Baru sepuluh menit mobil berjalan, hujan turun sangat deras. Rain menutup mata, jantungnya semakin berdebar, membuatnya sesak nafas.

Scent Of Love Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang