Holaa, aku up. Makasih banget buat vote sama komen2nya di chapter2 sebelumnya. Ih seruu bangett, aku mau lagii!! Salting banget bacanya demi apaa. Makasih banyak yaa. Kali ini belum ada flashback chat jadi kalian bisa langsung baca. Thx.
Enjoyy, muach!
Chapter 8 [Keseleo]
Karin membalik tubuhnya namun belum beberapa langkah, pekikan terdengar bersamaan dengan bunyi barang-barang berjatuhan. Aksara bangkit dengan cepat, mengitari bagian samping meja untuk kemudian berjongkok di depan wanita yang tergeletak di atas marmer putih.
"Ceroboh banget, sih." Aksara berdecak khawatir. Wajah Karin terlihat meringis menahan sakit. Pria itu menyentuh bagian pergelangan Kaki gadis itu lembut, namun ternyata membuat Karin merintih kesakitan sambil memukuli lengannya.
"Kamu bisa pelan enggak?!" Sergah Karin membuat Aksara menelan saliva.
"Aku pelan-pelan kok." Aksara membela diri, mencoba fokus pada situasi ini saat dengan tidak tahu malunya kepalanya memikirkan adegan lain.
Karin merengek. "Sakit ini, ih!"
"Iya, tahan bentar ya. Aku cek makanya bentar kakinya." Aksara mulai menyentuh lagi dengan lembut pergelangan kaki Karin, namun kali ini bahunya di cubit kencang sehingga Aksara mengerang kesakitan.
"Aksa sakit banget, udah! jangan di pegang-pegang lagi." Sial. Aksara merasa seperti pria mesum sekarang.
"Berdiri bisa? aku bantu ya? Ke sofa itu aja." Aksara menunjuk dengan dagu ke sofa berbentuk seperti ruang tamu di ruangannya.
Karin tidak menjawab, sehingga Aksara berinisiatif meletakkan tangan di bawah ketiaknya dan sebelah lagi di pinggangnya. Membantu Karin berdiri dengan perlahan. Baru sedikit saja pergelangan kaki itu bergerak, Aksara merasakan rambutnya di jambak–sehingga pria itu mengaduh kesakitan, menambah kegaduhan.
"Akk! Karin, lepas dulu sa–" Aksara menggigit lidahnya. Dia mengumpat lirih, berusaha kembali menormalkan degupan dalam dadanya. "Lepas dulu rambut aku, ya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
In Love With the Pain
Любовные романыBagi Aksara, Karin adalah dunianya. Karin adalah alasan dia ingin bangun pagi tepat waktu hanya agar bisa menjemput gadis itu terlebih dahulu. Karin adalah alasan dia belajar menuliskan puisi-puisi romantis hanya demi bisa melihat wanita itu membaca...