Airlangga's POV
"Simpen senyum lo tuh. Gue gak butuh. Kasih gue report soal di kantor cepetan!"
Aku tahu apa yang ada di pikirannya si Krisna ini. Pasti dia ingin membullyku kan? Sial sih. Kalau nggak ada kecelakaan ini hidupku nggak akan dipermalukan begini. Aku nggak harus menggadaikan harga diriku dan membiarkan tubuhku ter-ekspose oleh matanya.
Terkapar di brankar, ga pake apa-apa dan-- pffh. Mati-matian gue nahan supaya dia juga ga bangun, karena gue cowok normal. Dideketin cewek, sulitlah buat tahan itu bentuk tetap dalam mode off.
Lagian, kenapa dia gak selimutin aku sih? Dipikir cowok gak punya rasa malu juga kah? Tapi aku terpaksa harus membiarkan diriku tanpa sehelaipun pakaian di hadapannya ketimbang di urus perawat yang bisa bikin aku makin malu dan gak bisa nyuruh pakai air bersih dan air mengalir bilasnya, sama seperti yang kuminta padanya.
Bukan hanya itu, aku juga harus tebal muka berpura-pura kalau aku nggak keberatan dia melihat tubuhku karena dia nggak akan jatuh cinta denganku. Padahal sebenarnya dalam hatiku nggak setenang itu. Risih aja rasanya harus membuka semua pakaianku dan udah gitu, dia ninggalin aku gitu aja ke kamar mandi bolak-balik, ditambah lagi dia komentarin tentang sesuatu yang lupa aku cukur.
Selama sebulan terakhir ini aku terlalu sibuk dengan pekerjaanku tidak sempat mengurus bagian yang cukup private itu. Lagian aku belum menikah dan tidak terlalu memikirkan soal itu. Aku nggak pernah nyangka kalau matanya akan melihat itu. Ditambah lagi dia komentarin tentang aku yang dipikir berhubungan dengan Krisna. Memalukan.
Makin ancur lagi, tante Calista main nyelonong masuk gitu aja. Untung bakat aktingku masih bagus dan dia nggak curiga kalau aku juga nervous saat itu.
Dan sekarang, si Krisna nggak tahu tempat malah ngetawain bukannya berempati lihat sahabatnya kesulitan, cih.
"Gue kasih senyum marah. Gue lirik dikit, marah. Gue sapa marah juga. Apa sih yang bener yang mesti gue lakuin yang bikin lo nggak marah sama gue Tristan?"
"Diem lo! Kepala gue udah pusing kayak gini jangan lo bikin masalah lagi lah."
"Bikin masalah gimana sih? yang dari kemarin bikin masalah tuh elo. Udah tahu kalau lo tuh enggak bisa konsentrasi tapi ngotot bawa mobil sama cewek. Udah jelas tuh cewek bisa bikin konsentrasi lo buyar pas nyetir. Ama gue aja yang pas ada di sebelah lo bisa bikin lo enggak konsen dan ngajakin gue ngobrol. Tapi untung gue masih punya otak buat ngasih tahu lo buat fokus ke jalan. Nah cewek itu mana ngerti? Jalan ama lo aja baru sekali ini. Dia nggak tahu lo punya penyakit kayak gini. Malah sekarang gara-gara lo jadi mati itu dua orang. Untung aja keluarganya masih ijo ngelihat duit. Kalau nggak masuk penjara lo! Dan untung aja bokapnya si Mirna punya backingan yang kuat sama media kalau nggak ke-expose udah. Abis lo."
Nggak salah juga sih kalau si Krisna marah kayak gini. Soalnya kejadian kemarin juga ngerepotin dia. Dan ini emang kesalahan fatal. Aku sadar kalau udah bikin kacau.
Masalah bawa mobil sendiri ini memang gak seharusnya aku lakuin. Aku tidak perlu mengambil resiko sebesar ini kalau hanya ingin bicara dengannya.
Tapi sebetulnya aku juga nggak tahu apa yang ingin aku bicarakan dengannya. Hanya saja seperti ada rasa bersalah dan ingin aja pergi sama dia kemarin setelah aku ngomelin dia di perusahaan.
Otakku sedikit nggak waras kayaknya, padahal wajar kan bos marah sama karyawan? Apa mungkin ini perasaan bersalah karena dia dapetin tender itu? Tapi duit tender itu juga nggak akan lari kemana-mana soalnya keuntungannya juga udah habis buat nyogok keluarga yang jadi korban kecelakaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Si Tomboi Mencari Cinta
RomanceMirna pusing bukan kepalang karena ulah bos galak yang selalu memberikan pekerjaan setumpuk dengan omelan extra pedas ala bon cabe setiap kali ada hasil kerjanya yang tak sesuai dengan selera si bos. Andaikan tak ingat urusan magang dan skripsi, Mir...