Chapter 10.

51 6 2
                                    

aku tidak bisa fokus dan menikmati ujian kali ini akibat luka yang ada dikepalaku. aku biasanya akan fokus dan menikmati setiap detik yang berjalan saat ujian berlangsung. tetapi, kepalaku terasa seperti akan meledak dan sepertinya suhu tubuhku juga meningkat secara drastis.

mungkin karena aku menghabiskan malam sebelumnya dengan tertidur dilantai. aku tidak memiliki cukup tenaga untuk memindahkan tubuhku sendiri keatas kasur.

omong-omong, aku tetap menyelesaikan ujian lebih awal dari murid lainnya. aku berjalan dengan hati-hati kemeja guru dan menyerahkan kertas jawabanku beserta kertas soal yang diberikan. guru pengawas hari ini sempat bertanya apakah aku baik-baik saja. aku mengeluarkan senyum profesionalitas ku dan dengan pelan keluar dari ruang ujian.

ini buruk. aku bahkan mulai merasa semakin pusing, sementara pandanganku perlahan menjadi kabur seiring berjalannya waktu. kurasa, aku sudah berjalan cukup lama, tapi sepertinya aku hanya berjalan beberapa langkah diluar ruang ujian.

pandanganku semakin kabur, sebelum akhirnya paru-paru ku kesulitan dalam mengambil pasokan oksigen. hal terakhir yang kurasakan adalah, bahwa tubuhku tidak mau mendengar perintahku, bahwa aku kehilangan kendali dan tidak bisa merasakan tubuhku lagi.

seseorang menangkapku tepat sebelum aku benar-benar terjatuh kelantai. dia dengan hati-hati mengangkat ku dan menggendong ku di punggungnya. terasa nyaman, sekalipun aku tidak bisa melihat dengan jelas.

tapi, dari aroma tubuhnya, terasa sedikit familier bagiku. ah, itu milik zayne. jadi, apa aku merepotkan pria ini lagi? tampaknya hari ini akan menjadi hari yang paling sial untuknya.

zayne secara konstan mengajakku berbicara selama perjalanan. suaranya terdengar seperti biasanya. datar dan tanpa emosi. tapi, aku bisa melihat seberapa genting kondisi saat ini hanya dengan nada suaranya yang sedikit lebih tegas dari biasanya.

kami sempat berhenti disebuah tempat. sebelum aku bisa mendengar nada bicaranya yang semakin marah. zayne masih mengajakku berbicara sementara dia menggendongku pergi dari tempat itu.

mungkin, tidak apa-apa jika aku tidak bisa menjawab setiap ucapannya. tapi saat ini, aku benar-benar ingin menjawab setiap perbincangan yang dia lontarkan untukku. meski begitu, tubuhku terlalu lemah untuk melakukannya. aku menyukai suara zayne, aku juga menyukai kepribadiannya. aku menyukai segala sesuatu tentang zayne.

tapi, tak peduli seberapa keras aku mencoba untuk tetap sadar dengan berfokus pada suaranya, aku tetap tidak cukup kuat untuk menahan rasa kantuk yang datang. setidaknya, kali ini, sekali saja. bolehkah aku beristirahat? aku janji aku akan terbangun beberapa menit kemudian.

hanya, sebentar..

***

aku terbangun diruangan yang terasa familier untukku. ruangan ini cukup gelap, mungkin ini sudah malam. aku berusaha melihat ke sekeliling. itu buruk, padahal aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk tidur sebentar dan bukannya sampai malam hari.

"kau sudah bangun?" zayne menyalakan lampu kamar dan berjalan kearahku. memberiku semangkuk sup hangat dan segelas air mineral.

oh, iya. aku lupa bahwa aku belum mengisi perutku selama dua hari lamanya. terakhir kali aku makan adalah saat zayne memasak sarapan untuk kita berdua.

aku menyantap sup yang dibuat oleh zayne. itu enak dan hangat. itu adalah sup tomat dengan telur kocok dan tofu. rasanya nyaman. aku bahkan tidak tahu jika sebuah makanan bisa terasa begitu nyaman dan menghibur.

"terimakasih, ini sungguh enak." ucapku senang sembari terus menyantap sup yang ada.

zayne mengangguk dan memperhatikanku sebentar. sebelum perlahan menyentuh dahiku. itu terasa sedikit dingin ketika tangan zayne bertemu dengan dahiku.

"demam mu sudah turun. aku juga sudah mengobati luka di kepalamu" zayne berkata dengan santai sembari menyodorkan obat kepadaku.

aku mengambil obat ditangannya dan meminumnya. omong-omong, aku sudah menyelesaikan makanan ku sebelum zayne mengecek suhu tubuhku. yang jelas, itu melegakan. obatnya tidak membuatku mengantuk, jadi aku tersenyum senang dan mencoba untuk memulai perbincangan diantara kami.

"sudah berapa kali kamu membantuku? meski begitu, terimakasih banyak. aku sungguh banyak merepotkanmu" aku, sungguh berterimakasih. ini kedua kalinya, tapi zayne bahkan tidak bertanya mengenai alasan kenapa aku bisa terluka seperti ini.

zayne mengangguk, "sama-sama." nadanya pun masih sama datarnya. tapi itu terkesan lebih santai daripada sebelumnya.

aku ingin berbincang lebih banyak dengan zayne. tentang bagaimana dia bisa menahan diri untuk tidak bertanya tentang apa yang sebenarnya terjadi padaku, atau apapun itu. tapi, meski dia tidak bertanya, rasanya aku ingin percaya padanya dan menceritakan sedikit tentang apa yang sebenarnya terjadi.

"zayne, maaf karena aku berbicara seolah kamu sebuah barang. maaf karena aku menyebut kamu sebagai milikku didepan ibu. padahal, hidup manusia adalah milik mereka masing-masing" aku memikirkan dan menyesali hal ini sepanjang hari. itu buruk, sungguh. rasanya seperti aku tidak ada bedanya dengan manusia-manusia kasar itu.

tapi, ibu tidak pernah percaya tentang 'manusia' yang dimiliki oleh dirinya sendiri. ibu membenci konsep tersebut. bagimana pun juga, menurut ibu, manusia memiliki pemilik, dan mereka harus menuruti majikan mereka.

"untuk beberapa alasan, aku perlu menyebut hal-hal tidak mengenakkan. jadi kamu tidak diganggu lebih jauh" aku menunduk. merasa malu dengan kelakuan ku tadi pagi. rasanya, aku sama saja dengan mereka, dan aku membenci hal itu.

zayne terdiam sebentar dan mengusap pucuk kepalaku. aku terkejut, dengan cepat menatap kearahnya. seolah itu belum cukup, aku bisa melihat sorot matanya yang.. berusaha memahami situasiku. bahwa aku tidak bisa melindungi nya tanpa kata-kata yang menyakitkan.

"tidak apa. aku tidak terlalu memikirkannya. jadi itu tidak terlalu menyakitiku" entah kenapa, suara zayne terdengar sedikit lebih lembut dari biasanya. apakah dia berperilaku aneh karena aku sedang sakit?

"meski begitu, itu bukan hal yang benar untuk dilakukan" jawabku pelan. aneh, rasanya aneh. tapi itu tidak menggangguku. sungguh, rasanya sangat tenang.

"kamu melakukannya karena terpaksa, kan? kalau begitu, apa yang akan kamu katakan jika kamu berada di situasi yang tidak memaksamu untuk berkata seperti itu?" pertanyaan zayne tidak membuatku berfikir.

karena jawabannya sudah pasti.

"aku ingin berkata bahwa pakaian tipis di pagi hari akan membuatnya kedinginan dan flu, dan aku juga akan mengusirnya secara lembut dengan berkata bahwa menyambut tamu menggunakan pakaian vulgar adalah hal yang tidak pantas dilakukan oleh direktur perusahaan manapun" jawabku. tapi, ibu adalah orang egois yang bahkan jika aku menggunakan sindiran lembut seperti itu, ibu akan marah dan mencoba untuk mendekati zayne kembali.

satu-satu nya cara adalah untuk menekankan bahwa zayne sudah memiliki pemilik. karena bagi ibu, manusia tidak lebih dari barang yang harus dimanfaatkan dengan baik. meski begitu, itu tetap tidak membenarkan perlakuanku. seharusnya, aku bisa mengatakannya.

tapi, kenapa aku mengatakan bahwa zayne adalah milikku..? apakah, aku benar-benar mulai berharap pada hubungan romantis dengan zayne..?

sadarlah, lova. zayne hanya milik mc, dan bukan kamu.

"baik, itu bagus jika kamu menyadari kesalahanmu. jangan mengulangi hal yang sama untuk kedua kalinya" aku mengangguk pada peringatan zayne. 

zayne dengan pelan berdiri dan pamit meninggalkanku dikamar, mengklaim bahwa aku masih membutuhkan waktu untuk beristirahat sendiri.

Imagination | ZayneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang