Menghembuskan satu helaan nafas panjang, Mark dengan balutan kemeja hitam yang lengannya digulung hingga batas siku itu memilih untuk menyandarkan punggungnya sebelum kembali melirik ke arah ponsel yang masih menyala di atas meja menampilkan percakapan singkatnya bersama sang kekasih beberapa menit yang lalu.
Kepalanya menoleh ke arah samping melihat Karina yang tertidur pulas dengan tangan ditekuk di atas meja.Mark memandangi wajah damai Karina ketika tertidur.Hatinya merasa iba ketika melihat mata indah itu menjadi sembab akibat menangis.Kejadian siang tadi kembali berputar di pikiran Mark, dia sungguh tidak menyangka Karina menyimpan kesedihannya seorang diri.
Siang tadi saat Karina meminta tolong Mark menjemputnya untuk belajar bersama, Mark malah dikejutkan dengan Karina yang tengah bersimpuh di kedua kaki Ayahnya sambil menangis.Ayahnya bahkan tidak memperdulikan putrinya dan malah mendorong Karina hingga menabrak meja ruang tamu.Mark yang melihatnya langsung menolong Karina dan mencoba membela namun, Ayah Karina pergi dengan wajah memerah tanpa mengatakan suatu kata apapun.Setelah itu Mark membawa Karina ke apartemennya.
Setelah sampai di Apartemen Mark langsung menenangkan Karina dan mencobaa menanyakan apa yang tejadi.Butuh waktu lama membujuk Karina karena cewek itu memilih bungkam.Hingga akhirnyaa Karina bercerita bahwa selama ini dia hidup di bawah tekanan sang Ayah.Karina dituntut untuk berprestasi di sekolahnya.Nilai harian, ulangan ataupun ujian semuanya harus tinggi.Jika Karina gagal, dia tidak diperbolehkan makan dan di diami Ayahnya.Karina juga bercerita bahwa dia dipaksa Les Biola dan Modeling seperti mendiang Ibunya.
Mark bisa merasakan apa yang Karina alami karena dia juga pernah diposisi itu, namun bedanya Mark bisa keluar dan bebas dari Ayah dan Ibunya sehingga dia sekarang hidup di Apartemen seorang diri.Tapi Karina masih terbelenggu.
"Mark?"
Mark tersentak kaget.
"Hm, kau sudah bangun?"
"Jam berapa sekarang?" tanya Karina dengan suara seraknya.
"Sembilan malam"
"a-APA?" Karina menegakkan tubuhnya lalu mengecek ponselnya.Banyak panggilan masuk dari para kaki tangan Ayahnya.Oke, matilah kau Karina.
"Ada apa? Kenapa wajahmu khawatir sekali?" tanya Mark.
"B-bagaimana aku tidak khawatir Mark, aku sedang dicari oleh Ayah dan aku tidak tahu apa yang terjadi jika aku pulang nanti" Karina menundukan kepalanya dan kembali menangis.
"Sudah jangan menangis, Ayahmu pasti khawatir apalagi kau seorang perempuan yang malam-malam seperti tidak di rumah, tenanglah Ayahmu hanya khawatir" Mark mencoba menenangkan.
"Ayahku tidak pernah mengkhawatirkanku Mark, bahkan ketika aku mati pun aku tak yakin dia akan merawat jenazahku"
"Kau ini bilang apa ha? Tidak mungkin seorang Ayah tidak menyayangi putrinya Rin" kata Mark tegas.
"Tapi Ayahku berubah semenjak Ibu tiada, dia selalu melampiaskan apapun kepadaku, tidakkah dia berfikir aku butuh pelukannya bukan tamparannya Mark" tangisan Karina semakin menjadi.
Mark menggeser tubuhnya mendekati Karina.Memeluk tubuh ramping itu dan memberi usapan lembut.
"Sudah Rin, aku mengerti keadaanmu tapi dengarkan aku ya? Jangan membenci Ayahmu karena bagaimanapun dia telah berbuat banyak untuk hidupmu, hidup tanpa orangtua itu sangat menyakitkan Rin"
Karina melepaskan pelukan Mark dan memandang Mark dengan raut serius.
"Lebih menyakitkan hidup bersama orangtua tapi kehilangan peran orangtua Mark"
Mark tersenyum kecut, Karina benar.
"Menginaplah disini semalam, aku tahu kau sangat takut jika pulang malam ini" kata Mark sambil membereskan buku-bukunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
In The Back
FanfictionYang awalnya terlihat baik-baik saja justru sering membawa mala petaka.