Janji Bersamanya

6 0 0
                                    

“Bagaimana pak? Semuanya sudah saya jelaskan. Saya sangat berharap kita bisa menjadi rekan kerja yang baik” kata Patih kepada seorang bapak yang menjadi client pentingnya. Namanya Pak Den. Dia memiliki koneksi kerjasama besar keluar negeri. Patih sangat memanfaatkan kesempatan itu untuk menarik Pak Den bergabung dengan perusahaannya.

“Penawaran yang sangat menarik. Saya menerima kerjasamanya” jawab Pak Den sambil menyodorkan tangannya sebagai tanda jadi. Dengan senang hati Patih meraih tangannya kembali. “Terima kasih” tutup Patih.

Pak Den lalu berdiri dan mengancing jasnya. “Saya permisi dulu. Lain kali kita diskusi lebih lanjut” ajak Pak Den.

“Berkas-berkasnya akan menyusul dan diurus oleh anak buah saya. Senang bertemu dengan anda” ungkap Patih sekali lagi. 

Pak Den berjalan ke luar dan berlalu dari pandangan Patih. Setelah selesai, Patih memanggil asistennya. 

“Halo” ucap Patih duluan. “Halo bos, bagaimana pertemuannya?” tanya asistennya yang bernama Bobi.

“Siapa yang menyuruhku untuk bertemu dengan Pak Den?” tanya Patih dengan muka kesal. “Maaf, bos. Tuan besar yang menyuruh saya. Dia sedang ada kegiatan ke Prancis” mohon Bobi. 

“Jangan pernah menghubungiku lagi. Tadi aku berangkat dari Lombok sampai Bali dalam waktu dua jam. Kamu memang gila!” hardik Patih kepada Bobi. 

Bobi menanggapinya dengan menjulurkan lidah tanda tidak terima disalahkan. Hal itu sudah biasa ia hadapi sebagai asisten pribadinya. Bobi sudah bekerja dengannya selama puluhan tahun, tentunya ia lebih tau keseharian dan karakter luar dalam bosnya itu. Paling Patih akan murka dalam satu dua hari ke depan, habis itu Patih akan menelepon untuk mengurus keuangannya atau sekadar untuk memesan tiket kapal.

***

Patih menutup teleponnya dan membuangnya ke tempat duduk bagian belakang. Ia kali ini benar-benar marah dan tidak mau diganggu oleh siapapun. Dia pikir dengan menepi ke Pulau kecil, mereka tidak akan bisa membuat perintah seenaknya lagi. Akan tetapi, dugaan Patih salah. 

Sampai kapan orang tuanya akan melakukan hal itu? Patih tidak bisa menikmati liburan dengan tenang karena pekerjaan goblok yang tidak pernah ia sukai dari dulu. Mereka kembali berulah sekarang, bayangkan saja ia harus menempuh perjalanan dari Lombok ke Bali dalam waktu dua jam. Belum mencari kapal dan transportasi darat lainnya. 

“Brengsekkk!!!” makinya sambil memukul bagian setir mobil.

Patih mengingat Putri Mandalika yang ia tinggalkan tanpa berpamitan. Dia menginjak pedal gas untuk melajukan mobilnya. 

“Semoga dia masih ada di sana, Tuhan” harapnya selama di perjalanan. Setelah turun kapal, Patih memeriksa semua ruangan yang ada di villa. Patih juga memeriksa kafe tempat ia meninggalkan Putri Mandalika. Nihil, ia tidak menemukan jejak Putri Mandalika.

Patih menyusuri sepanjang jalan di pulau itu, kali saja dia berjalan di sekitarnya. Ia melakukannya sampai tengah malam, tapi Putri Mandalika seperti ditelan bumi. Sekali lagi ia kehilangan Putri Mandalika karena keteledorannya sendiri. Ia sangat menyesal dan menyalahkan diri. Selama perjalanan pulang ke villa, Patih mengingat tempat-tempat yang kemungkinan dikunjungi oleh Putri Mandalika. 

Pantai tempat ia bertemu dengan Putri Mandalika pertama kali, Patih yakin kalau Putri akan kembali kesana. Malam itu juga ia mencari kapal dengan bayaran mahal. Setelah sampai di daratan, Patih mencari transportasi darat dan langsung pergi ke Pantai Kaliantan. Patih melihat sekitar pantai, ia merasakan kehadiran Putri Mandalika disana. Akan tetapi, ia tidak tau pasti tepatnya putri sedang berada. 

“Putri Mandalika” teriak Patih sambil berlari melihat sekitar pantai dan laut. Berkali-kali ia memanggil Putri Mandalika, sampai akhirnya ia menyerah bersimpuh di tengah-tengah pantai. “Putri Mandalika, maafkan aku!” teriaknya yang terakhir kali dengan muka pasrah. Putri Mandalika tiba-tiba datang dari sampingnya dan berjalan menghampirinya. “Kamu mencariku?” tanya Putri. 

Putri Mandalika Versi Gue!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang