Bab 13 Bayang-Bayang Luka

1 0 0
                                    

Ji Yoon terbaring lemah di atas ranjangnya, seluruh tubuhnya terasa sakit. Saat kesadarannya kembali, dia mulai menyadari bahwa dirinya berada di kamar yang familiar, kamarnya sendiri. Bau antiseptik dan linen bersih menyergap indra penciumannya, menandakan bahwa lukanya telah dirawat dengan baik.

Pandangan Ji Yoon perlahan-lahan fokus pada langit-langit kamarnya yang dicat putih. Ia mencoba menggerakkan tubuhnya, namun rasa sakit di dadanya masih terlalu menyiksa. Dengan napas tersengal-sengal, dia mencoba mengingat kejadian terakhir. Peluru yang menghantam tubuhnya, Min Jae yang berteriak panik, dan Do Hyun yang menembakkan senjata untuk melindungi mereka. Semua kejadian itu masih berputar-putar di pikirannya.

Pintu kamar terbuka perlahan, dan suara langkah kaki terdengar mendekat. Ji Yoon memutar kepalanya dengan susah payah, matanya yang masih lemah berusaha menangkap siapa yang masuk. Wajah yang muncul di ambang pintu membuat jantungnya berdegup lebih cepat—Appa.

Wajah Appa, yang selama ini dipanggil dengan panggilan penuh kasih oleh mereka bertiga, tampak gelap. Matanya yang tajam menatap langsung ke Ji Yoon, bibirnya terkatup rapat seakan menahan kemarahan yang siap meledak. Ji Yoon tahu betul apa yang akan terjadi.

Dia tidak bergerak, tidak berkata apa-apa. Dia telah terbiasa dengan ini sejak kecil. Setiap kali dia gagal, setiap kali dia terluka atau melakukan sesuatu yang membuat 'keluarga' mereka dalam bahaya, inilah yang selalu terjadi. Appa akan datang, dan hukuman akan jatuh.

"Kenapa kau selalu membuat masalah, Ji Yoon?" Suara Appa rendah, namun sarat dengan ancaman. “Misi ini gagal, dan kau hampir mati. Kau tahu berapa besar taruhannya, dan kau hampir menghancurkan segalanya.”

Ji Yoon menundukkan kepalanya, menahan rasa sakit yang sudah ia kenal sejak kecil. Tubuhnya yang sudah penuh luka kini harus bersiap menerima lebih banyak. Tangan Appa yang besar dan kuat terangkat, dan tanpa ampun, dia mulai memukuli Ji Yoon dengan keras.

Pukulan itu menghantam dadanya, bahunya, wajahnya. Meskipun luka-lukanya masih belum sembuh, Ji Yoon menolak untuk mengeluarkan suara kesakitan. Dia sudah terlalu terbiasa dengan ini, dan air matanya sudah habis bertahun-tahun yang lalu. Tidak ada gunanya melawan.

Ini adalah caranya bertahan hidup.

Namun, apa yang tidak diketahui Do Hyun dan Min Jae, adalah sisi kejam dari Appa yang mereka anggap sebagai pelindung. Bagi mereka, Appa adalah figur ayah yang selalu memberi bimbingan dan menciptakan kehidupan bagi mereka. Tapi untuk Ji Yoon, Appa adalah lebih dari itu. Dia adalah pengendali utama hidupnya, sumber rasa sakitnya, dan juga kekuatannya.

Setelah beberapa pukulan, Appa berhenti, menarik napas dalam-dalam. Dia mengamati Ji Yoon yang terbaring lemas di ranjangnya, darah mengalir dari sudut bibirnya, namun matanya tetap dingin, tidak menunjukkan sedikit pun emosi.

“Kau seharusnya berterima kasih,” ujar Appa dengan nada menghina. “Karena aku masih menganggapmu berguna. Kalau tidak, mungkin aku sudah membuangmu sejak dulu.”

Ji Yoon tidak merespons, hanya menatap lurus ke depan. Kata-kata itu sudah sering dia dengar. Dia tahu bahwa dia hanya alat bagi Appa. Dan semakin dia menunjukkan ketangguhan, semakin kejam perlakuan yang dia terima.

Appa berbalik, berjalan keluar dari kamar dengan langkah yang tenang, meninggalkan Ji Yoon terbaring sendirian. Suara pintu yang menutup terdengar keras di dalam keheningan kamar.

Ketika akhirnya dia yakin Appa sudah benar-benar pergi, Ji Yoon memejamkan matanya sejenak, mencoba menenangkan diri. Rasa sakit yang baru, ditambah dengan luka lamanya, membuat tubuhnya terasa seperti dihancurkan dari dalam. Tapi dia tahu bahwa ini bukan saatnya untuk meratapi nasib.

Tak berapa lama, pintu kamar kembali terbuka, kali ini lebih perlahan. Min Jae dan Do Hyun masuk hampir bersamaan. Ekspresi cemas terlihat di wajah mereka berdua. Mereka bergegas mendekati tempat tidur Ji Yoon.

“Ji Yoon, kau sudah sadar,” suara Min Jae terdengar penuh rasa lega. Dia mendekat, duduk di samping tempat tidur Ji Yoon dan memegang tangannya dengan lembut. “Kami khawatir sekali. Lukamu parah sekali…”

Do Hyun berdiri sedikit lebih jauh, tapi tatapannya tak kalah intens. “Kau hampir mati, Ji Yoon. Kau tidak seharusnya mengambil risiko itu,” katanya dingin, meskipun ada rasa khawatir yang jelas di balik nadanya.

Ji Yoon menatap mereka berdua dengan tatapan tenang, menutupi segala rasa sakit dan trauma yang baru saja dia alami dari Appa. “Aku baik-baik saja. Kalian tidak perlu cemas.”

Min Jae menggeleng, masih memegang tangannya erat. “Aku tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi kalau kau tidak menyelamatkanku. Aku berhutang nyawa padamu, Ji Yoon.”

Sementara itu, Do Hyun memandang Ji Yoon dengan tatapan tajam. “Kenapa kau selalu mempertaruhkan nyawamu? Apa kau tidak peduli dengan dirimu sendiri?”

Ji Yoon tersenyum tipis, meskipun rasa sakit di tubuhnya masih terasa sangat kuat. “Aku melakukan apa yang harus aku lakukan.”

Keduanya diam, tidak tahu apa yang sebenarnya baru saja terjadi antara Ji Yoon dan Appa. Mereka tidak tahu luka batin yang lebih dalam yang diderita Ji Yoon, sesuatu yang tidak pernah ia tunjukkan pada siapapun. Baginya, kekerasan fisik hanyalah cara lain untuk bertahan hidup, sesuatu yang sudah dia terima sejak kecil.

Tapi bagi Do Hyun dan Min Jae, keteguhan dan ketangguhan Ji Yoon selalu menjadi daya tarik yang memikat mereka lebih dalam, tanpa mereka sadari bahwa di balik semua itu, ada jiwa yang terbelah antara keinginan untuk bertahan dan kehancuran yang terus menghantuinya.

Makan malam pun tiba, Appa, Ji Yoon, Do Hyun dan Min Jae makan bersama di meja makan seperti biasanya. Ji Yoon memberikan ekspresi datar seperti tidak terjadi apa-apa.

"Ji Yoon, dari mana luka mu itu?" tanya Min Jae membuat Appa menghentikan aktifitas makannya.

"Luka?" Ji Yoon memegang bibirnya, "Ini yang kau maksud?" tanya balik Ji Yoon dan Minjae menganggukkan kepala memgisyaratkan iya.

Sedangkan Ji Yoon melirik Appa yang sedang melanjutkan makannya, "Bukankah mendapatkannya dari aksi kemarin?" tanyanya kembali pada Min Jae.

"Aku rasa tidak, aku sangat yakin tidak ada luka di wajahmu," yakinnya sambil memandangi wajah Ji Yoon.

"Jika bukan dari misi kemarin, lalu dari mana aku mendapatkannya?" kata Jin Yoon, namun matanya melirik pada Appa seperti mengintrogasi, "Haha, sudah, Jangan bercanda, ayo lanjutkan saja makannya."

"Tapi aku yakin, tidak ada kemarin, benarkan Do Hyun?"

"Entahlah." jawab Do Hyn singkat namun matanya melirik luka pada bibir Ji Yoon dan mengingat-ingat kembali kejadian malam itu.

Hari-hari berikutnya, Ji Yoon akan terus berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja. Dia akan terus memanipulasi perasaan Min Jae dan Do Hyun, memainkan permainan berbahaya di mana cinta, kesetiaan, dan kekejaman berbaur menjadi satu. Tapi di balik semua itu, dia tahu bahwa selama Appa masih ada, hidupnya tidak akan pernah benar-benar menjadi miliknya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 2 days ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Echoes of ManipulationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang