Rain mulai mengalihkan pandangannya dan menatap tajam pria disampingnya saat mobil Aidan memasuki pelataran apartment yang sempat disinggahinya saat menumpang dari Bandung. What a bastard. Mau apa Aidan membawanya ketempat sialan seperti ini?
"Mau apa kamu membawaku kemari, brengsek?" tanya Rain dengan nada suaranya yang lumayan tinggi.
Aidan menghela nafas, jengkel. "Aku hanya mengajak makan bersama. Aku tidak akan membuat lelucon atau menggodamu jika itu yang kamu khawatirkan."
Rain mendengus tak percaya dan membuang muka ke arah jendela. lagipula perempuan dewasa mana yang percaya dengan omongan pria seperti itu? Dia bukan lagi seorang gadis kecil yang mudah di goda dengan rayuan dan selalu mendengarkan setiap kata-katanya. Tidak ada yang bisa Aidan lakukan sekarang yang akan membuatnya berperilaku seperti kenangan remaja di masa lalu.
Aidan merasa mereka perlu bertemu dalam suasana yang lebih santai dan mengobrol lebih lama. Dia menatap mata perempuan itu. Memberinya senyuman kecil untuk meredam penolakannya. "Percayalah padaku, aku menyayangimu lebih dari yang kamu pikirkan, Rain."
Rain turun dari mobil lebih dulu, memandang basemant yang juga waktu itu. Melihat Buggati Divo milik Aidan terparkir di sana, Rain berpikir kalau ini adalah tempat parkir khusus. Aidan juga menyusul turun, Bibirnya melengkung dalam senyum manis, menangkap persetujuan tersirat dari Rain yang akhirnya mengikuti keinginannya.
Aidan mengulurkan tangan, berniat menggandeng Rain, namun ia segera ditahan oleh pandangan tajam perempuan itu. "Silakan jalan lebih dulu," ucap Rain, suaranya tegas.
Aidan mengangguk, menghargai penolakan Rain tanpa berkomentar lebih lanjut. Mereka mulai berjalan dan memasuki lift. Dengan satu gerakan, Aidan menekan tombol untuk lantai teratas. Rain hanya bisa memperhatikan dalam diam dan semakin membentangkan jarak. Dia menahan segala umpatan yang hampir meluncur dari bibirnya, sampai akhirnya lift berdering dan pintunya terbuka. Mereka melangkah keluar, dan Rain mendapati dirinya berada di lorong sebuah penthouse yang mewah.
"How dare you, Aidan?" suara Rain akhirnya keluar, penuh dengan kemarahan yang tertahan. Tanpa menunggu jawaban, dia segera berbalik dan melangkah cepat, berniat untuk kembali ke dalam lift.
"Aku hanya ingin memakan masakan buatanmu. Aku ingin kamu memasak untukku, Rain," ujar Aidan dengan tenang, sambil menahan lengan Rain agar perempuan itu tidak pergi. Tangannya yang kuat mencengkeram dengan lembut namun tegas, membuat Rain tersentak.
"Omong kosong!" cetus Rain sambil menatap Aidan datar.
Aidan hanya terkekeh geli, seolah menemukan hiburan dalam kemarahan gadis itu. "Terserah apa katamu, tapi aku tidak akan membiarkanmu pergi sebelum hutang budi yang kamu miliki terbayar lunas," desisnya, tatapan matanya menunjukkan bahwa dia tidak sedang bermain-main.
"Bastard, take your hands off..."
"Semua keputusan ada di tanganmu, Rain," tukas Aidan dengan tenang, menunjukkan bahwa dia memiliki kendali penuh atas situasi ini.
"Baiklah. Tapi jangan pernah mengharapkan apapun selain makanan. Aku pastikan orang-orangku akan merangsek masuk jika kamu berani melewati batas," peringat Rain sambil mendorong bahu Aidan, tapi pria itu terlalu kuat dan berkahir sia-sia.
Aidan tersenyum, senyum yang hangat dan tulus. "Terima kasih, Rain," katanya dengan lembut, kemudian melepaskan genggamannya.
Begitu mereka masuk kedalam penthouse milik pria itu, Rain tidak berminat untuk mengagumi kemewahan tempat tinggal Aidan, karena bahkan dari dirinya baru lahir di dunia ini, kemewahan selalu menyertainya. Perempuan itu segera berjalan lebih masuk, dan dengan bermodalkan instingnya, Rain sampai di dapur Aidan yang sangat luas dengan kitchen set berkilauan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Scent Of Love
RomanceDelapan tahun cukup mengubah banyak hal... Siapa yang tidak mengenal Rain Ganendra, perempuan angkuh tak tersentuh dengan kata-kata setajam belati? Seorang wanita yang selalu berada di puncak, menuntut penghormatan yang memang layak didapatkannya se...