LIMA

118 35 3
                                    

Budayakan vote sebelum baca dan komen setelah baca!
*****

Pernahkah kalian begitu membenci seseorang, tapi tak bisa berhenti memikirkan cara untuk bertemu orang itu terus-menerus? Itulah yang Ragas rasakan sekarang. Ia hampir gila karena otak dan hatinya terus berlawanan, tak pernah sependapat. Hatinya memintanya mendatangi dan memeluk Rajeng, namun otaknya mengatakan untuk membenci dan menyakiti perempuan itu. Jika saja, ia tak tahu bahwa ada benang merah yang menyatukannya dan Rajeng di masa lalu, maka sekarang ia dan perempuan itu pasti menjadi pasangan paling bahagia.

Ragas memperhatikan Rajeng dari jendela kamarnya yang berada di lantai dua. Perempuan itu baru saja pulang kerja dengan raut wajah letih. Seketika ingatannya tertuju pada satu tahun lalu, saat ia melihat hal yang sama, namun responnya sangat berbeda.

"Mas, capek kerja," rengek Rajeng saat masuk ke mobil. Perempuan itu langsung memeluk dirinya sambil menceritakan kejadian hari ini. Mereka memang sekantor, tapi jarang bertemu. Posisinya sebagai CEO dan Rajeng pada bagian keuangan membuat mereka hampir tak pernah bertemu, kecuali pada rapat tertentu. Terlebih Rajeng itu sangat profesional saat bekerja. Boro-boro manja padanya seperti sekarang, saat sedang bekerja, mereka seperti orang asing.

"Makanya berhenti kerja, nikah sama aku, terus jadi Nyonya Pramestawara," balasnya yang dibalas pukulan ringan.

"Ngomong mah enak, Mas. Kamu mah engga pernah mikiran pendapat orang. Mereka tahu aku pacar kamu aja, aku langsung dimusuhin sekantor. Apalagi kalau aku nikah sama kamu, aku jadi musuh satu negara," ucap Rajeng dengan raut wajah kesal.

Ia yang merasa gemas melihat kekasihnya langsung mencium pipi kekasihnya. Ia pikir Rajeng akan marah, tapi perempuan itu malah balik menciumnya. Rahajeng Jaratisa pernah menjadi perempuan yang sangat berarti di hidupnya, menempati posisi kosong yang dulu ditempati mendiang ibunya. Ia berani melawan semua orang yang menentang hubungan mereka, termasuk ayahnya saat itu. Semua demi gadis yang ia cintai.

"Mas?"

"Iya, Rajeng," balas Ragas spontan tanpa melihat siapa yang memanggilnya. Saat ia menoleh ke orang tersebut, ia melihat perempuan lain, bukan perempuan yang dipikirannya.

"Maksudku, Rehana. Maaf, aku tadi melamun, jadi tidak fokus," ucap Ragas lagi. Ia merasa bersalah saat melihat Rehana hanya mengangguk lalu ikut memperhatikan Rajeng. Ia dan Rehana baru menikah dua bulan, tapi sampai sekarang hanya luka yang bisa ia berikan pada perempuan itu.

"Aku paham, Mas. Dari awal pernikahan ini hanya sekedar tanggungjawab, bukan cinta. Perempuan cacat seperti aku, mana bisa menggantikan posisi Rahajeng di hatimu? Aku benar kan, Mas?" tanya Rehana dengan berlinang air mata.

*****

Rajeng punya jadwal rutin ke rumah sakit setiap bulannya. Tepatnya sejak dua bulan lalu. Kali ini ia datang bukan untuk menjenguk ibunya, melainkan untuk dirinya sendiri. Ya, ia harus check up rutin sejak dua bulan lalu. Ia duduk menunggu giliran namanya dipanggil, saat sedang menatap sekitar, ia melihat seseorang.

Sontak ia langsung pura-pura sibuk dengan ponselnya, menundukkan kepalanya hingga rambut panjangnya menutupi wajahnya. Tapi sialnya, orang itu sudah melihatnya dan kini memanggil namanya.

"Rajeng? Kamu di sini juga?" tanya perempuan berambut sebahu dengan gaun putih selutut yang terlihat sederhana, seperti kepribadiannya. Saking terlalu sering melihat perempuan di depannya pakai baju putih, ia sampai berpikir mungkin Rehana tak punya baju warna lain atau memang suka warna putih.

"Iya, kamu sendiri, ngapain ke sini?" tanya Rajeng balik untuk berbasa-basi. Ia heran sendiri kenapa Rehana selalu menyapanya setiap berpapasan, bahkan cenderung bersikap terlalu ramah untuk ukuran orang yang tak terlalu dekat, bahkan asing.

Rajeng sebenarnya mau mengabaikan kehadiran perempuan itu, tapi senyum manis dan raut wajah polos perempuan itu membuatnya tak tenaga. Orang yang baru bertemu dengannya akan berpikir ia tipe perempuan judes atau sinis, padahal ia hanya bersikap seperti cermin. Saat orang memperlakukannya buruk, maka ia akan melakukan hal yang sama. Sialnya lagi ia tak bisa bersikap sinis pada perempuan sebaik Rehana, tapi pada suami perempuan itu sudah pasti bisa.

"Mau check up ke dokter."

"Hamil?" tanya Rajeng spontan. Ia tak merasa salah bertanya, tapi raut wajah Rehana langsung berubah jadi sendu. Ia pun teringat akan gosip yang tersebar di kompleks perumahannya. Apa itu benar? Jika benar, sungguh ia tak bermaksud buruk, ia hanya bertanya spontan sesuai keadaan. Mengingat Rehana pengantin baru dan pasti sedang menanti kehadiran anak pertama, layaknya pengantin baru lainnya.

"Belum," jawab Rehana dengan pelan, namun Rajeng bisa mendengar jelas nada sedih pada suara perempuan itu.

"Oh, terus ngapain ke sini?" tanya Rajeng lagi untuk mengalihkan perhatian Rehana. Ia juga sedikit menggerutu dalam hati karena dokter spesialis sarafnya belum kunjung memanggil namanya.

"Mau check up perihal pendengaran. Kalau kamu?" tanya Rehana balil. Bahkan, perempuan itu mulai duduk di sampingnya, tampaknya Rehana ingin bicara lebih lama dengannya.

"Sama, cuma bedanya aku ke dokter spesialis saraf," jawab Rajeng.

"Saraf? Kamu sakit?" tanya Rehana dengan raut wajah panik. Sontak Rajeng langsung menggelengkan kepala, lalu raut wajah Rehana kembali lega.

"Cuma check up rutin, aku baru mengalami kecelakaan dua bulan lalu dan mengalami amnesia. Tapi, sebenarnya engga ada yang kulupakan, aku masih ingat ibu, masa kecilku, masa remajaku dan beberapa ingatan masa dewasaku. Tapi, aku tak ingat apa yang terjadi dua tahun lalu, termasuk penyebabku mengalami kecelakaan," jawab Rajeng dengan raut wajah sedikit bingung. Sampai sekarang ia masih berusaha menemukan kepingan puzzle di hidupnya. Tapi, belum juga ia temukan. Hanya ibunya yang bisa menjawab tentang apa yang terjadi padanya selama dua tahun terakhir, tapi kejiwaan ibu memburuk.

Tanpa Rajeng sadari, raut wajah Rehana langsung berubah pias. Bahkan, saat nama Rajeng dipanggil suster dan pamit pada Rehana, perempuan itu hanya diam tak berkutik. Rehana baru menoleh saat Rajeng memasuki ruang dokter dan meninggalkannya yang masih terkejut dengan fakta baru yang ia temukan.

*****

Tangerang, 16 September 2024

Melukai Itu MudahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang