.
.
.
Kata orang - orang, lelaki sejati tak boleh menangis. Kata - kata itu tidak terpengaruh ke Ice. Sudah seminggu Ice meringkuk di ranjang. Selama itu juga, Blaze selalu bilang bahwa Ice sedang sakit apabila ada yang menanyakan kabarnya. Kadang Blaze juga mendengar suara sesegukan dari arah ranjang Ice. Blaze merasa heran, kenapa Ice sebegitu sedih hanya karena ditolak ekskul?
Jatah makan pagi dan malam, Ice tak pernah menghabiskannya lagi. Dia akan menunggu Blaze keluar kamar dulu, baru dia makan. Tau - tau makanan tersebut masih tersisa banyak, disuruh habiskan juga tidak mau. Untungnya masih dimakan sih. Blaze sungguh tak mengerti akan teman sekamarnya. Ice tetap mandi kok, tapi setelah itu kembali ke habitatnya lagi. Hp Ice tak dipegang selama seminggu, puluhan notif masuk setiap harinya.
Ice benar - benar tak bertenaga, seperti jiwa dalam tubuhnya kosong.
"Kamu mau sampai kapan kayak gini, Ice?" Blaze tentu saja mengkhawatirkan Ice, Blaze menebak bahwa mata Ice sedang sembab dan memerah. Tapi tak tau, seminggu lamanya Blaze tak melihat wajah Ice. Sekalinya ingin melihat, Ice cepat - cepat menutupi wajahnya.
Ia tak berbicara, membisu begitu saja. Blaze bingung, harus mencari pertolongan siapa? Kedua temannya? Tak mungkin juga. Otaknya terpikirkan mengenai Elena. Dia orang yang lumayan dekat dengan Ice, siapa tau Elena boleh dipercaya.
Memang asrama lelaki dibuat agak berjauhan dari asrama perempuan, supaya kedua adam hawa tersebut bisa menjaga batasan. Tepat ini jam 8 malam, Blaze menggedor - gedor kamar Elena. Untungnya, kamar Elena berada tepat di nomor 1.
"Ya...?" Elena nampak memelas, sepertinya ia baru saja terbangun dari tidurnya. Jam tidur Elena memang berantakan karena padatnya jadwal sebagai OSIS.
"Kak, aku butuh bantuan kakak." Blaze kali ini memakai tatapan serius, Elena juga bisa tau bahwa ini benar - benar darurat. "Ice kak."
─
Elena masuk ke dalam ruang gelap di depannya. Blaze mengira Ice akan menyalakan lampu apabila ia mematikannya, nyatanya prediksi itu salah. Ice agak takut dalam kegelapan, makanya ia kadang menyalakan lampu apabila sedang takut. Malahan kalau tidur terus lampu mati, Ice harus mepet dulu sama tembok. Elena mengucapkan salam sesuai ajaran agamanya, ia masuk perlahan dan tak lupa menyalakan lampu. Ice masih saja di atas ranjang dengan posisi tak berubah.
"Ice..." Suara lembut Elena tak di gubris oleh insan di sana. Elena naik ke atas tangga dan melihat Ice, sebegitu galau nya Ice karena ditolak OSIS? Padalah Ice keterima di journalis. "Kamu mau cerita sesuatu?"
Elena menawarkan dirinya sendiri untuk menjadi sosok sandaran Ice. Elena siap memikul masalah Ice untuk saat ini, meski seberat gunung everest sekalipun. Ice akhirnya siap untuk bercerita semua kepada Elena, ia duduk bersila di atas ranjangnya. Kenapa ia bisa luluh kepada Elena? Karena wajah Elena yang selalu terlihat tenang. Kalau zaman sekarang, sih, dipanggilnya green flag.
KAMU SEDANG MEMBACA
Beranjak Dewasa
Teen FictionComplete [✅] (NOT BL) Hidup di dunia dengan dikelilingi oleh manusia - manusia beragam sifatnya, kita sendiri yang harus beradaptasi dengan sekitar. Beranjak Dewasa, dimana setiap manusia pasti tumbuh dan berkembang menjadi benar - benar seseorang...