EMPAT

164 38 3
                                    

Budayakan vote sebelum baca dan komen setelah baca!
***

Sejak kemarin, Ragas menghindarinya. Suaminya seakan tahu ia akan membahas kejadian dua hari lalu, sehingga memutuskan menghindar. Setiap hari suaminya sibuk bekerja, tak cukup di kantor, Ragas pun bekerja di rumah.

Rehana tahu ada yang salah dari suaminya. Ada yang disembunyikan Ragas darinya mengenai Rahajeng. Ia masih ingat jelas wajah Rahajeng malam itu. Wajah tegas yang dua hari lalu ia lihat, namun juga pernah ia lihat wajah itu dalam keadaan sedih dan hancur. Lalu, mengapa Rahajeng seakan melupakan semua yang terjadi malam itu?

"Mas, aku mau bicara," ucap Rehana menghalangi jalan suaminya yang hendak ke ruang kerja. Setiap kali Ragas masuk ruang kerja, pasti akan kembali ke kamar saat petang atau bahkan tak ke kamar karena tidur di ruang kerja.

"Aku banyak kerjaan, Rehana. Aku engga punya waktu hanya untuk bicara dengan kamu," balas Ragas sambil memutar mata dengan malas, seakan-akan bosan menghadapinya.

Ingin rasanya Rehana mempertanyakan alasan Ragas mempertahankannya, padahal sekedar bicara dengannya saja pria itu malas sekali. Tapi, ia terlalu takut jika jawaban Ragas sesuai dengan apa yang ia pikiran selama ini. Ragas tak pernah mencintainya dan hanya menjadikannya tameng untuk menyakiti Rajeng.

"Aku mohon, Mas. Aku cuma mau bicara sebentar aja," pinta Rehana untuk pertama kalinya. Selama ini ia selalu memaklumi kesibukan Ragas, ia bahkan tak berani meminta waktu pria itu sedikit saja bersamanya saat sedang sangat sibuk. Untungnya Ragas setuju bicaranya dengannya.

"Dua menit."

"Apa yang kamu sembunyikan tentang Rahajeng?" tanya Rehana langsung pada intinya karena suaminya tak memberi ia banyak waktu.

"Kamu udah tahu semua tentang Rahajeng. Kami pernah menjalin hubungan, berakhir dan aku bersamamu. Tak ada yang kusembunyikan."

"Ada, Mas. Kemarin kamu terlihat panik saat aku bicara padanya. Bahkan Rajeng seperti tak mengenali kamu maupun aku seperti semestinya. Kenapa, Mas? Pasti ada sesuatu yang terjadi, tapi aku engga...."

"Waktu habis. Aku harus kerja," ucap Ragas memotong ucapan istrinya setelah melihat waktu pada jam tangannya.

Rehana terdiam saat suaminya masuk ke ruang kerja dan menutup pintu dengan keras. Ragas selalu tak suka saat ia membahas Rahajeng. Pria itu selalu mengatakan bahwa Rahajeng tak penting dan hanya orang asing, tapi sikap Ragas berkata lain. Sikap Ragas seakan menegaskan bahwa sudut terdalam hati suaminya masih mengukir nama Rahajeng, sehingga saat mendengar nama Rahajeng disebut, Ragas tak bisa berhenti memikirkan perempuan itu.

Bolehkah ia marah dan cemburu? Jelas, jawabannya tidak. Ia tidak punya hak untuk marah dan cemburu saat ia memutuskan merusak kebahagiaan perempuan lain.

*****

Rajeng pernah miskin. Bahkan melarat. Ia pernah mengemis sewaktu masih duduk di bangku sekolah dasar karena ibunya sakit dan mereka tak punya uang untuk makan, apalagi berobat. Ia pernah diejek anak haram oleh teman sekelas karena ayahnya tak pernah datang ke sekolah. Ia juga pernah dikeluarkan dari sekolah karena tak mampu membayar SPP. Hal yang paling parah adalah saat ia hampir menjadi korban pemerkosaan karena teman pria sekelasnya menganggap ia perempuan murahan, hanya karena asal-usulnya tak jelas.

Apa semua itu membuatnya trauma? Tidak. Semua itu malah menjadi alasannya untuk bangkit dari kemiskinan dan keterpurukan. Tak ada waktu untuk menangisi keadaan, ia tak punya ayah yang akan mendukung finansial keluarga, jadi ia harus menjadi tulang punggung keluarga. Satu yang ia sesali adalah ia terlambat untuk memberikan segala kemewahan ini pada ibunya karena ibunya lebih dulu sakit mental.

"Bunny, kemari. Aku punya wortel untukmu, Sayang," ucapnya memanggil kelinci putih kesayangannya. Kelinci yang tak ia ingat berasal dari mana. Sampai sekarang, kelinci itu masih bersamanya dan sudah ia anggap keluarga sendiri. Ia menamainya Bunny karena melihat kalung yang ada di leher kelinci tersebut.

Bunny melompat menghampirinya dan memakan wortel dari tangannya dengan sangat lahap. Ia mengelus kelinci kesayangannya dengan penuh kasih sayang, lalu bersiap-siap berangkat kerja. Namun, langkahnya tertahan saat melihat tetangga depan rumahnya sedang ribut.

Rajeng sebenarnya tak suka mengintip urusan orang lain, tapi entah kenapa kakinya malah mendekat ke pagar rumahnya agar bisa mendengar lebih jelas pertengkaran Ragas dengan seorang pria tua yang tampak mirip sekilas dengan Ragas. Ia tak pernah melihat pria tua itu di kompleks perumahan ini sebelumnya. Apa mungkin dia ayah Ragas? Ia tahu Ragas adalah pewaris perusahaan ternama di negeri ini, tapi sedikit berita yang membicarakan mengenai keluarga pria itu, mungkin karena mereka ingin privasi. Jadi, ia tak tahu siapa ayah Ragas.

"Jaga sikapmu ke Rehana! Dia itu istri kamu, seharusnya kamu menjalankan kewajibanmu sebagai suami ke dia," ucap pria tua itu dengan nada tinggi, bahkan menunjuk ke arah Ragas. Tapi, Ragas memang sepertinya tipe anak pembangkang malah memutar mata malas saat dimarahi.

"Aku bukan kecil lagi yang bisa diatur, Pa. Ini rumah tanggaku, aku yang paling paham bagaimana harus bersikap dan mengatur rumah tanggaku!" balas Ragas ikut berteriak. Tampaknya keluarga Pramestawara memang suka bicara dengan nada tinggi dan suka keributan.

Rahajeng bosan dengan pertengkaran itu, ia memang tak berbakat mengurusi urusan orang lain. Ia memutuskan pergi, namun baru selangkah, ia langsung berbalik badan saat mendengar fakta mengejutkan.

"Lupakan perempuan itu, Ragas! Dia engga pantas untuk keluarga ini. Rehana adalah pilihan tepat untuk menjadi istri kamu. Selama kamu masih memikirkan perempuan itu, maka akan sulit untuk kamu mencintai Rehana!"

Jadi, Ragas punya perempuan idaman lain? Wow, ini baru kunci emas. Kunci yang bisa membungkam Ragastya saat berdebat dengannya. Ia tersenyum miring saat membayangkan wajah pucat pasi Ragas saat mengetahui ia tahu bahwa pernikahan pria itu tak seharmonis yang ditunjukkan media massa. Namun, senyum di bibirnya pudar dan malah wajahnya yang berubah pucat pasi saat ia terlihat Ragas dan pria tua itu basah sedang menonton pertengkaran mereka.

Ia tak mengenal ayah Ragas, tapi pria tua itu terlihat terkejut saat melihatnya, seakan melihat hantu. Tatapannya juga seperti menyimpan dendam padanya. Padahal, kesalahannya tak besar. Ia hanya menonton dua orang bodoh yang bicara dengan suara keras di teras rumah. Ia yang tak mau diintimidasi siapa pun membalas tatapan ayah Ragas dengan tatapan tajam, seakan menantang pria itu. Tanpa ia tahu jika ia sedang mengundang musibahnya sendiri.

*****

Tangerang, 14 September 2024

Melukai Itu MudahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang