𝘾𝙝𝙖𝙥 9 :: Bersama Selama, Lama, Lama, Lamanya

108 16 18
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

.

.

.

Sudah seminggu Blaze masih terbaring tak berdaya di ranjang rumah sakit, Ice setia menunggu kembalinya kesadaran Blaze. Tak lupa, Ice selalu menggerakan tubuh Blaze agar otot - otot nya tak lemah. Setelahnya, Ice pun duduk di samping ranjang Ice sembari mengelus tangan kasar Blaze, melantunkan do'a dengan indah untuk kesembuhan Blaze.

Teriakan. Bentakan. Barang dilempar ke lantai. Itu semua adalah asupan Blaze tiap hari termasuk adiknya yang hanya berjarak 2 tahun. Mereka berdebat tak jauh - jauh soal ekonomi dan anak.

"Kamu kapan mau sadar?! Uang kita udah menipis!" Pekik sang Ibu.

Ayah Blaze memang jarang pulang, entah apa yang dilakukan di luar sana. Blaze cepat - cepat memakaikan adiknya headset di saat kedua orang tuanya meninggikan nada bicaranya. Satu kata yang bisa mendeskripsikan perasaan Blaze saat ini, sakit.

Suara piring pecah begitu nyaring terdengar di telinga Blaze, membuatnya sedikit terperanjat. Blaze sudah mulai jengkel dengan perdebatan tak berfaedah itu. Tapi ia sendiri tak bisa melakukan apa - apa untuk mencegah hal tersebut.

"Jangan lemah jadi laki - laki, Blaze. Kamu harus bisa jadi TNI." Ujar ayah.

Blaze sekarang sedang disuruh push up 50 kali, dengan beban 5 kilogram di punggung. Sebenarnya Blaze sudah sangat amat letih dengan latihan tersebut. Akan tetapi, jika Blaze berhenti, ia akan tak diberi minum ataupun makan. Demi makan dan minum, Blaze rela untuk latihan fisik seperti itu tanpa mengeluh sama sekali.

"Jadi contoh baik untuk adikmu, kamu itu anak pertama."

Blaze berada di sebuah cafe langganannya, memang sangat jauh dari rumah. Blaze memang bukan mengincar sejauh mana tempatnya, tetapi dia mengincar harga dari cafe tersebut. Cafe itu tidak terlalu sepi atau tidak terlalu ramai. Ia merenung sendiri sembari menatap pemandangan gunung - gunung. Blaze berada di antara pemuda pemudi SMA yang mengobrol, ia sendiri memakai seragam SMP lengkap dengan dasi dan ikat pinggang.

Pelayan disana menghampiri Blaze, "Kayak biasa, dek?"

Blaze menoleh ke pelayan tersebut dan tersenyum, "Iya, mbak." Jawabnya singkat.

Pelayan itu segera ke belakang untuk menyuruh partnernya membuatkan pesanan Blaze. Blaze menunggu pesanannya sampai ke meja dirinya. Hingga beberapa menit, Blaze sudah mendapatkan pesanannya yaitu soft ice cream. Tak lupa Blaze berterimakasih pada pelayan. Saat hendak pergi, Blaze menggenggam tangan pelayan itu.

Beranjak DewasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang