6. Spent time together

400 13 0
                                    

Jangan lupa vote dan bantu share

...


Dimas mengajak Anindya untuk pergi bersama diakhir pekan. Anindya yang semula ragu langsung saja mengiyakan saat Daren mengajaknya untuk pergi ke pantai. Dia sudah sangat lama tidak menikmati waktu santai dipinggir pantai. Dan akhir pekan yang mereka tunggu akhirnya datang. Mereka sudah sampai di pantai yang mereka tuju pada pukul tiga sore. 

Anindya pergi mengenakan dress tanpa lengan berwarna putih dengan cardigan berwarna light blue. Dimas juga demikian, dia mengenakan pakaian santainya dengan atasan berwarna putih dan tak lupa kacamata hitam yang sudah dia kenakan sejak menyetir tadi. 

Setelah sampai ditepian pantai dan menyewa sebuah tempat duduk. Anindya bergegas mengoleskan sunblok supaya kulitnya tidak terbakar matahari yang sangat masih sangat terik. Anindya susah payah untuk mengoleskannya dipunggung, namun tidak terlihat begitu kesusahan. Dimas bangkit membantunya. 

"Sini, saya bantu." Anindya tampak ragu. Namun Dimas dengan segera merampas sunblock yang masih ditangan Anindya. Dimas menyingkap cardigan yang Anindya kenakan, memperlihatkan punggung kecil Anindya. 

Dimas menuangkan sunblock tersebut ke tangannya. Mulai mengoleskannya dipunggung Anindya. Anindya merasakan tangan halus Dimas mengenai kulitnya dan mulai turun hampir menyentuh kaitan bra yang dia kenakan. 

"Pak, stop." Dimas yang mendengarnya langsung saja menghentikan aksinya. Dia memang tidak ada maksud lain, namun setelah melihat punggung kecil Anindya, dia sedikit berani dengan mengoleskan sunblock tersebut hingga sedikit turun kebawah. "Terima kasih, pak." Anindya kembali menurunkan cardigan yang dia kenakan. 

Dimas tersenyum melihat Anindya yang terlihat canggung karena ulahnya tadi, Anindya meninggalkannya dan sudah bermain dipinggir pantai. Dimas menyusulnya dan memotret tingkah Anindya dengan ponselnya. 

...

Hari sudah mulai gelap dan garis merah digaris pantai semakin terlihat. Dimas dan Anindya menikmati waktu-waktu tenggelamnya matahari dengan duduk bersantai menikmati makanan yang mereka pesan. 

"Pak Dimas tuh aslinya orang mana, sih?" Tanya Anindya yang sedikit terlihat penasaran. 

"Saya asli sini," jawab Dimas.

"Lah? Kenapa nggak tinggal sama orang tua?" 

"Ada satu hal lainnya yang membuat saya memilih untuk tinggal terpisah." Dimas tidak mengatakan alasannya kepada Anindya karena menganggap hal tersebut tidak layak untuk dia ceritakan dan bagikan. Anindya hanya mengangguk setelah mendapatkan jawaban atas pertanyaannya. Dia juga menyadari bahwa Dimas tidak nyaman dengan pertanyaan mengenai keluarga. "Kalau kamu bagaimana?" Tanya Dimas balik. 

"Bagaimana, ya. Saya yatim piatu, ayah angkat dan ibu sudah meninggal. Setelah itu tinggal berdua sama kakak. Sampai akhirnya rumah satu-satunya peninggalan orang tua kami harus dijual. Dan berakhir kakak mengumpulkan uang untuk membeli rumah didekat tempat kerjanya."

Dimas mengangguk pelan mendengarkan bagaimana perjalanan hidup Anindya.  Dimas tidak menyangka bahwa mahasiswanya satu ini telah melewati banyak kehilangan dalam hidup. Bagaimana bisa orang sekecil dan sepolos Anindya dapat menceritakan kisah hidupnya tanpa beban. Seolah kehilangan orang terkasih dalam hidupnya bukanlah suatu hal yang berat. 

"Semisal sudah bekerja, saya tidak akan tinggal bersama karena saya selalu berdoa bahwa kakak akan segera mendapatkan pasangan. Dan hidup bahagia, tanpa harus memikirkan saya." Anindya menoleh kearah Dimas yang ternyata menatap intens padanya. Anindya tersenyum setelah menceritakan mimpi sederhananya. 

"Selain itu?" Tanya Dimas penasaran dengan jalan hidup Anindya.

"Hmmmm, rahasia, pak, hehe." Sejujurnya, Anindya tidak memiliki pandangan spesifik tentang apa yang akan dia lakukan kedepan. Dia hanya ingin bekerja dan menyukupi kehidupannya sendiri tanpa menyulitkan kakaknya lagi. Karena Ricky sudah banyak membantunya. Karena Ricky sudah menjadi kakak yang selalu bisa dia andalkan. "Kalau bapak?" 

"Saya hanya mau bahagia dengan pilihan saya sendiri."

"Misalnya?" 

"Pekerjaan, tempat tinggal dan mungkin pasangan. Saya hanya ingin melakukan sesuatu yang membuat saya bahagia tanpa khawatir mengenai hal-hal kecil." 

"Tipe ideal bapak yang seperti apa memang? Anak kampus tuh sering bicarain bapak tahu. Mulai dari..." Anindya mulai membocorkan informasi. Dimas tertawa mendengar berbagai gosip tentang dirinya yang masih melajang diusia yang sudah matang. Dari deretan nama dosen yang mengajar di fakultas Anindya, hanya Dimas-lah satu-satunya dosen muda yang masih setia dengan kesendiriannya. 

"Ada-ada saja. Urusan ingin punya berapa anak saya serahkan kepada istri saya nanti, tidak lupa sama Tuhan juga." Dimas memandang langit yang sudah gelap. Angin semakin kencang hingga suara ombak terasa begitu besar. "Saya hanya ingin keluarga kecil saya bahagia," tutup Dimas tanpa menjawab pertanyaan utama yang Anindya berikan. 

Anindya menganggukkan kepalanya setelah mendengar jawaban Dimas sembari terus menatap kearah pantai yang sudah gelap.

Dimas menoleh mengamati Anindya. Dia mengaku tidak memiliki tipe ideal mengenai perempuan yang kelak akan menjadi pendampingnya. Namun, dia tidak ingin berbohong bahwa hanya terlintas bayangan Anindya saat pertanyaan itu muncul. 

Hal baik yang Anindya lakukan, selalu mengingatkannya dengan sebuah kehangatan keluarga. 

...

Dipenghujung hari hingga keduanya sampai di apartemen, Dimas masih terus memikirkan pertanyaan Anindya. Tentang mimpinya. 

Namun, pertanyaan tentang mimpi itu kembali menghadirkan mimpi buruk yang selama ini dia benci. Mimpi tentang seorang ayah yang begitu kejam dan kasar. Mimpi tentang keluarga yang mungkin tidak akan cocok disebut sebagai keluarga. 

Mistake or Luck (21)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang