Budayakan vote sebelum baca dan komen setelah baca!
***
Senyum terbit di bibir seorang perempuan yang sedang berjalan sambil membawa bunga. Bunga yang dibelinya di toko bunga kesukaan ibunya. Hari ini adalah hari ulang tahun ibunya ke enam puluh tahun. Tiap tahun ia pasti merayakan hari ini bersama ibunya dengan perayaan sederhana, ibunya tak suka kemewahan.Dulu saat ia dan ibunya hidup susah, ibunya selalu menasehatinya agar hidup sederhana, baik secara pikiran maupun perbuatan. Sampai sekarang saat keadaan keuangan mereka sudah sangat baik pun, ibunya masih mengatakan hal yang sama. Itulah ibunya, sosok yang sederhana dan rendah hati. Sosok yang selalu ia kagumi.
Tahun ini sedikit berbeda dari tahun sebelumnya. Ia akan merayakan ulang tahun ibunya di rumah sakit, bukan di rumah atau di villa punya mereka di Puncak. Tapi, ia tak akan melewatkan hari bahagia ibunya. Apapun keadaannya, ia akan tetap merayakan hari kelahiran perempuan yang amat ia sayangi.
"Selamat ulang tahun, Ibu!" ucapnya dengan penuh semangat saat membuka pintu.
Bukan hanya ibunya yang terkejut dengan kedatangannya, suster yang sedang menyisir rambut ibunya pun ikut terkejut. Tapi, selanjutnya keduanya tersenyum. Ia sudah mengenal baik suster yang merawat ibunya di rumah sakit ini, mereka sudah akrab karena sering membicarakan keadaan ibunya. Ibunya juga tampak nyaman saat dirawat suster Elia.
"Oh, hari ini hari ulang tahun Bu Ajeng ya? Selamat ulang tahun, Bu Ajeng. Semoga panjang umur, semakin sehat dan selalu bahagia," ucap suster Elia dengan tulus.
Saat ia membuka bungkus kue yang dibawanya dalam totebag, ibunya bertepuk tangan sambil menyanyikan selamat ulang tahun. Saking bahagianya ibunya loncat-loncat bagaikan anak kecil dan tampak tak sabar untuk meniup lilin dan memotong kue.
Sejujurnya ia senang melihat ibunya bersemangat merayakan hari ini. Tapi, hatinya juga teriris karena perilaku ibunya mengingatkan dirinya bahwa ibunya tak baik-baik saja. Ia sampai meneteskan air mata saat menyalakan lilin untuk ibunya. Belum sempat ia mengatakan tiup lilin, ibunya sudah lebih dulu meniup lilinnya.
"Potong kuenya, potong kuenya, Bram!" teriak ibunya saat ia hanya diam.
Ini bukan pertama kalinya ibu salah menyebut namanya. Terkadang ibu memanggilnya suster Elia atau bahkan menyebut nama sendiri untuk memanggilnya. Hal itu wajar karena namanya dan nama ibu hampir sama, terlebih kondisi ibu membuat ibu sering lupa siapa dirinya. Banyak nama asing diucapkan ibu, tapi ada satu nama asing yang hampir tiap hari ibu ucapkan. Bram.
Ia tak mengenal siapa itu Bram. Saat kondisi ibu normal dan sehat secara mental pun, ibu tak pernah menyebut nama itu. Tapi, setelah dokter memvonis ibu mengalami gangguan jiwa, nama itu terus saja disebut ibu. Sebenarnya ia memiliki beberapa dugaan terhadap pemilik nama itu, tapi ia bahkan takut hanya untuk memikirkannya.
"Elia, mau kue! Ayo potong kuenya," pinta ibu sambil menatap suster Elia dengan tatapan memohon, layaknya anak kecil memohon es krim.
"Rajeng, ibu udah nunggu, kok diam saja? Ada apa?" tanya suster Elia yang membuat Rajeng tersadarkan dari lamunannya.
"Oh iya. Ini Bu, potong kuenya ya, pelan-pelan aja," ucap Rajeng memberi pisau plastik pada ibunya.
Ibunya tampak gembira saat menggerakkan pisau plastik pada kue. Saking gembiranya, potongan kue itu terjatuh ke lantai. Saat ibunya membungkuk untuk mengambil kue yang terjatuh, Rajeng segera menahan ibunya.
"Engga perlu, Bu. Kuenya udah kotor. Biar aku suapin ibu aja ya," ucap Rajeng yang dibalas anggukan patuh oleh ibunya.
Ia memotong kue itu dalam ukuran sedang, menyuapi ibunya yang tampak menyukai rasa kue tersebut. Bahkan ibunya mengacungkan jempol pertanda kuenya enak. Ibu tampak lahap memakan kue tersebut sampai habis. Ia pun memberi potongan lainnya pada suster Elia.
"Terima kasih, Rajeng."
"Sama-sama, Suster Elia. Aku harap Suster semakin sabar menghadapi ibu, kalau ada yang suster butuhkan, bilang saja padaku. Cuma suster yang kupercaya untuk merawat ibu di sini," balas Rajeng dengan senyum manis. Ia jarang tersenyum, selama ini ia hanya tersenyum pada ibu saja. Tapi, sosok suster Elia yang baik hati, perhatian dan peduli pada ibu membuatnya sadar tak semua orang berniat menjahatinya dan ibu.
"Itu sudah tugas saya, jadi tidak perlu berterima kasih. Saya senang merawat Bu Ajeng karena mengingatkan saya pada mendiang ibu saya," ucap suster Elia dengan berlinang air mata.
Rajeng tahu bahwa suster Elia pasti merasa sangat sedih dan hancur ditinggal sosok ibu. Ia yang hanya melihat kondisi ibunya saat ini saja bisa sangat sedih, apalagi membayangkan jika suatu saat ibu akan meninggalkannya. Ia pun memeluk suster Elia untuk menguatkan perempuan itu. Ia hanya ingin suster Elia tahu bahwa masih ada yang peduli pada perempuan itu. Ia tak ingin suster Elia merasakan seperti yang ia rasakan saat ini. Berjuang sendirian untuk hidupnya dan hidup ibu karena seseorang yang seharusnya ia panggil ayah lepas tanggungjawab seperti bajingan.
*****
Tangerang, 14 September 2024
![](https://img.wattpad.com/cover/375684558-288-k714578.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Melukai Itu Mudah
RomancePernahkah kau merasa seperti korban, padahal nyatanya kau pelaku? Tiga orang yang terjebak dalam situasi rumit. Rahajeng, Ragastya dan Rehana. Dunia tahu sebenci apa Ragastya pada kekurangan. Noda kecil pada pakaiannya mampu membuatnya sangat marah...